Ana tengah berdiri di dapur, sambil membuat secangkir kopi untuk suaminya. Ia mengulum senyum, saat mengingat obrolan kemarin dengan tetangga yang memuji ketampanan suaminya. Hatinya sungguh rasa senang dengan pujian itu.TokTok"Assalamualaykum.""Wa'alaykumussalam. Eh, Mbak Endang. Ada apa, Mbak?" Mariana membuka pintu lebar untuk tetangga kontrakannya. Wanita bertubuh tambun yang berdiri di depan pintu rumah Mariana, berusaha mencuri pandang keadaan di dalam rumah."Ada apa, Mbak? Cari Mimi lagi, ya?" tanya Marian menebak. Karena memang, kucing Mbak Endang itu sering sekali main ke rumah kontrakannya."I-iya, cari Mimi. Sekalian ini saya bawain bubur sum-sum buat suami kamu. Eh, buat kamu maksudnya." Mbak Endang menyerahkan sebuah mangkuk bermotif bunga matahari pada Mariana."Mimi ...," panggilnya di depan pintu."Mbak tunggu sini ya, saya bantu cari di dalam." Mariana membiarkan pintunya terbuka lebar, lalu masuk ke dalam r
Ana dan suaminya bertengkar hebat, sampai-sampai perlu Pak RT yang datang melerai dan menenangkan keduanya. Ana marah, hingga melempar semua perabotan rumahnya hingga hancur menyisakan pecahan kaca yang sangat banyak. Ana masih menahan amarahnya di kepalanya.Sudah sering suaminya tersenyum saat berbalas pesan di ponsel. Bukannya tak cemburu, hanya saja ia tak mau suaminya marah padanya nanti. Jika ingat usahanya dulu untuk mendapatkan suami paling tampan satu pabrik, pasti pada berdecak kagum.Ya, suaminya adalah lelaki tampan, karena ada keturunan bule Swedia dari garis nenek buyutnya. Walau jauh, tapi Rangga memiliki garis tampan layaknya orang luar negeri.Banyak wanita yang mendekati suaminya. Mulai dari teman sesama pekerja pabrik, teman SMA, teman SMP, bahkan tetangga kontrakan yang terdahulu dengan terang-terangan ingin membeli suaminya.Ada rasa bangga, saat dia digandeng mesra suami tampannya. Apalagi saat berjalan-jalan dalam pusat perbelanjaan
Seperti biasa, Ana selalu menyiapkan sarapan pagi menjelang siang untuk suaminya. Karena sehabis subuh biasanya Rangga memang tidur lagi, dan baru bangun pukul sembilan. Sisa pertengkaran semalam benar-benar terhapus bersih di kepalanya. Ia tak mau sampai semua perabotan dapurnya hancur sia-sia begitu saja. Semakin ia kasar dan mendesak suaminya untuk jujur, maka akan semakin kuat Rangga berbohong. Maka dari itu, Ana memilih menggunakan cara lain.Memang dari sebelum menikah dengan Rangga, sudah banyak wanita yang menggoda suaminya, tetapi Rangga tetap memilihnya yang tidak seberapa cantik ini untuk menjadi istri. Betapa beruntungnya ia saat itu dan saat ini. Ekor matanya melirik kalender. Senyum pun terbit, tatkala tanggal menunjukkan angka dua puluh lima yang tandanya Rangga sudah gajian.Ana berjalan masuk ke dalam kamar, lalu naik pelan ke atas ranjang. Mengusap lembut lengan suaminya, lalu mengecupnya sebentar."Mas, bangun. Sudah jam sebelas," bisikn
Ana terpekur di depan jendela kontrakannya. Sudah pukul dua belas malam, suaminya belum juga pulang ke rumah. Biasanya, pukul sebelas sudah sampai rumah. Ana sedikit cemas, suaminya nekat meladeni ajakan beberapa wanita yang terang-terangan tertarik padanya.Wanita itu mengigit ibu jarinya, sambil menaikkan kedua lututnya di dekat dada. Di luar udara mulai terasa sangat dingin. Ana menutup jendela, lalu menguncinya.Duuaar!Tiba-tiba saja petir menggelegar membelah langit malam. Ana terlonjak kaget, sambil mengusap dadanya kuat karena takut, bercampur cemas. Diambilnya ponsel, lalu menghuhungi nomor suaminya, tetapi tidak diangkat. Ana memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Rangga, menanyakan di mana suaminya itu sekarang?Lima belas menit berlalu, tetap tidak ada balasan. Berkali-kali Ana menguap lebar menahan kantuk, tetapi suaminya tak kunjung pulang. Hingga akhirnya Ana tertidur di kursi panjang ruang depan.Suara azan shubuh terdengar b
Ana menunggu kepulangan suaminya hingga pukul delapan malam. Hati dan kepalanya sungguh panas, membayangkan sang suami yang bertamasya dengan keluarga wanita lain. Walau diberi upah karena dia yang menyetir. Tetap saja, hati kecilnya menolak. Apalagi, pesan yang ia kirimkan pada Dini hanya ceklis satu. Apakah nomornya telah diblokir wanita itu?TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana," suara seorang tetangga wanita yang sangat ia hapal, berseru di balik pintu rumah kontrakannya."Wa'alaykumusalam. Sebentar," jawab Ana berdiri dari duduknya, lalu memutar kunci pintu."Eh, Mbak Lasmi. Ada apa, Mbak?" tanya Ana terheran. Tetangga wanitanya itu datang membawa dua mangkuk tertutup tisu."Ini, saya tadi iseng bikin macaroni panggang. Ini, silakan dicicipi, Mbak. Yang mangkuk kuning untuk Mbak Ana, yang mangkuk merah muda untuk suaminya Mbak Ana.""Loh, banyak sekali sampai dua mangkuk? Satu saja belum tentu habis, Mbak," ujar Ana dengan perasaan j
Sudah pukul empat sore, tetapi Dini dan suaminya tak juga pulang. Ana menunggu sambil duduk di teras dengan perut lapar. Pembantu rumah tangga Dini sudah menawarkan makanan, tetapi ia tak sudi menerimanya. Takkan mau ia menelan makanan yang juga dimakan oleh Dini.Perutnya semakin keroncongan, dan rasa nyeri mulai terasa. Ia lupa, jika tidak boleh terlambat makan. Jika tidak, maka ia akan sakit perut hingga berhari-hari."Bik, saya pamit ya. Sampaikan saja pada Dini, kalau saya Ana;istri dari Rangga Abdillah, datang ke sini," ujar Ana tegas. Wanita paruh baya itu tak menyahut, ia hanya mengangguk pelan sambil mengekori langkah Ana keluar dari rumah majikannya. Setelah Ana pergi, ART Dini kembali mengunci pagar, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.Ponselnya berada di atas nakas bergetar, bibik membuka pesan yang ternyata dari nona majikannya."Sudah pergi belum, Bik?""Sudah, Non.""Bagus. Saya pulang sekarang."****
Rangga keluar dari rumahnya dengan amarah memuncak. Ditinggalkannya Ana yang menangis tersedu menahan perih di hati dan juga kedua ujung bibirnya. Suaminya betul-betul berubah. Rangga yang sekarang, bukanlah Rangga yang dulu ia kenal. Jika perkataan kasar ia bisa bersabar menelannya, tetapi perbuatan kekerasan fisik, sudah sangat keterlaluan.Tertatih Ana bangun dari duduknya. Kakinya melangkah ke dapur menuju kulkas. Dikeluarkannya batu es kecil, lalu ia bungkus dengan kain lap bersih. Setelah itu ia tempelkan di kedua sudut bibirnya yang terluka."Sstt ...." beberapa kali ia meringis menahan perih, karena sakitnya luar biasa bagi dirinya yang baru pertama kali ditampar sampai terluka seperti ini.TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana. Saya Endang," seru suara wanita di ujung pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. Untunglah kain krai pembatas antara ruang depan dan ruang tengah terbentang. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat ke dalam.&nb
Pukul empat sore, Ana sampai di rumah. Dengan tubuh masih lemas dan kepala bagai tertimpa batu besar, ia berjalan sedikit terhuyung masuk ke dalam gerbang kontrakan. Sebenarnya, oleh dokter jaga IGD tempat ia dibawa oleh teknisi ponsel tadi, sudah melarangnya untuk pulang karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun ia enggan. Hati dan pikirannya tak akan tenang, jika belum menanyakan keadaan yang sebenarnya pada suaminya."Sakit Mbak Ana?" tanya Bu Diana yang kebetulan sedang menyuapi Susi;anaknya."Masuk angin doang ini, Bu," jawab Ana sambil berhenti sejenak."Rumah tangga berantam itu biasa. Sabar ya," ujar Bu Diana lagi. Ada enam belas pintu kontrakan di sini dan semua tahu jika berlajangan ini Ana dan suaminya sering bertengkar. Dia memang harus siap jiwa, raga, dan juga tebal telinga mendengar komentar nyinyir dari tetangga yang memang iri padanya karena memiliki suami yang tampan. Sekaligus tidak akur dalam beberapa hari ini."Iya, Bu. Terim