Share

8. Pengungkapan Kesalahan Billy

Angga merasa frustasi yang tak berdaya, hampir seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia mengerti. Dirinya kini merasa sepenuhnya terombang-ambing dalam situasi yang tak ia mengerti sepenuhnya. Matanya berusaha memahami dinamika di hadapannya.

Sekarang, Agatha dan neneknya tampak begitu kompak, seolah mereka berdua telah membentuk aliansi yang mengambil peran tersendiri di dalam skenario yang tak terduga ini. Tingkah lembut dan senyum penuh kasih yang mereka tukarkan menambah kompleksitas situasi yang sudah rumit. Seiring keringat dingin yang menetes, Angga hanya bisa pasrah pada kedua wanita yang sedang bekerjasama dalam sesuatu yang ia tidak tahu apa-apa.

Neneknya, yang selalu menjadi sosok yang bijak dan lembut, kini juga menampilkan sisi kuat yang mungkin jarang Angga lihat. Sorot matanya memancarkan kebijakan yang dalam, dan senyumnya menandakan bahwa dia memiliki suatu rencana atau pemahaman yang lebih luas.

Namun, Angga merasa tidak memiliki kontrol atas apa pun. Dia hanya seorang penonton dalam drama kehidupannya sendiri, harus memaklumi bahwa kisah ini mungkin saja bergerak tanpa kemauannya sendiri.

Tapi bukan hanya Angga yang sedang merasa tertekan. Di sisi lain, pengunduran diri seorang dokter kecil yang tidak mencolok seharusnya tidak akan meninggalkan percikan apapun ke rumah sakit besar kenamaan. Tapi kali ini terjadi hal yang tidak biasa.

Dealer alat kesehatan mencari Angga berharap bisa menjadi sponsornya. Pasien apendiks pria paruh baya ingin menjalin kontak dengan Angga, sedangkan pasien yang masih seorang gadis muda ingin berterimakasih setelah mengetahui bahwasanya dia hampir mati di meja operasi karena usus buntu kecil itu.

Dalam situasi normal, rumah sakit pasti akan dengan senang hati mengakomodasi segala prestasi dan pujian ini kepada dokternya. Namun kali ini, dokter yang gemilang ini baru saja mengundurkan diri dengan memikul sakit hati akan ketidakadilan.

Dan saat ini, Billy sedang mengahadapi ayah dan pamannya yang meminta penjelasan tentang berbagai tindakannya yang tak sesuai prosedur dan etika.

Kantor mewah ini adalah milik ayah Billy, tempat di mana ayahnya berpraktek sebagai seorang dokter berpengalaman. Namun, kali ini, ruangan itu telah berubah dari tempat obrolan santai menjadi medan pertempuran keluarga yang tak terhindarkan. Dinding-dinding dihiasi mahoni yang gagah berdiri, lengkungan-langit berornamen, dan perabotan kayu yang elegan, semuanya menjadi saksi bisu pada pertempuran yang sedang berlangsung.

Billy, duduk berlutut di lantai yang bersih, menerima sorot tajam mata dari ayah dan pamannya yang menuntut penjelasan. Ayahnya, seorang dokter berpengalaman dengan jubah putihnya yang terengah-engah mengecam tindakan putranya. Begitu pula pamannya, yang duduk di sebelahnya, mengisyaratkan ketidaksetujuan dalam ekspresi wajahnya yang keras.

Dalam keadaan seperti ini, suaranya serasa hilang di tengah getaran emosi yang memenuhi ruangan. Ayahnya berbicara dengan keras, mengkritik keputusan Billy untuk menjadi dokter bedah. "Sudah kukatakan, sebaiknya kau menjadi dokter klinis mewarisi jubahku. Atau kau bisa pergi memulai karir di Biro Kesehatan. Karena kekeraskepalaanmu ini, kau hampir membunuh pasien di meja operasi hanya karena usus buntu," ucapnya dengan nada marah, suaranya memenuhi ruangan.

Billy, meski terpaksa berlutut, tetap mempertahankan pandangannya. "Selalu seperti ini, tidak ada yang mempedulikan keinginanku menjadi dokter bedah," gerutu batin Billy saat ayahnya mencercanya.

Pamannya, yang selama ini menjadi teman dan mentor Billy, akhirnya bersuara, "Kau tahu, Billy, bedah itu bukan hanya sekadar mengiris dan menjahit. Ini tentang hidup dan mati. Dan jika kau tidak bisa mengendalikan ego dan kekeraskepalaanmu, kau benar-benar tidak pantas menjadi dokter bedah."

Dalam hati Billy, terdapat bara semangat yang terus membara meskipun dihantam oleh ombak rasa frustasi yang mendalam. Ia telah bermimpi sejak lama menjadi seorang dokter bedah yang meraih prestasi gemilang di dunia medis. Tetapi keluarganya, terutama ayahnya, selalu terkesan tidak memahaminya. Rasa frustrasi tumbuh seperti lautan yang menggelombang.

Saat ayahnya terus berbicara, Billy merasa perasaannya semakin terkoyak. Kata-kata ayahnya menusuk hatinya seperti pisau. "Kau bisa tetap hidup dengan baik sampai sekarang karena ada Angga yang membersihkan semua kekacauan untukmu. Kini dia telah mengundurkan diri, tidak ada lagi orang yang dengan bodoh membantumu melakukannya tanpa pamrih. Mengapa kau menindas orang yang membantumu, Billy?"

menyebutkan Angga hanya membuat api kemarahannya semakin berkobar. "Tidak mungkin dia mengundurkan diri. Dia menolak tawaran kedokteran klinis dari seorang Profesor ternama sehingga membuatnya dikucilkan saat memilih bedah. Pujiannya sebagai 'tangan ajaib' juga telah menyinggung rekan sejawatnya dari angkatan yang sama."

"Sedangkan regulasi negaranya tidak memungkinkannya langsung dapat bekerja jika dia ingin menjadi dokter di sana. Dengan tingkat kemiskinan seperti itu, tidak mungkin dia mengundurkan diri!"

Billy berbicara dengan nada tinggi, dan dalam kata-katanya terdengar campuran perasaan penghinaan dan rasa iri yang mendalam. Wajahnya memerah, dan matanya menyala dalam kebingungan dan kemarahan yang tak terkendali.

"Bodoh, sungguh bodoh. Kau memiliki begitu banyak pilihan dalam situasi seperti itu, namun kau memilih untuk menjadi musuh Angga," ucap pamannya dengan nada kecewa yang dalam.

Billy merasakan kecewa mendalam menghampiri dirinya seperti kabut yang mencekam. Setiap kata dari pamannya menusuk seperti pisau tajam, menciptakan rasa sakit yang begitu mendalam di dalam hatinya. Ruangan kantor yang seharusnya menjadi tempat di mana dia dihargai dan didukung, kini terasa seperti tempat penghakiman.

Drrriinngg! Drrriinngg!

Suara telpon yang tajam, memotong suasana di kantor itu. Percakapan yang intens seketika terhenti saat paman Billy yang masih berdiri dengan keras menatap keponakannya yang berlutut di lantai. Pena yang ia pegang hampir jatuh dari tangannya.

Pamannya mengambil keputusan untuk menjawab panggilan itu, dan dalam beberapa patah kata, ia berbicara dengan serius. "Baik, kami akan membahasnya nanti." Setelah menutup telepon, ia menatap keponakannya dengan ekspresi yang penuh pertimbangan.

Tidak ada kata yang diucapkan, tetapi atmosfer di ruangan itu penuh dengan tekanan. Billy masih berlutut, menerima hukuman yang belum selesai, sementara suara telepon tersebut membawa pesan yang mungkin mengubah arah perjalanan mereka.

"Yang baru saja menelpon adalah keluarga dari donatur terbesar untuk lembaga penelitian rumah sakit kita, pasien prankeatikuduodenektomi yang ditangani Angga kemarin. Apakah Kau bisa menebak untuk apa, Billy?"

"Mereka ingin mengulurkan cabang zaitun dan mendukung perkembangan masa depan Angga. Entah pada akhirnya apakah membutuhkan Angga atau tidak, mereka akan menyumbang setidaknya jutaan dollar per tahun hanya demi mendapatkan prioritas andaikan mereka membutuhkannya. Itu adalah nilai dari orang berbakat, Billy."

Pamannya melanjutkan, mengevaluasi Angga dengan penuh kekaguman. Namun, semua pujian tersebut seolah menjadi cambuk untuk Billy. Rasanya seperti langit runtuh baginya, mendengar bagaimana Angga dianggap sebagai potensi besar. "Dengan kemampuannya yang dapat menangani operasi kelas berat seperti kemarin di usianya yang masih sangat muda, masa depannya tidak terbatas."

Billy merasakan getaran energi negatif yang melingkupinya, menggelayuti hatinya yang penuh ambisi. Kepalanya terasa berat, dipenuhi kekecewaan dan frustrasi. Ia telah berusaha keras, mengorbankan banyak hal untuk meraih cita-citanya sebagai dokter bedah. Namun, rasanya tidak ada yang memahami, bahkan dalam keluarganya sendiri.

"Di saat dia hanya seekor ikan kecil yang terombang-ambing arus, kau berkesempatan menariknya ke kubumu dan membuatnya tetap berada dalam kendalimu, tapi kau memilih yang terburuk, Billy." Kata-kata pamannya menghantam seperti kilat, menerangi rasa kecewa dalam dirinya.

"Baik ayahmu maupun aku akan melindungi mu untuk yang terakhir kalinya. Tapi kau akan mendapat pengawasan langsung dari kakekmu setelahnya," ujar pamannya dengan suara yang menggema di ruangan.

Billy merasakan getaran emosi yang melingkupinya, seakan-akan udara di sekitarnya menjadi lebih tebal. Ancaman keras dari kakeknya adalah bayangan gelap yang menggantung di pikirannya. Rasa penyesalan dan amarah mencampuri kekecewaannya, menghasilkan kekacauan emosional di dalamnya.

Ruangan itu terasa begitu berat, hampir menghentikan waktu. Semua harapannya hampir sirna, tenggelam dalam lautan penuh tekanan ini. Pamannya menjelaskan ancaman hukuman dari kakeknya, dan Billy merasa takut akan kehilangan dukungan keluarganya.

Billy yang masih berlutut, merenungi segala yang terjadi. Nasibnya seakan digantung di ujung tanduk, dan masa depannya diwarnai oleh bayangan ketidakpastian. Ada pertempuran internal yang belum selesai, dan Billy harus menemukan jalan keluar dari kekisruhan ini.

----------------

Komen (1)
goodnovel comment avatar
wayne wa
sukses terus author..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status