Share

7. Unforeseen Marriage Twist

Tangan Angga yang memegang ponsel seketika bergetar ketika melihat gambar yang dikirim oleh Agatha. Mata Angga memfokus pada gambar itu, detik-detik yang terasa begitu lama. Namun kata penutup dari pesan Agatha adalah yang membuatnya pusing hingga merasa dunia berputar.

Apa maksudnya? Tuan Suami? pikir Angga, tak tahu apa yang harus ia pikirkan selanjutnya.

Agatha, ini tidak lucu, leluconmu membuatku takut.

Kirim.

Gambar yang dikirim Agatha dan membuat Angga ketakutan adalah selembar akta nikah. Lengkap dengan foto keduanya yang bersanding dengan latar sewarna.

Angga bahkan tidak ingat ia pernah berfoto seperti itu, tapi tampaknya akta itu tidak palsu.

Ding!

Jangan bilang kau menarik kata-katamu Angga /angry//angry/

Kau sendiri yang kemarin menyetujuinya dan baru saja memintaku bertanggung jawab. Mengapa sekarang kau berpura-pura amnesia.

Angga berpikir berulang kali, kapan dia menyetujuinya.

Apa. Apa yang aku setujui? Bukankah masalah Akademisi Ling. Lagi pula terlihat Agatha sepertinya tidak berbohong dan dia bukan orang yang akan menjadikan pernikahan sebagai main-main. Jadi, kapan aku setuju? Mengapa aku tidak ingat?

Ribuan pertanyaan bergelayut dalam benak Angga. Karena pengaruh optimalisasi sistem, pikiran Angga lebih cepat bekerja ketika dibutuhkan. Dia akhirnya menyadari sesuatu, pesan yang dikirim Agatha kemarin!

Ada tiga dentingan notifikasi pesan. Pertama, selfie Agatha dan neneknya. Kedua, bujukan Agatha tentang ortopedi dan Akademisi Ling. Yang ketiga, ya! Yang ketiga memang terlewatkan!!

Buru-buru Angga memeriksa kotak masuk pesannya dan mencari pesan tersebut.

Pesan ketiga yang terlewat

Maafkan aku membuatmu bertaruh pada impianmu Angga.

Aku berjanji mengusahakan segalanya agar semuanya berjalan mulus.

Karena kata-kata terlalu mudah diingkari, maka aku memutuskan menggadaikan diriku padamu.

Ayo menikah /ring/

Mata Angga melebar membaca pesan yang terlewat itu. Hatinya berkecamuk antara rasa syok dan...Kegembiraan? Kebingungan?

Selama ini, dia tidak pernah tahu bahwa Agatha mengambil langkah seberani ini.

Angga sejenak terdiam, membiarkan makna kata-kata itu meresap dalam benaknya. Ia tahu ini adalah momen penting yang akan membentuk arah hidupnya. Pertanyaan besar melayang di benaknya

Apakah aku siap mengambil langkah sebesar ini

Dia membalas pesan dengan hati-hati, mengungkapkan perasaannya namun juga menyatakan keraguannya.

Aku terkejut, Agatha.

Tapi aku juga bersyukur. Aku butuh waktu untuk memikirkannya dengan baik. Mari kita bicarakan lebih lanjut nanti.

Setelah mengirim pesan itu, Angga duduk dalam keheningan, merenungkan betapa kompleksnya hidup yang sedang ia hadapi.

Angga masih terdiam, menerka-nerka reaksi Agatha setelah membaca pesan yang ia kirim. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, ponselnya berdering. Nomor yang tertera adalah milik Agatha. Tanpa ragu, Angga segera mengangkat panggilan itu.

"Angga," suara Agatha terdengar begitu cepat, begitu mendesak, seolah-olah dia tidak tahan menunggu lagi.

"Aku tahu ini begitu tiba-tiba, tapi aku ingin kita segera bertemu. Aku ingin menjelaskan semuanya secara langsung."

Angga bisa merasakan getaran dalam suara Agatha, getaran yang mencerminkan kegugupan dan ketegangan. Mungkin Agatha takut ia menarik kembali janjinya.

Bagaimana Angga menjelaskannya bahwa yang dia terima adalah tawaran menjadi murid Akademisi Ling dan beralih ke bedah ortopedi. Mengapa dia begitu ceroboh membalas pesan tanpa membaca pesan ketiga yang akhirnya membuat situasi menjadi rumit seperti saat ini.

"Aku tidak akan menarik kata-kataku mengenai Akademisi Ling dan penyembuhan adikmu, Agatha. Tapi terlalu impulsif jika kau memutuskan menikah hanya untuk itu." Angga mencoba memilih kata-katanya agar tidak menambah kesalahpahaman.

Lagipula apa-apaan ini. Mengapa akta nikah begitu mudah dibuat. Saat ini bahkan belum 24 jam berlalu dari pesan gila itu terkirim.

"Tidak, itu bukan 'hanya' dan masa depanmu lebih penting. Aku terkadang bahkan takut dengan beratnya sebuah janji. Ini untuk jaminan kita berdua."

"Tapi pernikahan bukan untuk main-main, Agatha!!" pekik Angga, suaranya penuh emosi dan frustrasi.

Di sisi lain, Agatha menatap ponselnya dengan mata berkaca-kaca, merasa seperti hatinya akan terbelah dua. Dia tahu bahwa keputusannya untuk menikah dengan Angga tanpa memberitahukannya terlebih dahulu adalah langkah yang begitu berani, namun juga menyesali betapa itu membuat Angga terluka.

"Maafkan aku, Angga," kata Agatha dengan suara lirih melalui sambungan telepon, suaranya terdengar seperti desir angin di malam yang sunyi.

Di ujung sambungan telepon, Angga mendengar kata-kata itu dengan jelas, namun jarak fisik yang memisahkan mereka seakan menjadi penghalang yang tak terkalahkan. Dia merasa keraguannya semakin dalam, karena tidak bisa melihat wajah Agatha saat ini.

"Aku tidak mempertimbangkan perasaanmu. Kau mungkin sudah memiliki gadis impian atau bahkan sosok yang kau sukai."

Angga merasakan getaran kecil dalam hatinya saat mendengar kata-kata Agatha. Dia tahu bahwa pernikahan mereka adalah langkah besar, dan meskipun masih ada keragu-raguan, dia juga merasa tergerak oleh tekad Agatha untuk menjadikan semuanya berhasil.

"Bukan, ini bukan tentang gadis lain ataupun orang lain," desis Angga, suaranya terdengar putus asa melalui sambungan telepon.

"Kau masih sangat muda, Agatha. Kau tidak perlu begitu impulsif tentang pernikahan atau kau akan menyesalinya di masa depan. Akulah yang tidak pantas untukmu. Kau memiliki banyak pilihan yang lebih baik, tapi lihat aku? Aku baru saja mengundurkan diri dan bahkan... Dan bahkan..."

Suara Angga tercekat di tenggorokannya, dadanya sesak oleh rasa frustasi yang tak terbendung dan terus menggerogoti harga dirinya yang rendah.

"Dan bahkan aku hampir menjadi tunawisma!!" pekiknya, suaranya penuh dengan keputusasaan. Kata-kata itu terasa seperti pedang yang menusuk-nusuk hatinya sendiri.

"Bagaimana mungkin aku pantas menjadi suami bagi nona muda sepertimu?"

Bahkan gadis-gadis penerima beasiswa dengan latarbelakang yang sama pun meremehkannya. Bagaimana dia bisa menikah dengan nona muda.

Angga merasakan denyut jantungnya yang hampir meledak, mengisi ruang hampa di dadanya. Rasanya seakan-akan pertarungan batinnya mencapai puncak putus asa yang menghempas keras.

Tak ada suara selain keheningan yang membingungkan. Telepon yang sebelumnya menjadi tautan emosinya dengan orang di sisi lain, tiba-tiba terputus.

Ddu ddu ddu...

Detik-detik itu terasa seperti seribu tahun, mengiris luka-luka emosional yang semakin dalam. Rasa putus asa membubung tinggi, dan Angga terdiam dalam keheningan, mencari jawaban di dalam dirinya yang hancur.

Air mata mulai menetes, bukan karena kegagalan, tetapi karena ketidakpastian yang merajalela.

Mungkin akhirnya Agatha tersadar keputusan bodohnya.

Drrtt drrtt...

Kali ini, ponsel Angga bergetar, mengindikasikan panggilan video dari Agatha. Dalam keheningan yang mencekam, Angga berusaha meraih nafasnya, mencoba menemukan kekuatan untuk menghadapi pertemuan ini.

Dia enggan menatap kamera depan, takut bahwa suaranya yang rapuh akan terpengaruh oleh rasa haru dan tangisan yang sedang berkecamuk. Dengan suara yang rendah, dia menjawab dengan gumaman, "Hmm..." Suaranya terhenti sesaat oleh getar emosi yang begitu mendalam, "Aku ingin menikah dengan cinta, Agatha. Bagiku, pernikahan tanpa cinta akan menjadi beban yang tak terlalu bisa aku pikul."

"Wanita yang bisa ku cintai, mungkin adalah yang bisa menerimaku apa adanya. Dia harus tulus, bijaksana, dan memiliki mimpi yang besar. Tipe ideal yang adalah seseorang yang bisa menjadi teman sejati dan mitra dalam setiap aspek kehidupan. Bukan nona muda yang kehidupannya berbeda 180 derajat dariku. "

Dengan suara yang gemetar, dia mencoba mencari kata-kata yang tepat, meskipun sebenarnya alasan-alasan yang dia berikan terasa asal-asalan. Angga ingin menjaga harga dirinya agar tidak terbaca betapa rendah dirinya ia di mata Agatha, tetapi juga ingin melindungi hati Agatha dari rasa sakit.

Saat Angga mengucapkan kata-kata itu, tatapan Agatha di layar lainnya dipenuhi oleh air mata yang menggenang, hanya tinggal menanti kesempatan untuk jatuh. Wajahnya menyiratkan rasa sakit yang mendalam, dan dia berbicara dengan suara yang serak karena tangisan, "Tapi, Angga, mengapa kau tak bisa mencoba mencintaiku? Apa yang salah dengan diriku?"

Suara gemetar yang halus keluar dari bibirnya, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan Angga di sisi lain panggilan video.

Tampak keraguan yang mendalam terpantul di wajahnya yang pucat. Matanya, yang biasanya cerah, kini memancarkan kebingungan yang nyata. Bibirnya bergetar saat dia berbicara, mencerminkan kelemahan emosional yang sulit ditutupi.

Hening beberapa saat lalu terdengar suara Agatha yang naik beberapa oktaf, "Angga yang bodoh!! Pantas saja nenek berkata kau begitu lamban dan tidak peka. Apa yang salah menjadi nona kaya dan menjadi istrimu. Jika kau masih bersikeras menolak, berarti kau memandang rendah kondisiku. Aku akan melaporkannya pada nenek bahwa kau telah menindasku!"

Kedua orang ini bahkan tidak menyadari bahwa mata mereka telah nampak seperti mata kelinci yang merah, fokus keduanya berbeda. Angga hanya ingin mengelak dari pernikahan ini, sedangkan Agatha begitu gigih tak ingin mendengarkan alasan untuk penolakan.

"Eyang~~" bisik Agatha manja dengan suara lembut, "Angga seperti seorang pengelana yang tak ingin terikat pada satu tempat. Baginya, hidup seperti hutan yang luas, dan dia tidak ingin terkungkung oleh satu pohon saja. Dia baru saja berkata tidak ingin menikah."

Tanpa dugaan sebelumnya, Agatha tiba-tiba merengek dengan suara yang menghancurkan keheningan, tanpa peduli pada citranya yang anggun. Ruangan itu menjadi terdiam oleh kejutan ini, terutama bagi Angga yang sama sekali tidak menyadari bahwa neneknya akan berada tidak jauh dari Agatha.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah pemandangan yang terbentang di hadapannya. Agatha dan neneknya terlihat begitu akrab satu sama lain, penuh kasih sayang seperti dua jiwa yang telah bersama selama waktu yang sangat lama.

Angga, yang telah menganggap dirinya sebagai cucu kesayangan nenek, merasa seolah-olah ditempatkan di luar garis pandangan. Bahkan, dalam tatapan mereka, Angga merasakan curiga bahwa neneknya lebih menyayangi Agatha daripada dirinya sendiri, cucu kandungnya.

Kini, Angga merasa keringat dingin menjalar di punggungnya, menunggu dengan ketegangan apa yang akan dikatakan oleh sang nenek. Keheningan yang mendalam melingkupi mereka sejenak, membiarkan berbagai perasaan dan ketidakpastian bergelayut di udara, sebelum kata-kata pertama keluar dari mulut sang nenek, mengungkapkan rahasia atau perasaan yang selama ini terpendam.

----------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status