Share

6. Mengundurkan Diri

Kembali ke kejadian setelah pingsan...

***************

Dengan langkah mantap yang menggema di lorong rumah sakit, Angga memasuki pintu ruang HRD.

Angga melangkah dengan mantap menuju meja HRD yang berada di ujung ruangan. Ruangan itu diterangi oleh cahaya tenang yang meresap dari jendela besar, menciptakan kontras dengan ketegangan yang mengisi udara. Sekretaris HRD, seorang wanita dengan tumpukan berkas yang teratur di meja kerjanya, mengangkat kepala dan menyambut Angga dengan senyum profesional yang berusaha menyembunyikan ketidakpastian dalam dirinya.

"Apakah ada yang bisa dibantu?" tanyanya dengan ramah, meski ia bisa merasakan ada sesuatu yang tak biasa.

Angga, tanpa menjawab pertanyaan sekretaris itu, menatap dengan tegas ke arah pintu ruangan kepala personalia. Cahaya lampu di depannya telah menyala, dan itu adalah sinyal bahwa saatnya untuk menghadapi keputusannya.

Sang sekretaris memulai, "Maaf dokter, apakah Anda sudah membuat janji?"

Namun, Angga tidak memedulikan seruan dari sekretaris wanita itu. Dengan langkah mantap dan tekad yang bulat, ia mengabaikan pertanyaan tersebut dan tanpa ragu-ragu melangkah menuju pintu ruangan kepala personalia. Suasana tegang melingkupi ruangan, dan ketika pintu itu terbuka, Angga masuk ke dalam dengan hati yang penuh dengan ketegasan dan tekad.

"Selamat pagi, Tuan Huang," dengan nada datar, Angga menyapa kepala HRD.

Tuan Huang, yang tidak menyangka akan berurusan dengan Angga secepat ini, terlihat agak terkejut. Melihat sekretarisnya yang hendak menghalangi Angga masuk tanpa izin, dia hanya memberi isyarat agar melepaskan masalah ini. Dengan penuh pengertian, sekretaris menutup pintu ruangan untuk memberi keduanya privasi.

"Silakan duduk, Dokter Angga," kata Tuan Huang dengan suara yang tenang, meskipun ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam pertemuan ini.

"Jadi aku yang akan menjadi kambing hitam? Lagi?" Angga dengan lugas langsung memasuki topik tanpa menghabiskan waktu pada kata-kata memutar.

Kepala HRD tidak menyangka Angga akan langsung melempar bola secara langsung tanpa menunggunya bersiap sehingga dia tidak bisa menghindar.

"Dokter Angga, ini yang terakhir--"

Angga memotong kata-katanya, "Tidak perlu membujuk lagi Tuan Huang. Aku mengundurkan diri."

Angga mengatakannya dengan tenang tanpa disertai emosi khusus. Tuan Huang hendak mengatakan sesuatu namun lagi-lagi dipotong oleh Angga, "Aku tahu Tuan Huang juga berada dalam posisi yang sulit, jadi biarkan aku mengundurkan diri. Setidaknya, dengan begitu mungkin dia akan belajar sesuatu."

Tuan Huang tahu hasil seperti ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi mengapa harus sekarang? Disaat Angga baru saja bersinar, akan menjadi langkah yang sangat bodoh jika dia sebagai Kepala Departemen Personalia melepaskan calon bintang masa depan ini.

Seperti memahami pikiran Tuan Huang, Angga berkata sinis, "Atau aku harus mengungkapkan perilakumu yang menutupi Dokter Billy sehingga terus membuat onar? Apakah kau berpikir dengan menahan ku, aku akan menjadi patuh? Tsk tsk, naif sekali."

Tuan Huang juga seekor rubah tua, dia mengerti segalanya. Sebelum hal-hal menjadi semakin besar dia akhirnya memutuskan menerima pengajuan pengunduran diri Angga. Untuk menyelamatkan dirinya sendiri, ia bahkan menambahkan seakan-akan Angga sudah mengajukan surat pengunduran dirinya dua bulan lalu dan telah disetujui kemarin.

Meski Angga mencemooh kelakuan Tuan Huang, tidak dapat dipungkiri orang yang pandai mengukur seperti inilah yang akan selalu bertahan. Puas dengan hasil ini, Angga tidak akan duduk lebih lama.

Namun seketika ada suara pintu yang dibuka, tanpa sadar menoleh ke arah sumber suara.

Dua orang dokter senior, kepala dari dua departemen berbeda namaun sama-sama memiliki nama belakang yang sama. Siapa lagi jika bukan Ayah dan Paman dari Billy.

Angga tidak bermaksud untuk bertukar kata dengan keduanya dan hanya memberi sapaan dengan anggukan lalu berlalu.

Namun Ayah Billy, James, tidak berpikir demikian. "Dokter Erlangga, mohon jangan pergi dulu. Ada yang ingin kami sampaikan."

Sejujurnya Angga ingin mencibir tapi dia tetap memilih bersikap tenang.

"Anda tidak mungkin ingin mengatakan bahwa tindakan Dokter Billy hanya bercanda, kan? Jika itu yang akan disampaikan, tidak perlu membuang waktu."

James, ayah Billy ingin mengatakan sesuatu namun ditahan oleh saudaranya, dia dengan senyum ramah menjawab Angga, "Keponakanku terlalu dimanjakan, mohon Dokter Angga memaafkan dan tidak mengambil hati tindakannya selama ini. Ini kelalaian kami sebagai tetua. Kami akan segera mendidiknya dan berjanji hal-hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi."

Angga hanya berdecak menanggapi kata-kata Direktur Bedah Umum yang merupakan pucuk pimpinan di departemen tempatnya bertugas. Kepercayaan diri dan perilaku tanpa aturan Billy sedikit banyak dipengaruhi keberadaan orang ini sebagai pohon yang melindunginya.

Sejujurnya Angga sedikit iri, salahkan dirinya yang tidak memiliki orang tua atau mentor yang cakap. Tapi ini tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan. Dengan pelatihan sistem, Angga yakin dia mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

"Anak dari keluarga Anda terlalu dimanjakan, jadi anak orang lain adalah rumput liar untuk diinjak? Sebaiknya Anda ingat Tuan, disini kalian bisa melindunginya dari terpaan panas dan badai, tapi tidak semua orang akan sepertiku, yang hanya akan menanggungnya karena tak punya pilihan."

"Maafkan Billy, dia yang bodoh hanya iri pada kemampuanmu, dia tak bermaksud jahat," kembali James menimpali.

Angga mengabaikan keduanya, tapi kini dia geram dengan pembelaan kedua direktur ini untuk juniornya, "Dia tak bermaksud jahat? Jadi menurutmu aku lah yang memancingnya berbuat jahat sampai dia tak bermoral seperti itu? Kalian sepertinya takut aku akan menyusahkan Billy di masa depan."

Angga terkekeh pelan karena merasa ironis, tapi dia benar-benar tak punya niat berurusan dengan orang seperti Billy. Dengan sikap mendominasi dan impulsifnya, orang seperti Billy, cepat atau lambat dia akan menendang plat besi.

"Jika yang kalian takutkan adalah aku akan sengaja membalas dendam pada Billy, maka lupakan saja. Lebih baik waktuku digunakan untuk meningkatkan kemampuan diri daripada berurusan dengannya," jawaban Angga memenuhi ruangan dengan sinisme yang terasa menusuk.

Tersirat raut kelegaan yang besar pada wajah keduanya. Dengan tatapan tulus, mereka menjawab, "Terima kasih. Kami sangat menyesal atas perilaku Billy terhadapmu, dan kami mohon agar kamu tidak mengungkapkannya. Katakan saja apa yang bisa kami lakukan sebagai kompensasi, dan kami akan berusaha keras untuk memenuhinya."

Angga hanya ingin pergi dari situ, namun kata-kata dari kedua orang ini telah membuka luka-lukanya yang terpendam. Angga merasa api kemarahan masih membara di dalam dirinya, namun ia tahu ia harus memilih pertarungan yang benar-benar berarti.

Setelah menstabilkan gejolak emosinya Angga melanjutkan, "Anggap saja apa yang dilakukan Billy hanya permainan anak-anak, aku tidak menginginkan kompensasi, tapi jangan memintaku untuk memaafkannya."

"Aku tidak akan dengan sengaja membalas dendam kepadanya. Namun, sebaiknya kalian menjaganya agar dia tetap selalu aman. Jika dia berdiri di tepi jurang dan kebetulan aku berada di sana, aku tidak keberatan memberikan dorongan untuknya."

Dengan kata-kata yang memangkas seperti pisau, Angga mengakhiri percakapan itu dan meninggalkan ruangan, membawa rasa kecewa dan harapan akan perubahan di dalam hatinya. Meski ia ingin meninggalkan ruangan ini dan melupakan segalanya, ia memutuskan tetap memberikan peringatan kepada keduanya.

................

Dalam terik matahari tengah hari, Angga dengan cepat menuntaskan tumpukan dokumen medis dan berkas administratif. Detak jantungnya terasa semakin cepat, dipenuhi oleh tekad kuat untuk memutus ikatan yang telah lama meracuni hatinya. Begitu besar harapan untuk akhirnya bebas dari belenggu rumah sakit yang telah menyiksanya hari demi hari.

Siang itu, di antara cahaya terik matahari yang menyinari bangunan rumah sakit yang menjulang tinggi, Angga memandang gedung itu dengan perasaan campur aduk. Kilatan sinar matahari mengenai jendela-jendela yang tinggi tak lagi menyiratkan keamanan, namun menjadi saksi bisu atas pertempuran panjang yang telah dilaluinya. Angga merasa semangat yang membara di dalam dirinya, siap untuk melepaskan diri dari jerat yang membelenggunya.

Dengan langkah pasti, Angga meninggalkan area rumah sakit itu, menutup babak hidupnya yang penuh kekecewaan. Ia yakin bahwa di luar sana, terbentang jalan baru yang menantinya, jalan yang akan membawanya menuju cahaya kebebasan dan pengakuan yang selalu ia impikan. Ini adalah awal dari babak baru, dan Angga bertekad untuk menulis kisahnya sendiri, bebas dari bayang-bayang masa lalu yang pernah mengurungnya.

Angga yakin atas keputusannya, tapi entah mengapa ia merasakan perasaan hampa dihatinya. Saat ini ia ingin berbagi cerita, namun teman akrabnya disini hanyalah Joshua, yang kini kembali menghilang dari jangkauan.

Tanpa sadar ia membuka ponselnya dan terpaku pada nama kontak didalamnya. Dengan perasaan lucu pada dirinya sendiri. Janji Agatha dan keberadaan sistem yang telah berikan kepercayaan diri hingga mendorongnya membuat keputusan drastis.

Angga pun mulai mengetik.

Agatha, aku sudah mengundurkan diri dari rumah sakit. Jika aku batal menjadi murid Akademisi Ling, kau harus bertanggung jawab, aku berurusan denganmu seumur hidup.

Seketika pesan terkirim, langsung muncul jawaban

Ding!

Benarkah? Sungguh!!

Angga mengambil foto surat pengunduran dirinya dan mengirimkannya.

IMG. 00000181.jpg

Lihat, aku tidak bohong. Kirim.

Balasan yang datang tidak kalah cepat dari pesan sebelumnya.

Ding!

IMG 00007820.jpg

Aku sudah bertanggung jawab.

Aku tidak akan bisa berlari, begitupun dirimu.

Tuan suami /cheers//wink/

Tangan Angga yang memegang ponsel seketika bergetar ketika melihat gambar yang dikirim Agatha. Namun kata penutupnya lah yang membuatnya pusing hingga merasa dunia berputar.

Apa maksudnya? Tuan Suami?

----------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status