Ana terpekur di depan jendela kontrakannya. Sudah pukul dua belas malam, suaminya belum juga pulang ke rumah. Biasanya, pukul sebelas sudah sampai rumah. Ana sedikit cemas, suaminya nekat meladeni ajakan beberapa wanita yang terang-terangan tertarik padanya.
Wanita itu mengigit ibu jarinya, sambil menaikkan kedua lututnya di dekat dada. Di luar udara mulai terasa sangat dingin. Ana menutup jendela, lalu menguncinya.
Duuaar!
Tiba-tiba saja petir menggelegar membelah langit malam. Ana terlonjak kaget, sambil mengusap dadanya kuat karena takut, bercampur cemas. Diambilnya ponsel, lalu menghuhungi nomor suaminya, tetapi tidak diangkat. Ana memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Rangga, menanyakan di mana suaminya itu sekarang?
Lima belas menit berlalu, tetap tidak ada balasan. Berkali-kali Ana menguap lebar menahan kantuk, tetapi suaminya tak kunjung pulang. Hingga akhirnya Ana tertidur di kursi panjang ruang depan.
Suara azan shubuh terdengar begitu merdu dari kejauahan. Ana tersentak kaget, lalu membuka mata lebar. Disisirinya tempatnya kini berada. Ternyata ia sudah berada di atas ranjang dan suami yang terlelap di sampingnya. Masih menggunakan celana kerja dan kaus dalam saja.
Ana perlahan turun menuju kamar mandi, untuk bersih-bersih sekalian berwudhu. Ia solat wajib dua rakaat dengan khusyuk. Setelah salam dan berdoa, bergegas Ana merapikan mukena yang ia kenakan. Suaminya masih terlelap dengan sangat nyenyak.
"Mas, bangun. Solat Subuh dulu!" Ana menggoyangkan lengan polos suaminya. Rangga masih tak menyahut, membuka mata pun tidak.
"Mas, bangun!" Ana kembali mengguncang tubuh suaminya. Berharap lelaki itu mau membuka mata dan melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Sudah sepekan Ana memperhatikan suaminya yang tidak solat wajib sama sekali. Mungkin saja suaminya masih terlalu lelah. Ana memutuskan untuk ke dapur dan mencuci piring. Setelah mencuci piring, Ana mulai memisahkan pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci.
Dirabanya saku kemeja kerja suaminya, barangkali ada korek atau rokok yang tertinggal di sana. Tak jarang lembaran uang lima ribu, bahkan sepuluh ribu pernah ikut berputar di dalam mesin cuci. Semua pakaian sudah masuk ke dalam mesin cuci. Tersisa jaket motor Rangga akan diputar paling akhir. Ana kembali memeriksa setiap kantong jaket, dan lihat apa yang dia temukan. Sebuah struk restoran, senilai seratus lima puluh ribu. Pasti suaminya mentraktir wanita yang katanya ia menfaatkan.
Ana mencoba mengatur napas beberapa kali. Emosinya mulai tersulut. Dirinya saja sebagai istri, tak pernah diajak makan di restoran dengan jumlah bill yang harus dibayar sampai seratus lima puluh ribu, jika tidak sedang dalam suasana lebaran, karena suami mendapat THR.
Ana akan bertanya pada suaminya nanti. Ia melipat kertas itu kembali, lalu ia masukkan ke dalam saku dasternya. Kembali ia melanjutkan pekerjaan ibu rumah tangga. Kepalanya menoleh melihat jam di dinding, sudah pukul enam pagi. Ana kembali masuk ke dalam kamar, untuk membangunkan suaminya solat Subuh.
"Mas, bangun!" kali ini suaranya terdengar BT. Rangga membuka mata pelan. Kedua mata lelaki itu mengecil untuk melihat istrinya yang nampak lusuh, dengan daster sobek bagian pundaknya. Belum lagu rambut yang diikat tak jelas, mirip pembantu rumah tangga. Bukannya bangun Rangga malah berbalik memunggungi Ana.
"Loh, kok tidur lagi? Bangun, Mas. Subuh dulu!" Ana menarik tangan suaminya agar mau berdiri. Walau sia-sia. Karena tubuh suaminya yang berat.
"Aku libur dulu!" Rangga menepis tangan istrinya, lalu mendekap kembalin giling bermotif angsa itu.
"Emangnya kerja, ada liburnya? Bangun, Mas. Cuma dua rakaat kok."
"Brisik ih! Jangan ganggu! Gue masih ngantuk! bentak Rangga menggelegar, membuat Ana berjalan mundur keluar kamar. Masih pagi, dan suaminya sudah membuat moodnya untuk mengurus rumah tangga menjadi terjun bebas. Ana mengambil dompet di dalam laci, lalu keluar rumah menuju warung sayur.
Sudah ada beberapa ibu-ibu seumurannya di sana. Masing-masing menggendong anaknya. Di situ muncul rasa sedih di hati Ana. Sudah setahun menikah, ia belum juga hamil. Padahal, teman-temannya yang lebih lama menikah dari dirinya, sudah langsung hamil.
"Mau masak apa, Na?" tegur salah seorang dari mereka.
"Eh, bingung nih," jawabnya singkat sambil tersenyum tipis.
"Mbak mau masak apa?" tanya Ana balik.
"Masak makanan kesukaan suami dong. Sayur sop tetelan dan tempe orek," jawab wanita itu.
"Oh, iya juga ya. Saya masak makanan kesukaan suami juga deh," balas Ana dengan senyum ceria.
Ia memilih setengah ekor ayam, lengkap dengan bumbu ungkap. Ditambah satu ikat sayuran kangkung yang akan dia tumis nanti. Setelah membayar belanjaannya, Ana mampir sebentar ke pedangang nasi uduk, membelikan sarapan untuk suaminya. Untunglah hari ini jadwal suaminya libur, sehingga jika ia memasak banyak, tentu akan disantap suaminya.
Ana berjalan masuk ke dalam pagar kontrakan. Semakin mendekat ke rumahnya, semakin jelas suara suaminya tengah berbincancang di teleppn dengan seseorang.
"Iya, Dek. Ini lagi mandi, nanti Abang langsung ke rumah. Adek udah mandi belum? He he he ... ya sudah. Abang siap-siap dulu ya. Nanti kita sarapan bersama."
Rangga tak tahu, jika Ana sudah berdiri mematung di sana dengan barang berlanjaan yang sudah tergeletak mengenaskan di lantai.
"Mau ke mana, Mas? Selain saya, siapa lagi yang Mas panggil Adek?" tanya Ana berusaha meredam emosinya.
"Mau ke rumah Dini. Mau anter dia ke Taman Safari. Lumayan, Mas jadi jalan-jalan gratis. Mas diminta buat jadi sopirnya," jawab Rangga santai, dengan semangat memakai baju terbaik yang ia miliki.
"Jadi Mas benar-benar memadu kasih dengan Dini?" tanya Ana mendekat pada suaminya, dengan kaki gemetar. Lelaki itu tengah menyemprotkan hampir setengah botol minyak wangi pada bajunya.
"Eh, jangan dekat-dekat! Kamu belum mandi. Ya ampun, kenapa perempuan setelah menikah tidak ada manis-manisnya? Malah seperti pembantu!"
Ana tersenyum miring. "Apa yang tidak terlihat oleh mata kepalaku, tetapi Allah Maha Melihat. Lakulanlah sesukamu, Mas!" Ana berjalan keluar kamar dengan hati panas membara. Tak dipedulikannya suaminya yang sudah melesat pergi menggunakan sepeda motor, yang dibeli dari hasil pesangon saat dirinya mengundurkan diri.
Diambilnya ponsel di atas nakas, lalu ia kirimkan pesan pada Dini.
"Aku tak tahu ada hubungan apa kamu dan suamiku. Satu yang harus kamu ketahui, tidak ada pelakor yang dapat hidup tenang, dan salingkuh itu penyakit yang tidak ada obatnya."
****
Ana menunggu kepulangan suaminya hingga pukul delapan malam. Hati dan kepalanya sungguh panas, membayangkan sang suami yang bertamasya dengan keluarga wanita lain. Walau diberi upah karena dia yang menyetir. Tetap saja, hati kecilnya menolak. Apalagi, pesan yang ia kirimkan pada Dini hanya ceklis satu. Apakah nomornya telah diblokir wanita itu?TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana," suara seorang tetangga wanita yang sangat ia hapal, berseru di balik pintu rumah kontrakannya."Wa'alaykumusalam. Sebentar," jawab Ana berdiri dari duduknya, lalu memutar kunci pintu."Eh, Mbak Lasmi. Ada apa, Mbak?" tanya Ana terheran. Tetangga wanitanya itu datang membawa dua mangkuk tertutup tisu."Ini, saya tadi iseng bikin macaroni panggang. Ini, silakan dicicipi, Mbak. Yang mangkuk kuning untuk Mbak Ana, yang mangkuk merah muda untuk suaminya Mbak Ana.""Loh, banyak sekali sampai dua mangkuk? Satu saja belum tentu habis, Mbak," ujar Ana dengan perasaan j
Sudah pukul empat sore, tetapi Dini dan suaminya tak juga pulang. Ana menunggu sambil duduk di teras dengan perut lapar. Pembantu rumah tangga Dini sudah menawarkan makanan, tetapi ia tak sudi menerimanya. Takkan mau ia menelan makanan yang juga dimakan oleh Dini.Perutnya semakin keroncongan, dan rasa nyeri mulai terasa. Ia lupa, jika tidak boleh terlambat makan. Jika tidak, maka ia akan sakit perut hingga berhari-hari."Bik, saya pamit ya. Sampaikan saja pada Dini, kalau saya Ana;istri dari Rangga Abdillah, datang ke sini," ujar Ana tegas. Wanita paruh baya itu tak menyahut, ia hanya mengangguk pelan sambil mengekori langkah Ana keluar dari rumah majikannya. Setelah Ana pergi, ART Dini kembali mengunci pagar, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.Ponselnya berada di atas nakas bergetar, bibik membuka pesan yang ternyata dari nona majikannya."Sudah pergi belum, Bik?""Sudah, Non.""Bagus. Saya pulang sekarang."****
Rangga keluar dari rumahnya dengan amarah memuncak. Ditinggalkannya Ana yang menangis tersedu menahan perih di hati dan juga kedua ujung bibirnya. Suaminya betul-betul berubah. Rangga yang sekarang, bukanlah Rangga yang dulu ia kenal. Jika perkataan kasar ia bisa bersabar menelannya, tetapi perbuatan kekerasan fisik, sudah sangat keterlaluan.Tertatih Ana bangun dari duduknya. Kakinya melangkah ke dapur menuju kulkas. Dikeluarkannya batu es kecil, lalu ia bungkus dengan kain lap bersih. Setelah itu ia tempelkan di kedua sudut bibirnya yang terluka."Sstt ...." beberapa kali ia meringis menahan perih, karena sakitnya luar biasa bagi dirinya yang baru pertama kali ditampar sampai terluka seperti ini.TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana. Saya Endang," seru suara wanita di ujung pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. Untunglah kain krai pembatas antara ruang depan dan ruang tengah terbentang. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat ke dalam.&nb
Pukul empat sore, Ana sampai di rumah. Dengan tubuh masih lemas dan kepala bagai tertimpa batu besar, ia berjalan sedikit terhuyung masuk ke dalam gerbang kontrakan. Sebenarnya, oleh dokter jaga IGD tempat ia dibawa oleh teknisi ponsel tadi, sudah melarangnya untuk pulang karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun ia enggan. Hati dan pikirannya tak akan tenang, jika belum menanyakan keadaan yang sebenarnya pada suaminya."Sakit Mbak Ana?" tanya Bu Diana yang kebetulan sedang menyuapi Susi;anaknya."Masuk angin doang ini, Bu," jawab Ana sambil berhenti sejenak."Rumah tangga berantam itu biasa. Sabar ya," ujar Bu Diana lagi. Ada enam belas pintu kontrakan di sini dan semua tahu jika berlajangan ini Ana dan suaminya sering bertengkar. Dia memang harus siap jiwa, raga, dan juga tebal telinga mendengar komentar nyinyir dari tetangga yang memang iri padanya karena memiliki suami yang tampan. Sekaligus tidak akur dalam beberapa hari ini."Iya, Bu. Terim
Ana dan Rangga tidur saling memunggungi, setelah keduanya kembali bertengkar. Sebenarnya, Ana terlihat lebih menguasai emosinya, berbeda dengan Angga yang nampak tertekan saat ketahuan berbicara tidak pantas dengan seseorang di seberang telepon sana. Wanita itu hanya bertanya, tapi jawaban yang terlontar dari bibir suaminya sangatlah kejam."Bukan urusanmu! Cukup kau urus rumah dan memikirkan bagaimana caranya agar punya anak?!" kalimat pahit itu yang keluar sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi. Seketika Ana teringat dengan pesan seorang wanita yang mengatakan bayi mereka. Jika seperti itu, berarti dirinya yang mandul, sehingga Angga berani berbuat keji seperti ini.Wanita itu tak juga bisa memejamkan mata. Air bening masih terus saja mengalir membasahi kedua pipinya. Padahal hansim sudah berkeliling dan memukul kentong sebanyak dua kali. Menandakan saat ini sudah pukul dua dini hari. Suara ngorok suaminya pun terdengar sangat lantang mengisi kamar, sehingga m
Setelah menyantap sarapannya dengan nikmat. Angga pun bersiap hendak berangkat ke pabrik. Name tag yang biasa ia gunakan untuk absen di depan gerbang pabrik tak lupa ia kalungkan di lehernya. Seperti biasanya ia berangkat bekerja. Tak sekalipun ia melirik Ana. Karena fokusnya pada perlengkapan yang baru saja ia masukkan ke dalam tas."Mas, tukang baso di pabrik masih buka gak sih? Aku mau ke sana. Janjian sama Desi," ujar Ana memancing ekspresi suaminya. Benar saja, Rangga tak langsung menjawab, lelaki itu nampak tengah memikirkan kalimat apa yang akan ia sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan istrinya."Gak ada. Udah gak jualan. Tutup kios basonya," jawab Rangga berbohong. Kakinya sudah melangkah lebar berjalan keluar rumah. Diletakkannya bokong di atas kursi plastik, saat akan memakai kaus kaki, kemudian sepatu."Oh, tutup ya. Soalnya kata Desi buka," balas Ana yang sudah ikut duduk di samping suaminya."Pasti teman kamu itu salah lihat. Dah, aku mau
Braak!Brugh!"Sstt ... Aaargh ....!" Ana terjatuh dari pijakannya. Namun, seketika itu juga ia mencoba berdiri walau tubuhnya sedikit limbung. Abang ojek yang melihat Ana susah terjatuh, langsung turun dan ikut menyebrang menghampiri Ana dan membantunya berdiri."Mbak, gak papa?""Saya tidak baik-baik saja, Bang," jawab Ana dengan air mata yang siap tumpah bagai air bah. Tubuhnya yang sudah bediri tegak, kembali berjongkok. Ana menangis sesegukan, menyimpan wajahnya dibalik lutut. Si abang ojek tak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itu kebingungan sendiri dengan penumpangnya yang menangis tersedu."Udah, Mbak. Apapun yang dilihat di balik tembok itu. Anggap aja ujian. Mbak harus kuat dan sabar. Bukan saya menggurui, tetapi percayalah setelah badai akan ada pelangi," ujar lelaki itu mencoba memberi semangat untuk Ana.Untuk beberapa menit berlalu, Ana masih saja terisak menangis pilu. Namun, ia sudah mengangkat wajahnya untuk melihat ke
"Apa yang kalian lakukan di sini? Menjijikkan!" teriak Ana dari depan pintu dengan suara menggelegar. Wanita setengah baya, yang usianya hampir dua kali dari dirinya, terlonjak kaget hingga terjatuh di atas kasur empuk. Rangga yang tadinya ada di posisi bawah, juga terlonjak kaget sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos."Ana?!" ujar keduanya dengan mata melotot kaget. Wanita itu dengan segala keberaniannya, masuk ke dalam kamar, lalu mendekat pada suaminya."Jadi, selama ini kamu melacur dengan ibu sambungku, Mas? Sudah berapa lama? Kalian sudah gilakah?" Ana melotot dengan air mata sudah menganak sungai membasahi kedua pipinya."Maaf, saya bukan ibu sambung kamu lagi. Saya sudah tak ada hubungan dengan kamu. Rangga, tolong singkirkan wanita ini. Mana Tante belum sampai. Merusak suasana saja!" Rangga mengangguk paham. Masih dengan menutupi tubuhnya dengan selimut, Rangga memunguti pakaiannya satu per satu yang berserakan di lantai.