Share

4. Teman yang Lebih Mirip Musuh

Kini kondisi pasien telah stabil, semua orang tampak jauh lebih lega, operasi terus dilanjutkan.

Dokter Angga memandang sayatan di perut Sarah dengan cermat. Sayatan tersebut harus dijahit dengan sempurna, bukan hanya sekedar penyembuhan, namun juga agar bekas luka nantinya terlihat sekecil mungkin. Sarah, seorang gadis muda, pantas mendapatkan perawatan sekelas bedah plastik.

Dengan hati-hati, Angga mulai membersihkan luka operasi dengan larutan antiseptik untuk memastikan tidak ada kuman yang tersisa. Proses membersihkan ini sangat penting untuk mencegah infeksi selama proses penyembuhan. Ia menggunakan cairan antiseptik khusus yang meredakan potensi iritasi pada kulit sensitif.

Setelah membersihkan luka, Angga mempersiapkan benang bedah yang akan digunakan untuk menjahit sayatan. Benang ini adalah benang bedah heksafluorida, sebuah jenis benang yang sangat tahan terhadap reaksi tubuh dan dapat meningkatkan penyembuhan luka. Ini adalah teknik bedah modern yang memastikan bekas luka minimal dan proses penyembuhan yang lebih cepat.

Tanpa sengaja pandangan Angga jatuh kepada asisten pertama yang merupakan dokter magang. Di wajah yang masih nampak muda dan hijau itu penuh dengan ekspresi ingin tahu dan ketegangan.

Hal ini mengingatkannya pada dirinya dulu saat masih menjadi dokter muda. Ingin belajar, namun tidak punya guru.

Hati Angga melembut dan memulai penjelasan atas tindakannya, "Baik, sekarang mari kita mulai menjahit sayatan ini. Ini adalah langkah penting dalam proses operasi. Pertama, pastikan jarum dan benang dalam keadaan steril. Ingat, sterilisasi adalah kunci."

Dokter magang cukup terkejut, matanya menatap Angga dengan antusias dan penuh syukur, namun dia dengan cepat menstabilkan emosinya dan kembali fokus pada pada bidang operasi dan telinganya tegak mendengarkan penjelasan Angga.

Dengan hati-hati, Angga memulai jahitan. Dia menggunakan jarum bedah steril dan sangat tajam untuk menjahit kulit dengan presisi.

"Pastikan jarum masuk dan keluar dengan sudut yang tepat, dan pastikan untuk menjaga jarak yang konsisten antara jahitan-jahitan. Selalu periksa hasil jahitan sebelum melanjutkan."

Dokter magang terus mengangguk dan memperhatikan.

Setiap jahitan dilakukan dengan sangat hati-hati, mengikuti tepi sayatan dengan ketelitian luar biasa. Ia memastikan benang melewati lapisan kulit yang tepat untuk memastikan penutupan yang optimal dan meminimalkan bekas luka.

"Yang terakhir adalah jahitan kulit luar. Kita akan menggunakan teknik sutura intrakutaneus untuk menghasilkan jahitan yang halus di permukaan kulit. Pastikan benangnya tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Dan yang paling penting, tetap konsentrasi dan teliti."

Setelah menyelesaikan jahitan subkutan, Angga melanjutkan dengan jahitan kulit luar. Dia menggunakan teknik sutura intrakutaneus untuk menghasilkan tampilan yang sangat estetis. Jarum dan benangnya bergerak dengan gesit, menciptakan jahitan yang rapi dan minimalis.

Ketika Angga menyelesaikan jahitan terakhir, dia dengan hati-hati memeriksa kembali seluruh area operasi untuk memastikan bahwa semuanya dalam kondisi optimal.

Angga yakin bahwa bekas luka ini akan sembuh dengan baik dan menjadi semakin tidak terlihat seiring berjalannya waktu.

Dia puas dengan pekerjaannya dan tahu bahwa hasil akhir akan memberikan kepuasan dan pemulihan yang optimal bagi pasiennya, Sarah.

Melihat Angga dan dokter magang berkomunikasi dan menjadikan operasi ini sebagai bahan pembelajaran, Billy merasa murka.

Apakah dirinya transparan? Sampai-sampai kehadirannya tidak dianggap dan pasiennya dijadikan contoh ajar.

Apakah keduanya mengejek kemampuannya karena tidak bisa menemukan lokasi usus buntu? Apakah mereka semua menganggap dirinya tak kompeten?

Pikiran Billy semakin kacau saat melihat tatapan memuja dokter magang kepada Angga. Akhirnya Billy tidak tahan lagi lalu menggeram marah.

"Angga, jangan berbangga hati. Kau sebaiknya tidak berpikir aku telah kalah darimu!!"

Setelah menjatuhkan kata-katanya, Billy pergi dengan sombong tanpa menoleh sedikitpun pada platform operasi.

Dokter magang dan para staff perawat beradu pandang dengan tatapan bingung, namun tidak ada yang berbicara.

Hanya Angga yang terus menunduk dan menggelengkan kepalanya tak berdaya disertai senyumnya masam dibalik maskernya.

Billy pasti akan melaporkannya lagi dan kembali membuat ulah.

................

Angga sudah mengatur jadwalnya dengan baik beberapa waktu terakhir demi menghadiri simposium sore hari ini.

Namun tidak dapat dipungkiri, pikirannya tidak bisa rileks karena berbagai tekanan.

Ketika akhirnya operasi Sarah berakhir, hanya tinggal sedikit lebih dari satu jam sebelum simposium dimulai, namun Angga belum memilah materi yang mungkin dijadikan kuis.

Jangan berpikir Angga berpikiran tunggal dan hanya ingin menambah ilmu terbaru lewat seminar ini, Angga juga memiliki misi lain. Hadiah dari seminar bersponsor ini sangat menggiurkan bagi dokter miskin seperti Angga.

Sebagai peserta, semua dokter yang berpartisipasi akan mendapatkan stetoskop keluaran terbaru dari sponsor, sebuah dealer peralatan kesehatan ternama, Siemens.

Mengandalkan tabungan dari sisa gajinya, Angga tidak akan sanggup membelinya.

Untuk peserta yang memiliki pertanyaan terbaik atau dapat menjawab pertanyaan dari moderator, kabarnya akan mendapat satu set peralatan bedah dengan kualitas terbaik sesuai spesialisasinya.

Setiap kali membayangkannya, jantung Angga akan berdegup lebih keras dan bahkan beberapa kali dia mendapati ada cairan di sudut bibir ketika dia tanpa sadar mengusapnya.

Singkatnya, kesempatan ini jarang terjadi dan dia tidak boleh melewatkannya.

Setelah selesai operasi, seperti biasa Angga akan selalu memeriksa ponselnya.

Kali ini, tidak ada pesan. Namun ada beberapa panggilan tak terjawab dari sahabatnya, Joshua.

Angga memutuskan untuk menelpon balik tanpa tahu dia akan menyesali keputusannya ini.

"Halo Josh, ada apa meneleponku? Aku tadi masih di ruang operasi."

"Oh halo, Angga. Tadinya Siska berkata operasi John sudah berakhir. Karena itulah aku menelpon mu. Tapi ternyata kau punya operasi lain."

Hening beberapa saat, lalu Joshua kembali bertanya, "Apakah Billy mengganggumu lagi?"

Angga tak bisa berkata-kata tentang kemampuan Josh menebak kebenaran dan kini dia hanya bisa menggaruk ujung hidungnya karena merasa tidak nyaman, "Hmm, begitulah. Terimakasih sudah peduli, Josh."

"Omong kosong macam apa ini!! Tentu saja aku peduli padamu, kita adalah teman."

Angga merasa tergerak karena kata-kata Josh, hidungnya bahkan terasa asam dan matanya menggenang. Lalu dia menjawab singkat, "Hmm."

"Nah Angga, karena kita adalah teman maka kau harus membantuku."

Tanpa banyak berpikir, Angga menjawab, "Jika aku mampu, pasti aku akan membantu."

Suara Joshua tampak bersemangat ketika menjawab, "Mampu, kau sangat mampu Angga!!"

"Cepatlah kau pergi ke klinik Jessica, dokter senior di sana merajuk karena meminta kenaikan gaji dan melakukan mogok kerja. Sekarang pasiennya yang merupakan teman baik Jessica sedang menunggu operasi. Jessica akan kehilangan muka jika harus memindahkannya ke klinik lain. Angga, Aku mohon padamu, bantulah Jessica."

Angga sempat terpana beberapa saat ketika mendengar penuturan Joshua yang menggebu, memikirkan akan kembali ke pekerjaan lamanya saat ini atau menghadiri simposium, batin Angga terasa begitu berkecamuk.

"Josh, Aku harus menghadiri simposium dalam satu jam lagi. Kau juga tahu, ini sangat penting bagiku." suara Angga terdengar begitu memelas.

Disaluran lain, hanya ada suara keheningan. Sepertinya Joshua baru menyadari kesalahannya.

"Maafkan aku Angga, aku benar-benar lupa." suara Joshua begitu lirih dan penuh penyesalan.

Namun tak lama kemudian, nada bersemangat Joshua kembali terdengar, "Ehh? Tapi kau tadi bilang satu jam lagi, kan? Masih ada waktu Angga."

"Cepat cari taksi dan datang secepatnya ke klinik Jessica, pasiennya sudah lama menunggu. Aku akan memeras Jessica dan melipatgandakan biaya pisaumu. Oh, dan ya, aku akan memintanya mengganti biaya taksimu. Sebagai temanmu, aku akan memperjuangkan keuntungan untukmu, Angga."

Suara Joshua terdengar begitu gigih dan pantang menyerah, membuat Angga kehabisan kata-kata namun juga merasa tidak enak hati.

Angga ingin menjawab, namun sambungan telepon sudah terputus.

Dduu dduu dduu...

Memandang layar ponselnya tak percaya, Angga tidak punya kesempatan untuk memaki kelakuan temannya, Joshua.

Oleh karena itu, Angga sebenarnya memiliki ritme mengepalkan tangan namun tidak tahu siapa yang harus dipukul.

Dengan teman yang ahli dalam mengadu seperti Joshua, Angga benar-benar merasa dirinya tidak membutuhkan musuh.

Rekan setim babi lebih membahayakan daripada musuh tingkat dewa.

"Harrghh...." Angga menghembuskan napas kasar dan mengacak rambutnya, tak lama kemudian dia berlari menuju taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya.

Memasuki taksi, Angga langsung menyebutkan tujuannya, "Tujuannya ke Paw Paw Clinic ya, Pak! Secepatnya! Ada keadaan darurat, tolong cari jalur tercepat."

Angga yang mengatur napasnya yang terengah tidak menyadari sopir taksi kini dalam keadaan bingung.

Seingat sang sopir, klinik tersebut adalah klinik dokter hewan. Sedangkan penumpangnya ini, yang berlari dari arah rumah sakit ternama dan masih menggantungkan identitas dokter bedah di pakaiannya adalah dokter sungguhan. Ehh, dokter manusia? Ehh?

Maksudnya adalah bukan dokter hewan. Keadaan darurat seperti apa yang sedang terjadi di sana?

Semua detail ini menjadi bahan bakar sang sopir taksi membuat skenario imajinatif. Tapi ia tetap profesional dan memaksimalkan kemampuannya dalam mempersingkat waktu kemudi.

Ding! Ding! Ding!

Firasat buruk kini menghantam batin Angga tatkala suara notifikasi pesan terdengar dari ponselnya.

Tangannya gemetar saat membuka pesan tersebut, membawa Angga ke dalam kondisi pikiran yang tak terduga, merangkak di sudut gelap pikirannya.

Apakah ini awal dari sesuatu yang lebih kompleks, atau hanya kebetulan semata?

----------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status