Tangan Angga yang memegang ponsel seketika bergetar ketika melihat gambar yang dikirim oleh Agatha. Mata Angga memfokus pada gambar itu, detik-detik yang terasa begitu lama. Namun kata penutup dari pesan Agatha adalah yang membuatnya pusing hingga merasa dunia berputar.
Apa maksudnya? Tuan Suami? pikir Angga, tak tahu apa yang harus ia pikirkan selanjutnya.Agatha, ini tidak lucu, leluconmu membuatku takut.Kirim.Gambar yang dikirim Agatha dan membuat Angga ketakutan adalah selembar akta nikah. Lengkap dengan foto keduanya yang bersanding dengan latar sewarna.Angga bahkan tidak ingat ia pernah berfoto seperti itu, tapi tampaknya akta itu tidak palsu.Ding!Jangan bilang kau menarik kata-katamu Angga /angry//angry/Kau sendiri yang kemarin menyetujuinya dan baru saja memintaku bertanggung jawab. Mengapa sekarang kau berpura-pura amnesia.Angga berpikir berulang kali, kapan dia menyetujuinya.Apa. Apa yang aku setujui? Bukankah masalah Akademisi Ling. Lagi pula terlihat Agatha sepertinya tidak berbohong dan dia bukan orang yang akan menjadikan pernikahan sebagai main-main. Jadi, kapan aku setuju? Mengapa aku tidak ingat?Ribuan pertanyaan bergelayut dalam benak Angga. Karena pengaruh optimalisasi sistem, pikiran Angga lebih cepat bekerja ketika dibutuhkan. Dia akhirnya menyadari sesuatu, pesan yang dikirim Agatha kemarin!Ada tiga dentingan notifikasi pesan. Pertama, selfie Agatha dan neneknya. Kedua, bujukan Agatha tentang ortopedi dan Akademisi Ling. Yang ketiga, ya! Yang ketiga memang terlewatkan!!Buru-buru Angga memeriksa kotak masuk pesannya dan mencari pesan tersebut.Pesan ketiga yang terlewatMaafkan aku membuatmu bertaruh pada impianmu Angga.Aku berjanji mengusahakan segalanya agar semuanya berjalan mulus.Karena kata-kata terlalu mudah diingkari, maka aku memutuskan menggadaikan diriku padamu.Ayo menikah /ring/Mata Angga melebar membaca pesan yang terlewat itu. Hatinya berkecamuk antara rasa syok dan...Kegembiraan? Kebingungan?Selama ini, dia tidak pernah tahu bahwa Agatha mengambil langkah seberani ini.Angga sejenak terdiam, membiarkan makna kata-kata itu meresap dalam benaknya. Ia tahu ini adalah momen penting yang akan membentuk arah hidupnya. Pertanyaan besar melayang di benaknyaApakah aku siap mengambil langkah sebesar iniDia membalas pesan dengan hati-hati, mengungkapkan perasaannya namun juga menyatakan keraguannya.Aku terkejut, Agatha.Tapi aku juga bersyukur. Aku butuh waktu untuk memikirkannya dengan baik. Mari kita bicarakan lebih lanjut nanti.Setelah mengirim pesan itu, Angga duduk dalam keheningan, merenungkan betapa kompleksnya hidup yang sedang ia hadapi.Angga masih terdiam, menerka-nerka reaksi Agatha setelah membaca pesan yang ia kirim. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, ponselnya berdering. Nomor yang tertera adalah milik Agatha. Tanpa ragu, Angga segera mengangkat panggilan itu."Angga," suara Agatha terdengar begitu cepat, begitu mendesak, seolah-olah dia tidak tahan menunggu lagi."Aku tahu ini begitu tiba-tiba, tapi aku ingin kita segera bertemu. Aku ingin menjelaskan semuanya secara langsung."Angga bisa merasakan getaran dalam suara Agatha, getaran yang mencerminkan kegugupan dan ketegangan. Mungkin Agatha takut ia menarik kembali janjinya.Bagaimana Angga menjelaskannya bahwa yang dia terima adalah tawaran menjadi murid Akademisi Ling dan beralih ke bedah ortopedi. Mengapa dia begitu ceroboh membalas pesan tanpa membaca pesan ketiga yang akhirnya membuat situasi menjadi rumit seperti saat ini."Aku tidak akan menarik kata-kataku mengenai Akademisi Ling dan penyembuhan adikmu, Agatha. Tapi terlalu impulsif jika kau memutuskan menikah hanya untuk itu." Angga mencoba memilih kata-katanya agar tidak menambah kesalahpahaman.Lagipula apa-apaan ini. Mengapa akta nikah begitu mudah dibuat. Saat ini bahkan belum 24 jam berlalu dari pesan gila itu terkirim."Tidak, itu bukan 'hanya' dan masa depanmu lebih penting. Aku terkadang bahkan takut dengan beratnya sebuah janji. Ini untuk jaminan kita berdua.""Tapi pernikahan bukan untuk main-main, Agatha!!" pekik Angga, suaranya penuh emosi dan frustrasi.Di sisi lain, Agatha menatap ponselnya dengan mata berkaca-kaca, merasa seperti hatinya akan terbelah dua. Dia tahu bahwa keputusannya untuk menikah dengan Angga tanpa memberitahukannya terlebih dahulu adalah langkah yang begitu berani, namun juga menyesali betapa itu membuat Angga terluka."Maafkan aku, Angga," kata Agatha dengan suara lirih melalui sambungan telepon, suaranya terdengar seperti desir angin di malam yang sunyi.Di ujung sambungan telepon, Angga mendengar kata-kata itu dengan jelas, namun jarak fisik yang memisahkan mereka seakan menjadi penghalang yang tak terkalahkan. Dia merasa keraguannya semakin dalam, karena tidak bisa melihat wajah Agatha saat ini."Aku tidak mempertimbangkan perasaanmu. Kau mungkin sudah memiliki gadis impian atau bahkan sosok yang kau sukai."Angga merasakan getaran kecil dalam hatinya saat mendengar kata-kata Agatha. Dia tahu bahwa pernikahan mereka adalah langkah besar, dan meskipun masih ada keragu-raguan, dia juga merasa tergerak oleh tekad Agatha untuk menjadikan semuanya berhasil."Bukan, ini bukan tentang gadis lain ataupun orang lain," desis Angga, suaranya terdengar putus asa melalui sambungan telepon."Kau masih sangat muda, Agatha. Kau tidak perlu begitu impulsif tentang pernikahan atau kau akan menyesalinya di masa depan. Akulah yang tidak pantas untukmu. Kau memiliki banyak pilihan yang lebih baik, tapi lihat aku? Aku baru saja mengundurkan diri dan bahkan... Dan bahkan..."Suara Angga tercekat di tenggorokannya, dadanya sesak oleh rasa frustasi yang tak terbendung dan terus menggerogoti harga dirinya yang rendah."Dan bahkan aku hampir menjadi tunawisma!!" pekiknya, suaranya penuh dengan keputusasaan. Kata-kata itu terasa seperti pedang yang menusuk-nusuk hatinya sendiri."Bagaimana mungkin aku pantas menjadi suami bagi nona muda sepertimu?"Bahkan gadis-gadis penerima beasiswa dengan latarbelakang yang sama pun meremehkannya. Bagaimana dia bisa menikah dengan nona muda.Angga merasakan denyut jantungnya yang hampir meledak, mengisi ruang hampa di dadanya. Rasanya seakan-akan pertarungan batinnya mencapai puncak putus asa yang menghempas keras.Tak ada suara selain keheningan yang membingungkan. Telepon yang sebelumnya menjadi tautan emosinya dengan orang di sisi lain, tiba-tiba terputus.Ddu ddu ddu...Detik-detik itu terasa seperti seribu tahun, mengiris luka-luka emosional yang semakin dalam. Rasa putus asa membubung tinggi, dan Angga terdiam dalam keheningan, mencari jawaban di dalam dirinya yang hancur.Air mata mulai menetes, bukan karena kegagalan, tetapi karena ketidakpastian yang merajalela.Mungkin akhirnya Agatha tersadar keputusan bodohnya.Drrtt drrtt...Kali ini, ponsel Angga bergetar, mengindikasikan panggilan video dari Agatha. Dalam keheningan yang mencekam, Angga berusaha meraih nafasnya, mencoba menemukan kekuatan untuk menghadapi pertemuan ini.Dia enggan menatap kamera depan, takut bahwa suaranya yang rapuh akan terpengaruh oleh rasa haru dan tangisan yang sedang berkecamuk. Dengan suara yang rendah, dia menjawab dengan gumaman, "Hmm..." Suaranya terhenti sesaat oleh getar emosi yang begitu mendalam, "Aku ingin menikah dengan cinta, Agatha. Bagiku, pernikahan tanpa cinta akan menjadi beban yang tak terlalu bisa aku pikul.""Wanita yang bisa ku cintai, mungkin adalah yang bisa menerimaku apa adanya. Dia harus tulus, bijaksana, dan memiliki mimpi yang besar. Tipe ideal yang adalah seseorang yang bisa menjadi teman sejati dan mitra dalam setiap aspek kehidupan. Bukan nona muda yang kehidupannya berbeda 180 derajat dariku. "Dengan suara yang gemetar, dia mencoba mencari kata-kata yang tepat, meskipun sebenarnya alasan-alasan yang dia berikan terasa asal-asalan. Angga ingin menjaga harga dirinya agar tidak terbaca betapa rendah dirinya ia di mata Agatha, tetapi juga ingin melindungi hati Agatha dari rasa sakit.Saat Angga mengucapkan kata-kata itu, tatapan Agatha di layar lainnya dipenuhi oleh air mata yang menggenang, hanya tinggal menanti kesempatan untuk jatuh. Wajahnya menyiratkan rasa sakit yang mendalam, dan dia berbicara dengan suara yang serak karena tangisan, "Tapi, Angga, mengapa kau tak bisa mencoba mencintaiku? Apa yang salah dengan diriku?"Suara gemetar yang halus keluar dari bibirnya, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan Angga di sisi lain panggilan video.Tampak keraguan yang mendalam terpantul di wajahnya yang pucat. Matanya, yang biasanya cerah, kini memancarkan kebingungan yang nyata. Bibirnya bergetar saat dia berbicara, mencerminkan kelemahan emosional yang sulit ditutupi.Hening beberapa saat lalu terdengar suara Agatha yang naik beberapa oktaf, "Angga yang bodoh!! Pantas saja nenek berkata kau begitu lamban dan tidak peka. Apa yang salah menjadi nona kaya dan menjadi istrimu. Jika kau masih bersikeras menolak, berarti kau memandang rendah kondisiku. Aku akan melaporkannya pada nenek bahwa kau telah menindasku!"Kedua orang ini bahkan tidak menyadari bahwa mata mereka telah nampak seperti mata kelinci yang merah, fokus keduanya berbeda. Angga hanya ingin mengelak dari pernikahan ini, sedangkan Agatha begitu gigih tak ingin mendengarkan alasan untuk penolakan."Eyang~~" bisik Agatha manja dengan suara lembut, "Angga seperti seorang pengelana yang tak ingin terikat pada satu tempat. Baginya, hidup seperti hutan yang luas, dan dia tidak ingin terkungkung oleh satu pohon saja. Dia baru saja berkata tidak ingin menikah."Tanpa dugaan sebelumnya, Agatha tiba-tiba merengek dengan suara yang menghancurkan keheningan, tanpa peduli pada citranya yang anggun. Ruangan itu menjadi terdiam oleh kejutan ini, terutama bagi Angga yang sama sekali tidak menyadari bahwa neneknya akan berada tidak jauh dari Agatha.Namun, yang lebih mengejutkan adalah pemandangan yang terbentang di hadapannya. Agatha dan neneknya terlihat begitu akrab satu sama lain, penuh kasih sayang seperti dua jiwa yang telah bersama selama waktu yang sangat lama.Angga, yang telah menganggap dirinya sebagai cucu kesayangan nenek, merasa seolah-olah ditempatkan di luar garis pandangan. Bahkan, dalam tatapan mereka, Angga merasakan curiga bahwa neneknya lebih menyayangi Agatha daripada dirinya sendiri, cucu kandungnya.Kini, Angga merasa keringat dingin menjalar di punggungnya, menunggu dengan ketegangan apa yang akan dikatakan oleh sang nenek. Keheningan yang mendalam melingkupi mereka sejenak, membiarkan berbagai perasaan dan ketidakpastian bergelayut di udara, sebelum kata-kata pertama keluar dari mulut sang nenek, mengungkapkan rahasia atau perasaan yang selama ini terpendam.----------------Angga merasa frustasi yang tak berdaya, hampir seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia mengerti. Dirinya kini merasa sepenuhnya terombang-ambing dalam situasi yang tak ia mengerti sepenuhnya. Matanya berusaha memahami dinamika di hadapannya.Sekarang, Agatha dan neneknya tampak begitu kompak, seolah mereka berdua telah membentuk aliansi yang mengambil peran tersendiri di dalam skenario yang tak terduga ini. Tingkah lembut dan senyum penuh kasih yang mereka tukarkan menambah kompleksitas situasi yang sudah rumit. Seiring keringat dingin yang menetes, Angga hanya bisa pasrah pada kedua wanita yang sedang bekerjasama dalam sesuatu yang ia tidak tahu apa-apa.Neneknya, yang selalu menjadi sosok yang bijak dan lembut, kini juga menampilkan sisi kuat yang mungkin jarang Angga lihat. Sorot matanya memancarkan kebijakan yang dalam, dan senyumnya menandakan bahwa dia memiliki suatu rencana atau pemahaman yang lebih luas.Namun, Angga merasa tidak memi
Sejak mengakhiri sarapan bersama Angga, segalanya di rumah sakit telah berjalan buruk. Dia merasa seperti semua yang bisa salah, telah salah.Ditegur karena hal-hal kecil yang biasanya tidak menjadi masalah, ia harus menanggung kemarahan kekasihnya, Siska. Bahkan, ia dibuat berkeliling mencari bingkisan untuk Angga dari simposium kemarin, namun hasilnya nihil.Joshua benar-benar tidak mengerti. Ia merasa rumah sakit ini tidak adil. Dokter-dokter di sini seperti lebih dihargai dibandingkan Angga, yang sebenarnya mengambil alih operasi penting tanpa hambatan. Bahkan dokter tak dikenal yang hanya muncul sebentar saja, memperoleh stetoskop dan laptop sebagai merchandise, sedangkan Angga tidak mendapatkan apapun. Ini tidak adil."Kenapa selalu begitu?" gumam Joshua dalam hati, sambil mencoba mencari pemahaman atas ketidakadilan ini. "Angga pantas mendapat penghargaan dan pengakuan yang lebih besar. Rumah sakit ini... benar-benar menyakitkan."Angga ada
[Dokter Ajaib katanya, bah bah bah. Siapa yang memberimu keberanian sehingga bisa begitu tak tahu malu seperti itu][Harus ku akui teknik jahitannya sangat bagus. Bahkan lebih baik dari dokter pusat perawatan darurat yang berpengalaman lebih dari 10 tahun di rumah sakit ku. Tapi berlebihan bagimu menyebut Dokter Ajaib hanya karena itu][Lantai atas, jangan hanya melihat video gratis. Ada operasi yang lebih rumit yang bisa kau lihat jika kau ikut berlangganan][Apakah masa pubertas mu datang terlambat? Mengapa nama akunmu tampak seperti otaku?]Dalam keramaian komentar miring dan candaan, Angga merenung sejenak. Mungkin ia perlu mempertimbangkan untuk mengganti nama pengguna tersebut jika ingin serius berbagi ilmu kedokteran di platform ini.Namun, satu hal yang pasti, ia telah memulai perjalanan baru, menunjukkan kepada dunia keahliannya, meskipun di bawah nama "Dokter Ajaib." Dengan sedikit senyuman pahit di bibirnya, Angga kembali melanjutkan eksplorasi platform siaran langsung ini,
Orang-orang yang terhubung dengan platform siaran langsung terus membahas Dokter Ajaib. Topik pemilihan nama mulai mengalami trend menurun. Kini, para penonton mulai membahas level akun Dokter Ajaib.[Pendidikan formal kedokteran umum berarti dalam level perunggu, saat ini aku sebagai mahasiswa kedokteran masih dalam level tembaga /shy/. Apakah Dokter Ajaib hanya lulusan Master sehingga levelnya ada di level perak?][Pertanyaan menarik, aku juga mulai memikirkannya. Tapi sepertinya level sesungguhnya dari Dokter Ajaib adalah lebih dari itu. Mungkin ia mendaftar dengan kualifikasi lamanya dan tidak pernah berniat membarui?][Mungkin saja benar. Tapi memang ada alternatif lain untuk mendaftar akun selain menggunakan identitas formal dan izin kedokteran][Ehh? Sungguh? Bagaimana caranya, aku belum pernah mendengarnya][+1 Aku juga baru tahu ada cara lain][Berikan aku waktu untuk mengetik][...][Cara lain untuk me
Seorang Profesor sedang menunggu mahasiswa doktoralnya kembali karena ada sedikit gangguan. Sebelum ia pergi tadi, mahasiswa itu begitu terfokus dan kadang-kadang mengetik di ponselnya. Cahaya biru dari layar ponsel menerangi wajahnya yang tengah serius memerhatikan konten.Sesekali, ia melirik ke arah layar ponsel, tertarik dengan apa yang mahasiswanya tengah saksikan. Belum sempat Profesor bertanya apa yang sedang ditonton, muridnya diseret oleh perawat senior hingga tak sempat menyapanya. Untungnya ponsel murid barunya ini tertinggal, sehingga sang Profesor bisa mengintip apa topik yang menarik anak muda masa kini.Layar ponsel masih menyala, menampilkan video di sebuah platform siaran langsung. Profesor itu mengamati beberapa saat, kini benar-benar tertarik dengan kontennya, sehingga ia mulai mencari nama akun Dokter Ajaib di ponselnya sendiri.Sang Profesor tidak bereaksi seperti kebanyakan orang yang mungkin tercengang dengan nama "Dokter Ajaib". Bag
Angga sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai diskusi seputar operasi yang tengah dilakukannya ini.Ia mengambil pisau bedah dan meminta sepotong kain iodofor kepada manusia dummy dari Sistem. Setelah menyeka jari tengah kirinya dengan hati-hati, Angga memasukkan jari itu ke dalam sayatan yang sempit. Sementara itu, tangannya yang lain menggenggam erat sebuah scalpel besar.Meskipun penglihatan di bidang bedah kini menjadi nol, Angga tetap fokus pada tugasnya. Melihat gerakan jari-jari Angga yang cekatan hampir tak terlihat, serta tang scalpel yang besar yang melengkung. Para penonton di ruang siaran langsung terdiam pada saat yang bersamaan.Tidak ada yang menyangka bahwa situasi ini akan berubah sebegitu cepat.[Apakah yang aku pikirkan ini benar?][ Apakah Aku bermimpi?][Guru Quack, apakah ini operasi buta yang legendaris?][Adakah yang bisa memberitahuku apa yang sedang terjadi?][Operasinya benar-benar ar
Tanpa menyadari betapa hebohnya penemuan yang telah ia ungkapkan di dunia medis maya, Angga tetap dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Baginya, satu-satunya kabar baik adalah bahwa Sistem menyatakan eksperimen penggunaan protein biogel telah berhasil tanpa menimbulkan efek samping berbahaya.Angga, dalam momen tersebut, merasa seperti pahlawan yang berhasil menaklukan musuh. Keberhasilannya mengungkapkan potensi baru dalam penggunaan protein biogel tidak hanya membuatnya bahagia, tetapi juga memberinya rasa bangga. Dia menyadari bahwa jika eksperimennya dilakukan di dunia nyata, itu akan menjadi tindakan yang ilegal dan berbahaya.Namun, System memberinya kesempatan untuk menjelajahi berbagai kemungkinan dengan pasien simulasi. Dalam realitas virtual ini, ia bisa mengasah keterampilan dan eksplorasi yang akan sangat sulit di dunia nyata tanpa membahayakan pasien.Dalam saat-saat seperti ini, Angga merasa bersyukur dan bahagia bahwa ia terpilih oleh Sistem, me
Joshua memandang Angga dengan tatapan tak percaya saat ia bertanya, "Kau tidak bercanda?"Ketika Angga menyadari reaksi Joshua yang bingung, dia dengan serius menggeleng. "Tidak bercanda, Josh. Aku sudah menikah," jawabnya mantap.Joshua memandang Angga dengan raut wajah yang campur aduk, mencoba mencerna informasi tersebut. Matanya memandang layar ponsel Angga yang terangkat, tergantung di udara dengan ketegangan. "Kau... serius?" desis Joshua, mencoba mengenali apakah ini benar.Angga membuka kunci layarnya dan mulai mencari-cari foto akta nikah yang baru saja dikirim Agatha. Kegugupannya memancar dari setiap gerakannya. Setelah beberapa saat, ia menemukan foto tersebut dan menghadapkannya pada Joshua."Begini, Josh," ucap Angga, suaranya menggambarkan kombinasi antara kegembiraan dan kekaguman. "Ini adalah foto akta nikahku. Aku menikahi Agatha, kau juga tahu dia, kan? Siapa sangka, ya?"Joshua memerhatikan foto tersebut dengan ekspres