“Apa namanya?” Tiba-tiba saja Audrey bertanya, ketika Jelita muncul di hadapannya? “Ya?” Sang sekretaris yang baru saja tiba dari kantor itu, tentu bingung mendengar pertanyaan tidak jelas. Bahkan dia belum dipersilakan duduk. “Aku sedang bertanya,” balas Audrey dengan ketus. Dia merasa tidak didengar. “Saya tahu Bu Audrey bertanya, tapi apa pertanyaannya?” Jelita tidak segan untuk bertanya ulang. “Maksud saya, tadi Bu Audrey hanya bertanya tentang nama. Tidak ada penjelasan sebelumnya.” Audrey mendesis kesal. Dia ingin sekali marah, tapi yang dikatakan Jelita juga benar. Tadi memang dirinya hanya bergumam sangat pelan, berharap sang sekretaris yang datang ke rumah untuk bekerja, tidak terlalu mendengar. “Kemarilah.” Audrey meminta Jelita untuk mendekat. Dia pada akhirnya kalah dengan rasa ingin tahu. “Kalau kau tiba-tiba menjadi cemas atas seseorang yang sebelumnya tidak pernah kau cemaskan, itu kenapa?” Audrey berusaha menjelaskan dengan sedetail mungkin. Jelita tidak l
“Kalian tadi ngobrolin apa sih?” Damar yang sudah segar sehabis mandi pagi, mendekat. “Aku hanya dengar soal virus.” “Ada virus di komputer kantor,” jawab Audrey secara spontan. Tak lupa juga, Audrey segera melotot pada Jelita. Dia melakukan itu, agar sang sekretaris menutup mulut tentang pembicaraan mereka tadi. “Tapi tidak apa-apa kok, Pak. Sudah diselesaikan dengan cepat,” ucap Jelita mengikuti keinginan atasannya. “Baguslah kalau begitu.” Damar mengangguk, kemudian ikut duduk. “Sekarang waktunya aku membantumu.” “Apa maksudmu dengan membantu?” hardik Audrey dengan mata melotot. “Kau itu pasien, tidak boleh bekerja.” “Tapi aku juga tidak bisa duduk dan melihatmu.” Damar membalas, walau tidak terdengar terlalu ngotot. “Aku juga bosan, Re. Aku juga ingin bekerja walau sedikit dan aku masih asistenmu.” “Kalau begitu kau dipecat,” balas Audrey dengan teganya. “Kok gitu sih?” Jelas saja Damar akan protes. “Ya karena aku gak mau kau kerja saat sakit.” “Lalu dari mana a
“Kalian terlambat.” Seorang pria paruh baya, menatap arlojinya dengan tatapan serius. “Padre, kau tahu tidak mungkin bagiku datang dari rumah ke sini dalam tiga puluh menit.” Damar tentu saja akan mengeluh. “Apalagi ditambah dengan luka di sini. Ini menggangguku membawa mobil.” “Kenapa harus kau yang membawa mobil?” Ayah dari Damar itu mengerutkan kening. “Kan ada ... istrimu.” Walau sempat ragu, ayah angkat Damar pada akhirnya menunjuk Audrey juga. Hal yang membuat perempuan itu langsung menegakkan badan dan bersiap untuk menyapa. “Selamat sore, Padre. Maaf karena aku tidak bisa membantu Damar menyetir, juga selamat datang dan salam kenal. Namaku Audrey.” Sebelah alis ayah Damar terangkat melihat kepercayaan diri menantunya. Padahal tadi dia dengan jelas mengejek, tapi rupanya Audrey tidak terlalu terpengaruh. Entah perempuan itu yang kurang peka, atau dia memang bersifat percaya diri. “Dominique Evarado, panggil saja Domi. Seperti yang kau tahu, ayah Damar dan juga mertuamu.”
“Ada apa denganmu?” Damar bertanya, ketika melihat sang istri melamun di atas ranjang. “Aku hanya memikirkan pembicaraan tadi,” jawab Audrey, tanpa menoleh. Dia tetap menatap kosong ke arah depan. “Kalau kau khawatir kedua orang tuaku curiga, maka itu tidak pelu.” Damar mengatakannya, sembari menyibak selimut untuk masuk ke dalamnya. “Kau sudah mengatakan hal yang sebenarnya dan sangat meyakinkan.” Audrey mengembuskan napas pelan dan kembali membayangkan apa yang tadi dia katakan. Dia mengatakan sebagian besar kebenaran, walau ada sedikit bercampur kebohongan. Atau mungkin semua yang dia ucapkan tadi adalah kebenaran? “Kami bertemu pertama kali saat Damar melamar pekerjaan,” ucap Audrey saat makan malam tadi. Itu tentu saja adalah kenyataan. “Aku membaca CV Damar dan langsung tertarik. Maksudku, tidak banyak lelaki yang punya cita-cita jadi asisten pribadi dan saat itu aku pikir ... dia cocok.” “Cocok dalam hal apa?” tanya Domi dengan senyum miringnya. “Tentu saja menjadi asis
“Aku benar-benar mengacau,” keluh Damar dengan suara pelan. “Apa yang kau kacaukan?” Dominique bertanya pada putra semata wayangnya. Damar menghela napas. Padahal dia sudah lama tidak duduk minum kopi, sambil bercerita dengan ayahnya. Tapi ketika waktu untuk melakukannya sudah tersedia, Damar tidak bisa menceritakan apa pun. “Itu rahasia.” Pada akhirnya, hanya itu yang bisa dikatakan Damar. “Ini pasti menyangkut istrimu kan?” Domi menebak dengan sangat akurat. “Karena itu dia pergi ke kantor hari ini, sementara kau tinggal di rumah. Kalian bertengkar?” Embusan napas Damar terdengar sangat keras. Dia memang ditinggal di rumah dengan alasan masih sakit, tapi apakah mereka bertengkar? Damar juga tidak begitu yakin. “Entahlah kurasa tidak.” Damar menggeleng, setelah berpikir cukup lama. “Tapi kenapa kau tidak yakin?” “Karena memang ada masalah di antara kami, tapi tidak setiap masalah membuat pasangan bertengkar kan?” “Kalian benar-benar dewasa.” Dominique tertawa mendengar ejek
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br