Share

Satu Atap

   Rasanya pagi ini datang begitu cepat. Aku tidak tahu harus memulai pagi dengan bahagia atau biasa saja. Sejak menyalakan mesin wagon kesayanganku, dadaku rasanya kacau. 

     

 Sambil menunggu mesin panas, aku berpamitan pada orangtuaku. Menyalim tangan mereka. Hanya pesan untuk berhati-hati di jalan saja yang mereka ucapkan untuk melepasku sebelum masuk ke dalam wagon dan duduk di belakang setir.

   Kakiku ragu-ragu menginjak pedal gas. Satu-satunya yang terbayang di wajahku adalah reaksi di wajah mungil Erika saat aku menyetor muka ke rumahnya. Membuang keraguanku jauh-jauh, aku menginjak pedal gas. 

     Selang sepuluh menit, aku sudah sampai di depan rumah Erika. Sebelum menapakkan kakiku ke tanah dari lantai wagon, kutarik napas dalam-dalam. Biar bagaimana pun aku harus memberanikan diri karena aku sudah bilang akan menjemputnya.

    Jantungku memompa darah lebih cepat, detaknyanyaris terdengar di telingaku begitu kaki kananku menginjak halaman depan rumah.  Erika dan kedua orangtuanya sudah menungguku di depan pintu.

    Erika terlihat sangat berbeda auranya dibanding malam saat aku menemukannya di trotoar. Dia menggunakan dress  cokelat dengan blazzer kantor. Wajahnya menjadi kosong saat mata kami bertemu. Sesekali  Erika membetulkan kacamata berframe bulat.

“Pagi Om, pagi Tante!" sapaku sembari menyalim tangan mereka bergantian.

“Ayo, cepat!”

   Erika melenggang begitu saja menuju wagon sebelum orangtuanya membalas sapaanku Benar-benar tidak sopan, dia pergi tanpa pamitan. 

“Om, Tante, kami pamit dulu, ya.” 

“Sarapan dulu!” tawar tante Gita.

“Sudah, Te,“ jawabku sembari mempercepat langkah.

“Ya sudah, titip Erika, ya!” Pesan Om Jayanta.

“Baik.” 

    Erika sudah duduk di kursi sebelah sopir ketika aku masuk ke wagon. Dia berkali-kali memalingkan muka, menghindari mataku. Tanpa membuang waktu lagi, aku menyalakan mesin kemudian menginjak pedal gas. Wagonku melaju pelan, menjauh dari rumah calon mertuaku.

    Seperti biasa kondisi jalanan kota pagi ini padat merayap. Aku pun memelankan wagonku hingga sampai di sebuah traffic light.

“Kenapa aku harus tinggal di rumahmu?” Suara parau Erika memecah kecanggungan di dalam mobil.

“Kan udah aku bilang supaya kita bisa saling kenal.” Mataku sesekali melirik kaca spion.

“Kalau hanya saling kenal kita bisa chat, kan?”

    Bisa kurasakan tatapan Erika dari samping, seperti seekor singa betina yang akan menerkamku. 

“Aku punya alasan sendiri untuk itu.”

“Tanpa persetujuanku?” Nada Erika meninggi.

     Lampu hijau menyala menyelamatkanku dari pertanyaan Erika. Percakapan kami berhenti sampai di situ saja hingga  wagonku sampai di garasi.

     Rumahku ini tidak begitu luas, ukuran minimalis dengan satu kamar tamu, satu dapur, 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Rumah ini adalah rumah hasil lelang yang berhasil dibeli ayah tiga tahun lalu dan diwariskan padaku. 

    Begitu pintu terbuka, Erika melenggang tanpa berkata apapun.

“Kamu boleh pakai kamarku yang kamu pakai semalam, Kak.”

    Erika menghentikan langkahnya. Seolah mendengar sesuatu yang salah dari mulutku.

“Kak?”

“Kamu lebih tua dariku, tidak sopan kalau aku memanggilmu dengan nama panggilan.”

“Oke.”

“Jadi, apa alasanmu ngajak aku tinggal di sini?” 

   Kukira dia sudah membuang jauh-jauh rasa penasarannya, akan tetapi dugaanku salah. Rasa penasaran memenuhi wajahnya.

    Aku menanggalkan jaketku lalu menggantungnya pada gantungan baju di sebelah pintu masuk.

“Istirahatlah!” 

"Itu gak ngejawab pertanyaanku!" teriaknya padaku yang merangsek masuk ke kamar.

    Aku benar-benar tidak punya jawaban untuk pertanyaan Erika. Hanya menjalankan apa yang ada di kepalaku kemarin. Otakku kemarin buntu sehingga satu-satunya ide yang muncul adalah ide untuk tinggal bersama sebelum kami resmi menikah, alih-alih ingin saling mengenal lebih dekat satu sama lain.

 Sebenarnya ini pertunangan macam apa? tanyaku dalam hati kemudian membekap wajah dengan bantal guling.

***

   Dari jendela bintang-bintang terlihat sudah bermunculan di langit. Ayam kecap dan telur dadar sudah terhidang di meja makan untuk menu makan malam kami berdua. 

    Erika duduk berseberangan denganku. Tidak ada percakapan di meja makan. Hanya suara sendok sesekali beradu dengan permukaan piring saat meraup makanan. Erika mengunyah pelan makannya,  dia terlihat menarik dan polos saja saat rahangnya melumatkan makanan di dalam mulut. 

   Saat aku terpesona dengan caranya mengunyah makanan, dia menelan makanan. Tangan kanannya mengangkat segelas air putih. Dia mendekatkan bibir gelas ke mulut kemudian meneguknya pelan. 

     Makanan itu belum sepenuhnya sampai ke perut, dia sudah beranjak dari tempat duduknya kemudian meninggalkanku sendirian di meja makan. Makanannya bahkan masih tersisa setengah piring. Sungguh Bu Manager yang tidak sopan dengan tuan rumah. 

"Apa aku akan makan malam seperti ini setelah menikah dengannya nanti?" batinku.

     Tanpa dibantu Erika, aku membereskan peralatan makan, merapikan meja kemudian membuang sampah. Entah apa yang Erika kerjakan di depan laptopnya, dia terlihat sangat serius. Sesekali, Erika membetulkan kacamata yang melorot kemudian kembali memelototi laptop sambil memainkan jarinya pada keyboard. 

"
Wanita yang berorientasi pada karir," ucapku.

     Hari pertama tinggal serumah dengan Erika tanpa obrolan yang berarti. 

***

    Sejak kemarin pagi rasanya datang lebih cepat. Hari pertama aku dan Erika tinggal serumah. Rutinitasku seperti biasa membuaat sarapan sebelum ke kedai dan bekal makan siang. Aku juga kadang membawa sedikit lauk makan siang untuk dibagikan ke Yus dan Dita, karyawan kedai.

     Kedai yang kurintis baru tiga bulan itu butuh banyak perjuangan. Tidak mudah untuk mendapatkan nama dan pelanggan.

      Aku memasak udang bumbu Bali dan telur goreng untuk sarapan kali ini. Setengah porsi udang kumasukan ke dalam kotak makan siang dan setengahnya lagi kuhidangkan di meja, berikut ayam dan nasi. Kuhidangkan untuk Erika dan diriku sendiri.

“Kak, sarapan dulu!” teriakku dari meja makan.

  Erika sudah rapi dengan blazer abu-abu dan didalamnya dress formal warna cokelat.  Rambutnya yang panjang lurus tapi tipis dibiarkan tergerai. Dia duduk di kursi dan berhadapan dengan menu sarapan.

“Makanlah!” ajakku sambil melepas apron hitam yang kupakai.

    Kami sarapan bersama setelah berdoa. Tidak ada percakapan pagi di meja makan, yang ada hanya suara sendok yang beradu dengan piring. 

“Aku antar ke kantor, ya,” aku mencoba memecah keheningan.

“Gak usah!” jawabnya tegas dengan suara parau. 

     Suasana kembali hening. Beberapa saat setelah itu, suara klakson motor beberapa kali terdengar dari luar pagar rumah. Aku merasa sangat terganggu dan mengeceknya dari jendela. Seorang pria dengan jaket kulit dan helm full face biru menatap ke arah rumahku. Ia duduk di atas motor.

“Aku berangkat!” ucap Erika sembari keluar dari  kamar  menggendong tas punggungnya.

“Hati-hati!" Aku berpesan.

      Aku memandangnya naik di belakang pria itu. Begitu duduk di boncengan belakang setelah mengenakan helm, dia memeluk pria itu mesra. Tidak mungkin itu driver ojek online, pasti itu pacar yang meninggalkannya malam itu.  

     Setelah puas dengan  pemandangan itu, aku mendekat ke meja makan. Lagi-lagi sikap buruk manajer terhadap tuan rumah. Bu Manaherer itu, menyisakan makanan yang masih setengah seperti semalam. Aku menghela napas, dia bukan hanya tidak menghargaiku tapi juga makhluk hidup yang merelakan nyawanya untuk mengenyangkan perut. Terpaksa aku membuangnya juga ke tong sampah. Maaf ya, udang, telur dan nasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status