Audrey Alexandra Allen, perempuan alpha yang sedang kesulitan karena syarat menikah dari ayahnya untuk mendapatkan hak waris perusahaan. Dia kemudian menjerat Damar. Lelaki blasteran yang lebih muda darinya dan merupakan asisten yang baru saja masuk bekerja. Mampukah Audrey mendapatkan apa yang dia inginkan? Lalu, mampukah Damar menghadapi bos gila kerja dan ingin selalu membuat para lelaki tunduk padanya? Created: 05 Januari 2024
Lihat lebih banyak“Apa namanya?” Tiba-tiba saja Audrey bertanya, ketika Jelita muncul di hadapannya? “Ya?” Sang sekretaris yang baru saja tiba dari kantor itu, tentu bingung mendengar pertanyaan tidak jelas. Bahkan dia belum dipersilakan duduk. “Aku sedang bertanya,” balas Audrey dengan ketus. Dia merasa tidak didengar. “Saya tahu Bu Audrey bertanya, tapi apa pertanyaannya?” Jelita tidak segan untuk bertanya ulang. “Maksud saya, tadi Bu Audrey hanya bertanya tentang nama. Tidak ada penjelasan sebelumnya.” Audrey mendesis kesal. Dia ingin sekali marah, tapi yang dikatakan Jelita juga benar. Tadi memang dirinya hanya bergumam sangat pelan, berharap sang sekretaris yang datang ke rumah untuk bekerja, tidak terlalu mendengar. “Kemarilah.” Audrey meminta Jelita untuk mendekat. Dia pada akhirnya kalah dengan rasa ingin tahu. “Kalau kau tiba-tiba menjadi cemas atas seseorang yang sebelumnya tidak pernah kau cemaskan, itu kenapa?” Audrey berusaha menjelaskan dengan sedetail mungkin. Jelita tidak
“Damar.” Audrey mendesis pelan. “Kau mau apa?” “Menurutmu apa?” tanya Damar, tidak berhenti menghindu aroma yang menguar di antara ceruk leher sang istri. “Tentu saja menggodaku, tapi ada Madre di rumah ini.” Audrey kembali mendesis. Dia merasa geli dengan embusan napas Damar, juga sentuhan lelaki itu di tubuhnya.“Apa kau mau cari mati? Ibumu akan marah kalau kita bersenang-senang di sini. Lukamu juga belum kering.” “Lukaku itu ada di bagian leher, Audrey,” bisik Damar tepat di telinga. “Itu tidak akan berdarah lagi, hanya karena kita bercinta. Bercinta dengan brutal sekali pun tidak masalah, asalkan bagian itu tidak disentuh.” Audrey menggeram antara kesal dan ingin, tapi pada akhirnya dia menyerah juga. Padahal, semalam Fiana sudah memperingatkan untuk tidak membuat Damar kelelahan dengan alasan apa pun. Tapi subuh ini, janji itu sudah dilanggar. Biarlah nanti mertuanya marah, yang penting Audrey menikmati indahnya dunia sekarang. Lagi pula, yang penting dia hanya perlu hati-h
“Audrey ada apa denganmu?” Carl mengguncang bahu putrinya dengan kening berkerut. “Daddy.” Setelah cukup sadar dari keterkejutan, Audrey menatap ayah kandungnya dengan raut wajah bingung. “Sejak kapan Daddy pulang?” Saat ini, Audrey memang sedang melamun di ruang tamu rumahnya. Damar sudah kembali dari rumah sakit, dan Fiana meminta agar dia saja yang merawat sang putra untuk sementara. Itu berarti, Audrey dan Damar sekarang sedang tidak bersama. “Sudah sejak beberapa menit yang lalu, dan Daddy malah menemukan putri Daddy melamun di ruang tamu?” ucap Carl dalam nada tanya. “Tidak bisakah kau melamunkan suamimu di ruangan lain saja?” “Dari mana Daddy tahu kalau aku sedang melamunkan Damar?” tanya Audrey dengan kening berkerut. “Memangnya apalagi yang bisa dilamunkan seorang Audrey, kalau bukan pekerjaan atau lelaki yang tentu saja sudah menjadi suami. Rasa rindumu terlihat jelas.” Carl memutar bola mata, karena gemas melihat putrinya. Audrey meringis mendengar sang ayah. Padahal
“Ada apa dengan matamu itu?” Vita langsung bertanya, ketika melihat tampang putri sambungnya esok hari. “Kenapa dengan mataku?” tanya Audrey kebingungan. “Dia tampak merah.” Fiana yang menjawab. “Seperti orang habis menangis.” “Siapa yang menangis?” hardik Audrey tampak sedikit panik. “Aku hanya tidak bisa tidur semalaman, tapi itu tidak berarti aku cemas.” Fiana mendengus pelan mendengar apa yang barusan menantunya katakan. Baginya, melihat Audrey yang menyangkal terlihat sangat lucu. Tapi sudahlah, Fiana sedan tidak ingin bertengkar dan memilih untuk mengangguk saja. “Bagaimana Damar?” tanya Audrey, mengintip ke arah ranjang pasien. “Seperti yang kau lihat.” Masih Fiana yang berbicara. “Dia sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan itu berarti Damar sudah lebih baik dari kemarin.” Audrey mengangguk pelan. Dia merasa sangat bodoh, karena masih mempertanyakan hal yang sudah pasti. Hal yang membuat perempuan itu lupa mendekat ke arah ranjang dan melihat lelaki yang
“AUDREY.” Perempuan yang dipanggil itu mendongak. Dia bisa melihat ibu dan mertuanya berlarian di lorong rumah sakit. Hal yang membuatnya sedikit saja merasa lebih lega. Setidaknya, ada yang bisa menemaninya dan ada tempat Audrey untuk curhat. “Apa yang terjadi?” Fiana adalah orang pertama yang bertanya. “Kenapa Damar ada di rumah sakit lagi?” “Ada begal,” jawab Audrey tanpa perlu berpikir panjang. “Padahal jalanan cukup ramai, tapi mereka tetap berusaha memecahkan kaca mobil dan melukai Damar dengan pisau.” “Apa mereka gila?” tanya Vita dengan nada suara yang meninggi. “Dasar orang-orang tidak ada kerjaan. Memangnya mereka pikir tidak akan tertangkap.” “Mereka tertangkap, Mom. Itu pun karena Damar punya refleks yang cukup bagus,” balas Audrey terlihat cukup cemas. “Dia dengan cepat membuka pintu mobil dengan keras, untuk menjatuhkan orang-orang itu. Kebetulan mereka sangat mepet ke mobil.” “Lalu apakah Damar terluka? Di mana dia?” Audrey tersenyum kecut mendengar perta
“Damar.” Audrey memanggil dengan hati-hati. “Ya.” Lelaki yang dipanggil, menoleh untuk sesaat dan mengalihkan perhatian dari jalanan yang ada di depannya. Sekarang ini, dua orang itu sedang perjalanan pulang dari kantor ke rumah. Keadaan jalanan yang hari ini sangat macet, membuat mereka berdua menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan. “Aku penasaran, bagaimana kau menanggapi pernikahan kita sekarang ini?” tanya Audrey pada akhirnya memantapkan hati untuk bertanya. Damar tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir, tapi itu hanya berlangsung sebentar saja. Mungkin hanya semenit saja. “Sebenarnya, aku menginginkan pernikahan ini dilanjutkan saja.” Damar menoleh, untuk melihat reaksi perempuan yang ada di sebelahnya. “Maksudku, tidak perlu pakai kontrak lagi. Tapi kalau mau ada perjanjian pernikahan, aku tidak keberatan.” “Kenapa kau ingin seperti itu?” tanya Audrey jadi makin penasaran saja. “Kenapa tiba-tiba berubah pikiran. Sebelumnya kan kau tidak menginginkan ikatan
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Pertanyaan itu adalah hal pertama yang keluar dari mulut Jennie keesokan harinya. Lebih tepatnya lagi, saat dia sudah duduk di sofa yang ada di ruangan Audrey. Tentu saja sang pemilik ruangan, Damar dan Mathilda juga ada. “Kami sudah menikah,” jawab Audrey tanpa harus berpikir panjang. “Jadi sebenarnya dari awal Damar masuk, kalian sudah bersama? Atau, setelah itu?” Jennie kembali bertanya. “Dari sebelumnya.” Kini giliran Damar yang berbicara, menyamakan dengan apa yang pernah dia katakan pada ibu dan mertuanya. “Kami memang berkenalan belum terlalu lama dan tidak terlalu akur juga, tapi kami memutuskan menikah.” “Lalu setelah dijalani, ternyata aku membutuhkan Audrey lebih dari yang aku bayangkan.” Damar kembali menatap istrinya dengan senyum lebar. Tentu saja Audrey kembali tersenyum pada lelaki yang duduk di sampingnya. Dia harus melakukan itu, untuk menunjang skenario yang sudah mereka susun bersama. Tapi entah kenapa, Audr
“Jadi, kau ibunya Audrey?” tanya Fiana dengan tangan terlipat di depan dada. “Kau menipuku?” Mereka semua, pada akhirnya berkunjung ke cafe terdekat dari rumah sakit. Tapi kali ini, Mathilda tidak ikut. Fiana sendiri yang memintanya untuk pulang. “Aku tidak menipu,” jawab Vita dengan tegas. “Aku hanya tidak tahu kalau kau adalah ibunya Damar. Panggilan Mbak Fiana itu, Madre kan? Kupikir Madre itu adalah sebuah nama, tapi tahu-tahunya sebutan untuk ibu.” Fiana mengangkat sebelah alisnya. Dia sedang mencoba melihat apakah perempuan yang hanya sedikit lebih muda darinya itu sedang berbohong atau tidak. Sayangnya, Fiana tidak bisa menemukan apa pun. “Saat kita bertemu, aku bahkan tidak tahu siapa Mbak Fiana,” lanjut Vita dengan tenangnya. “Aku pikir kita bisa berteman baik, jadi aku mencoba untuk akrab. Aku bahkan tidak tahu kalau Damar masih punya keluarga, sampai beberapa hari lalu." Untuk yang kalimat yang terakhir, Vita sama sekali tidak berbohong. Memang pada awalnya dia t
“Kenapa dia sering sekali masuk rumah sakit?” Vita mengembuskan napas pelan, ketika melihat kondisi menantunya. “Aku hanya sedikit kelelahan, Mom,” jawab Damar dengan pelan. “Aku sama sekali tidak pingsan, tapi semua orang memaksaku pergi ke rumah sakit.” “Mom?” Jennie yang juga ada di ruangan rumah sakit langsung bertanya. “Siapa yang kau panggil Mom, Damar?” Semua orang menoleh ke arah datangnya suara. Tidak ada yang menyangka, kalau Jennie ternyata belum pulang sejak tadi. Kini, perempuan itu datang lagi dengan secangkir kopi di tangan. Jennie tentu saja mengenali siapa Vita. Perempuan yang dimaksud adalah ibu tiri dari Audrey dan jelas tidak punya hubungan dengan Damar. “Kau ... salah dengar mungkin,” jawab Vita mencoba untuk menutupi. “Saya tidak salah dengar, Bu Vita. Sejak tadi di kantor, saya sudah mendengarkan hal tidak masuk akal dan ikut sampai ke sini untuk meminta penjelasan. Vita mengembuskan napas dengan pelan. Dia sudah tahu pernikahan ini disembunyikan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.