Share

9. Pujian yang sia-sia

Ana dan Rangga tidur saling memunggungi, setelah keduanya kembali bertengkar. Sebenarnya, Ana terlihat lebih menguasai emosinya, berbeda dengan Angga yang nampak tertekan saat ketahuan berbicara tidak pantas dengan seseorang di seberang telepon sana. Wanita itu hanya bertanya, tapi jawaban yang terlontar dari bibir suaminya sangatlah kejam.

"Bukan urusanmu! Cukup kau urus rumah dan memikirkan bagaimana caranya agar punya anak?!" kalimat pahit itu yang keluar sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi. Seketika Ana teringat dengan pesan seorang wanita yang mengatakan bayi mereka. Jika seperti itu, berarti dirinya yang mandul, sehingga Angga berani berbuat keji seperti ini. 

Wanita itu tak juga bisa memejamkan mata. Air bening masih terus saja mengalir membasahi kedua pipinya. Padahal hansim sudah berkeliling dan memukul kentong sebanyak dua kali. Menandakan saat ini sudah pukul dua dini hari. Suara ngorok suaminya pun terdengar sangat lantang mengisi kamar, sehingga matanya semakin sulit untuk terpejam.

Ana memutuskan ke kamar mandi untuk berwudhu. Ia berharap, setelah solat sunnah dua rakaat di sepertiga malam, maka ia akan dapat beristirahat dengan hati tenang.

Suara gemericik air dari dalam kamar mandi, membuat Rangga terbangun dari tidurnya, lalu memeriksa sisi kiri ranjang, untuk memastikan keberadaan istrinya. Setelah itu, ia kembali memejamkan mata melanjutkan tidurnya. Tidur yang sangat nyenyak dan berkualitas, karena isi ATM-nya penuh, dan juga kabar tentang mobil yang akan dibelikan oleh Tante Widya.

Ana memilih solat di ruang depan. Ia ingin khusyuk meminta pada Rabb Pemilik Ketetapan hidup. Meminta agar diberikan jalan keluar bagi masalah rumah tangganya. Ia juga memohon kepada Allah, untuk segera mengembalikan suaminya ke jalan yang benar. Ana tidak bisa memastikan sejauh apa suaminya berbuat nekat di belakangnya, yang jelas apapun itu, kelakuan Rangga saat ini sudah sangat keterlaluan.

Selesai solat dan mengadukan semua kegundahannya, Ana kembali masuk ke dalam kamar. Sangat pelan ia menaruh kepalanya di atas bantal. Ana memandangi wajah tampan suaminya, menatap lekat garis wajah tegas yang menampilkan ketampanan yang membuat banyak wanita patah hati.

"Allahumma sholli wa sallim wa baarik alaaih."

Pelan Ana meniup wajah suaminya, setelah membaca solawat. Ia benar-benar berharap suaminya mau berubah dan kembali seperti sedia kala.

Pagi hari, Angga kembali memakai seragam pabriknya yang sudah disiapkan oleh Ana. Wanita itu yang baru saja selesai mandi, berpakaian dengan cuek di dekat suaminya. Dahulu, jika sehabis mandi dan ingin berpakaian, ia selalu diserang suaminya. Mengajaknya berjalan-jalan ke langit ke tujuh, hingga terkadang mereka melewatkan sarapan. 

Ana kembali menangis batinnya. Sedikit pun Angga tak menoleh ke arahnya yang tengah berpakaian. Mungkin karena sudah ada wanita lain yang mampu memberikan servis memuaskan pada suaminya. Ana lagi-lagi membantin pilu. Namun, ia takkan mau menampakkan kekecewaannya pada Angga. Ia akan ikuti permainan suaminya dan membuat semua wanita gelap suaminya menyesal karena mencoba menggoda suaminya.

"Mas, sarapan sudah siap," ujar Ana datar. Rasa malas menatap suami tampannya muncul, setelah dengan segala gelagat bohongnya Angga tetap berlakon seperti masih bekerja di pabrik.

"Kamu bikin sarapan apa?" tanyanya sambil menyisir rambut.

"Nasi goreng baso," jawab Ana singkat.

"Bosenlah. Belikan aku nasi kuning pakai telur balado. Kamu kalau sarapan tidak tahu menu lain. Nasi goreng terus, sampai napas aku pun bau terasi nasi goreng," omel Angga pada Ana. Wanita itu berusaha tak bereaksi, ia menutup telinganya dengan batu besar, dan juga ia menutup hatinya dengan batu es besar. Agar panasnya ucapan suaminya tak sampai masuk ke dalam relung hatinya.

Ana membuka lemari, lalu mengambil dompet dari laci. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ana langsung saja keluar rumah untuk membelikan sarapan sesuai pesanan suaminya.

Satu dua tetangga menyapa Ana yang tumben pagi-pagi membeli sarapan. Karena bisa dihitung dengan tangan, berapa kali wanita itu rela mengeluarkan uang untuk membeli makanan di luar. 

"Beli sarapan Mbak Ana? Biasanya bikin nasi goreng," tegur seorang ibu;tetangga kontrakan Ana.

"Lagi kehabisan nasi, Bu. Kalau nunggu masak nasi dulu, keburu terlambat sarapan suami saya," jawab Ana terpaksa berbohong.

"Suaminya umur berapa sih Mbak? Awet banget keliatannya," tanya si ibu yang lain sambil tersenyum malu-malu.

"Dua puluh sembilan bulan depan, Bu."

"Wah, lagi sedeng-sedengnya itu Mbak. Apalagi musim hujan begini," timpal si ibu satunya lagi sambil tertawa cekikikan.

"Iya, Bu. Sedeng gila." Ana membatin pilu. Tak ada rona merah di pipinya saat para tetangga menggodanya. Entahlah, ia pun rasanya enggan bersentuhan dengan suaminya, sebelum ia mengetahui pekerjaan apa yang sebenarnya Angga lakukan di luar sana.

"Aku iri loh, sama Mbak Ana. Suaminya tampan, awet muda, dan pekerja keras. Lembur terus. Lah, suamiku item, kentutnya sembarangan, kalau mandi duh, kayak tuan putri. Kalau ngajakin anu pagi-pagi gak mau sikat gigi."

"Wah, bau surga dong, Bu."

"Neraka kali," timpal si ibu sambil tergelak. Ana pun dengan sangat terpaksa ikut menyeringai. Jauh di lubuk hatinya menjerit. Mempunyai suami seperti Rangga, harus kuat menahan badai godaan dari wanita-wanita di luar sana. Jika ia tak sabar dan mementingkan emosi, tentulah saat ini ia sudah menggugat cerai Angga. Namun, ia memilih bersabar dan memikirkan cara lain agar suaminya berhenti menebar pesona pada wanita di luaran sana. Sungguh sia-sia pujian yang dilayangkan ibu-ibu untuk suaminya, karena ketampanan suaminya bukan lagi menjadi berkah untuknya, melainkan musibah besar.

Ana membuka pagar kontrakan lebar. Hatinya mendadak panas dan kebat-kebit, saat Mbak Nala; tetangga baru yang berwajah cantik tengah berbincang akrab dengan suaminya. Ditambah suaminya sudah sangat tampan dengan seragam kemeja kerjanya dipadupadankan dengan celana bahan berwarna hitam.

"Eh, Mbak Nala. Ada apa, Mbak?" tanya Ana dengan ketus pada tetangga barunya.

"Waduh, nyonya rumah udah sampai. Ini loh, Mbak. Saya mau minta pasangin gas sama Mas Angga. Soalnya saya gak bisa, takut meledak Mbak," jawab Nala dengan suara mendayu-dayu.

"Oh, gitu, tapi suami saya gak bisa pasang gas Mbak, takut meledak juga dia. Ya kan, Mas?" Ana melirik sebal suaminya, lalu kembali menoleh pada Mbak Nala.

"Oh, gak bisa ya. Trus, yang bisa siapa ya? Mbak Ana bisakan? Tolongin saya ya Mbak. Itu rumah saya gak dikunci, masuk aja ke dapur," tunjuk Nala dengan dagunya.

"Trus, Mbak Nala mau nemenin suami saya di sini?! Maaf ya, Mbak. Saya lapar, mau sarapan!" Ana menarik kasar Angga agar masuk ke dalam rumah.

Blam!

Ceklek

Ceklek

"Selingkuh itu tak kan terjadi, jika salah satu tak menggapi." 

*** 

~Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status