Share

Hari Pertunangan

      Aroma hujan semalam bercampur dengan aroma embun. Jalanan yang basah dan daun yang dipaksa gugur karena tertimpa hujan mengotori jalanan.

"Kenapa kamu rapi banget pagi-pagi begini?" Suara parau wanita dari balik pintu.

Rambutnya yang panjang sebahu awut-awutan, setengah mengantuk. Kantung matanya terbentuk efek menangis tadi malam.

“Pagi! Tidurnya nyenyak, ya?” sapaku sembari mengancing pergelangan jas berwarna biru langit.

      

"Mau kopi?" tawarku.

"Jawab dulu! Mau kemana?"

“Ada acara keluarga,” jawabku.

      Air mukanya berubah, dia merangsek kembali ke kamar. 

“Dimana baju yang kupakai semalam?” teriaknya dari dalam.

  "Aku gantung di balik pintu!" balasku.

     Brak!

    Pintu dibanting dengan keras hingga membuat bahuku bergidik. Seenaknya saja kasar terhadap fasilitas yang kumiliki. 

    Kalau tidak salah dengar, semalam dia mengatakan dengan raut muram jika hari ini adalah hari pertunangannya. Bukankah seharusnya dia bahagia?  Anehnya, raut bahagia sama sekali tidak tergambar di wajahnya itu.

     Beberapa menit kemudian wanita itu keluar dari kamar dengan kemeja lengan panjang. Ujungnya dimasukan rapi ke dalam rok  motif bunga-bunga warna hijau. Bajunya masih terlihat lembab, aroma apek sedikit tercium karena digantung di dalam kamar.

“Antar aku!” pintanya.

"Mau kopi? " tawarku sekali lagi.

"Gak usah!"

"Hari ini kamu tunangan, kan? Berbahagialah sedikit, Nona!" 

"Bukan urusanmu! Pokoknya cepat antar aku pulang!"

 "Oke!"

    Bagaimanapun juga, aku harus bertanggung jawab karena semalam telah 'memungut' wanita ini di trotoar. 

    Tanpa banyak bicara kami masuk ke dalam mobil wagon milikku. Aku duduk di belakang kemudi lalu menyalakan mesin.  Sementara wanita itu memasang sabuk pengaman.

“Tolong antar aku ke alamat ini!”

    Dia memperlihatkan sebuah alamat pada memo smartphone-nya.

“Jalan Kartini, No. XX  Gang XX, Denpasar.” Aku membaca alamat itu perlahan. Alamat yang tidak asing bagiku.

      Deru mesin dan suara klakson di jalanan kota yang padat membuatku harus  mengemudikan wagon hitamku dengan kecepatan standar. 

“Bisa cepat dikit gak?” protesnya.

“Gimana mau cepat? Kamu tahu kan, lalu lintas pagi hari di kota ini padat. Tuh, traffic light di depan aja  padat begitu.” Aku menunjuk ke arah traffict light di depan. Kendaraan mengantri menunggu lampu hijau menyala.

   Dia memasang wajah kesal. Saat seperti ini, seharusnya aku yang kesal karena dia seenaknya saja memperlakukanku seperti sopir pribadi.

  Terdengar nada dering dari smartphone milik wanita yang duduk di sebelahku. Dia kemudian mengeluarkan benda pipih dari dalam tas tangan. 

“Iya, Ma. Ini lagi di jalan. Sebentar lagi sampai, kok.”

   

    Setelah menutup panggilan, dia mengeluarkan kekesalannya lagi.

 “Kalau aku telat ke acara lamaranku ini semua salahmu, ya!”

   Aku menginjak pedal gas perlahan, mengatur laju mobil. Tangan kiriku memegang tuas perseneling.

  “Loh, Kok jadi aku yang salah? Udah tahu mau tunangan hari ini malah berkeliaran. Tidur di trotoar lagi!" sanggahku tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan padat di depan.

"Cih!"

         Wanita itu membuang muka, melipat tangan ke dada.

Kamu pikir kamu saja yang jadi terlambat?  batinku.

      Hampir tiga puluh menit kami berada di tengah kemacetan. Meski  melaju pean, mobil yang kukendarai akhirnya berhasil keluar dari kerumunan benda besi itu. Memasuki jalur yang lenggang.

     Aku sudah hapal jalanan di kota ini,  menemukan alamat tujuan wanita ini pun jadi sangat mudah.

  Mobil wagonku berhenti  tepat di depan sebuah rumah. Pagarnya terbuat dari besi yang dicat hijau. Aku mendongak, melihat ke dalam halaman, dari sini  tampak suasana ramai di dalam rumah.

"Ramai juga sambutan untuk calon tunanganmu." Aku berkomentar.

     Tanpa berkata apa-apa, tahu-tahu pintu wagonku sudah terbuka. Dia sudah di luar mobil kemudian menutup pintu. Dari balik jendela, seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan pertanyaan.

Buk! 

    Pintu wagon ditutup kasar tanpa perasaan.

    Sungguh wanita yang tidak sopan, dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih setelah aku memungutnya semalam. Lalu, mengantarnya ke sini demi acara pertunangannya.

  Sampai di sini, urusanku dengan wanita itu sudah selesai. Aku mengenakan kacamata hitam kemudian melajukan mobil ke rumah orang tuaku.

***

         Begitu aku mematikan mesin , suasana dari luar tampak sedikit krodit di dalam rumah. Aku disambut Ryan, sepupuku yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. 

"Pras, bandel banget dikasi tahu buat siap-siap hari ini,” ucap mama sambil merapikan dasiku yang miring.

“Kayaknya semua udah siap, ya?”

        Kusapukan pandangan ke ruang tamu. Suasana di dalam sana ramai oleh keluarga dekat. Parcel dan semua persiapan untuk lamaran sudah siap di atas meja.

      Hari ini adalah hari pertunanganku dengan seorang wanita yang sama sekali tidak pernah kutemui. Dua bulan lalu Papa hanya bilang kalau aku akan dijodohkan dengan putri sahabatnya. Membayangkan bagaimana wajah calon tunanganku itu membuatku sedikit was-was.

   Berbagai bentuk dan paras wajah terbayang di kepalaku. Pokoknya tidurku hampir tidak bisa nyenyak. 

     Aku pernah meminta Papa menunjukkan foto calon tunanganku tapi, Papa malah mengatakan kalau wajah calon tunanganku itu cantik, hitam manis.

Semoga saja aku tidak dijodohkan dengan kecap.

“Kamu gugup?” tanya Papa.

“Biasa aja, Pa.”

      Meskipun aku menunjukkan ekspresi datar, di dalam dadaku ada sesuatu yang membuat jantungku berdebar. Bahagia dan was-was  bercampur di dalam sana.

Aku tidak tahu siapa nama dan bagaimana rupa wanita yang akan jadi calon istriku nanti.

    Singkatnya ini pertunangan paksa. Aku ditunangkan dengan anak teman bisnis Papa yang kabarnya sudah seperti keluarga. Mereka berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka sewaktu mulai membangun bisnis puluhan tahun silam. 

   Hal lain yang kuketahui tentang calon tunanganku adalah, dia berpendidikan tinggi. Pokoknya, calon tunanganku itu adalah wanita sempurna di mata Papa.

    

     Itu berarti aku korban, kan?

    Semuanya sudah siap, kami berangkat menuju rumah calon tunangan yang tidak kukenal. Hanya aku, papa dan mama yang berangkat ke rumah calon tunanganku. Tetangga yang membantu mempersiapkan lamaran sudah mulai pulang ke rumah.

Papa yang menyetir.

      Aku tidak bisa membayangkan akan jadi apa masa depanku nanti jika pertunangan kami seperti ini. Tidak mengenal satu sama lain bahkan rupanya  saja tidak pernah lihat. Kuharap wanita yang dilamar hari ini menolakku.

  Sepuluh menit kemudian kami sampai di tempat yang dituji. Mataku membulat ketika mobil diparkir di depan rumah berpagar hijau.

“Pa, benar ini rumahnya?” tanyaku memerhatikan sekeliling sambil memastikan.

“Iya, emang kenapa? Kamu pernah ke sini?”

     Tidak salah lagi, ini adalah rumah wanita yang semalam tidur di trotoar.

“Ayo turun!” ajak Mama.

    Aku berjalan di belakang mereka memasuki halaman rumah berpagar hijau.

“Halo, Pak Bos!" Papa menyapa seorang pria yang berdiri di depan pintu. Mereka menjabat tangan lalu berpelukan. Mama juga begitu dengan wanita yang ada di sebelah bapak itu.

    Sepertinya mereka sangat akrab dilihat dari cara mereka berbasa basi. 

Aku mendongak ke dalam rumah, hanya ada beberapa orang lalu lalang di dalam sana. Beberapa lainnya memerhatikan kami.

“Nah, ini Prastu.” Papa memperkenalkanku.

“Pras, ini Om Jayanta, ayo salim!"

“Halo Om, Tante," sapaku. Aku menjabat kedua tangan pasangan suami istri itu bergantian.

“Wah, gantengnya ya. Hahaha.” Bapak itu memuji sambil mengelus pundakku.

“Ah, anakmu juga  cantik.” Papa balik memuji.

  “Masuk yuk, ditunggu di dalam!” ajak istri Om Jayanta.

       Rumah ini dibilang sederhana dari luar tapi, begitu masuk, kamar tamunya begitu luas. Banyak furnitur mewah dan sofa bergaya eropa warna merah marun. Lemari yang berjejer memuat berbagai macam buku  dan piagam penghargaan. Pigura terpajang sebagai penghias.

     Mataku membulat ketika menangkap salah satu pigura keluarga. Di dalam gambar itu terpampang wajah wanita yang tidur di trotoar. Dia mengenakan dress merah marun, rambutnya tergerai dengan posisi berdiri di belakang kedua orangtuanya. Di sebelahnya, berdiri seorang gadis dengan pose tersenyum sambil memegang pundak ibunya. 

“Pras!” Mama membuyarku.

“Aku pun mengambil tempat duduk ditengah kedua orangtuaku, berhadapan dengan Om Jayanta dan istrinya. Di Meja sudah diletakkan segala sesuatu yang kami bawa.

“Sebentar lagi turun kok,” kata Om Jayanta.

    Perasaan  di dalam dadaku ini semakin berkecamuk, menerka-nerka siapa dari dua orang dalam pigura keluarga itu yang akan bertunangan denganku hari ini. 

  Tap! Tap! Tap! 

   Suara sepatu hak tinggi saat berbenturan dengan permukaan lantai. Langkah itu menapaki  tangga spiral di dalam ruang tamu. 

    Sosok gadis manis berjalan dengan menampakkan senyum manisnya. Lesung pipi  menambah kesan manis. Dalam balutan dress warna biru langit, gadis itu sangat menawan. Kalau kuperkirakan usianya mungkin selisih tiga tahun dari usiaku. Begitu dia menggeser badannya, aku terperangah melihat wanita di belakangnya yang mengenakan gaun formal warna biru, berjalan menunduk.

    Aku tidak berkedip sama sekali, sementara degub di dadaku semakin kencang.

    Keduanya bak putri ketika mereka duduk diantara kedua orang tuanya. Keluargaku dan keluarga itu kini duduk berseberangan. Perlahan, wanita dengan gaun formal mengangkat wajahnya, rambutnya yang tergerai membuatnya jadi tampak anggun.

   

  Dia tertegun saat matanya menangkap sosokku yang duduk memandanginya.

“Ka ... kamu?”

    Aku mengidikan bahu.

“Loh, kalian udah kenal?” tanya Papa.

"Enggak!” Kami menyahut berbarengan lalu menunduk.

    Pertunangan macam apa ini? Bisa-bisanya wanita yang tidur di trotoar jadi tunanganku.

“Baiklah, kita mulai saja ya, Bosku.” Om Jayanta membuka acara.

“Nah, seperti yang kita bicarakan dan berdasarkan janji kita waktu muda dulu. Anak pertama kita akan dijodohkan berapapun gap usia mereka. Syukurlah, Tuhan memberi kita kesempatan untuk itu. Jadi, Pak Jayanta. Kedatangan kami ke sini untuk melamar Putri Bapak, Erika Hana yang akan kami jodohkan dengan putra kami, Prastu Eka Dipayana. Mohon terima lamaran kami.”

   Papa langsung saja ke poin lamaran ini tanpa basa-basi. 

“Bagaimana Erika? Apakah kamu mau menjadi calon istri dari Prastu?” tanya Om Jayanta pada putrinya.

   Dalam mata wanita itu, tersimpan keraguan. Seolah terpaksa  menepis keraguan, dia kemudian menjawab,

“I..iya.”

     Jantungku nyaris copot mendengar jawabannya itu. 

"Seriusan aku akan menikah dengan wanita yang suka tidur di trotoar?" batinku.

“Nah, kalau begitu tidak ada masalah Pak Bagus, Erika juga sudah setuju.”

“Dengan senang hati, kami merasa terhormat kalau Erika mau jadi menantu kami.”

   Papa dan mama terlihat puas, begitu pun dengan Om Jayanta dan Istrinya. Tapi, Erika masih terlihat tertunduk dan punggungnya terus dielus oleh saudaranya. Padahal, aku belum menyatakan persetujuanku atas pertunangan ini.

“Oh ya, lupa saya kenalkan. Ini Dwi Harmoni, adik Erika” Tante Ridwan memperkenalkan gadis di sebelah Erika. Dia hanya senyum dan bilang, “Halo.” 

      Melihat Erika yang terus tertunduk, aku pun mulai bicara.

“Om, Tante. Boleh ijinkan saya dan Erika ngobrol berdua?” tanyaku.

“Oh, boleh banget. Kalian bisa ngobrol  di taman belakang. Ayo Erika, ajak Prastu ke taman belakang. Kalian ngobrol dululah sebentar,” ucap Om Jayanta. Mata Pria di balik kacamata itu berbinar.

    Aku mengikuti langkah Erika ke taman belakang.

Taman ini juga cukup luas. Bermacam-macam jenis bunga pun ditanam di sini. Erika mengambil tempat di bangku taman yang panjang di bawah pohon perindang. 

“Kita ketemu lagi. Ternyata aku yang melamarmu. Gak, maksudnya orang tuaku.”

      Mata Erika tiba-tiba memincing.

“Lelucon macam apa ini?” 

“Apanya yang lelucon, aku saja gak tahu kalau kamu yang akan jadi calon istriku!” Aku menghela napas dalam lalu duduk di sebelahnya.

 “Lagipula, kenapa kamu menerima lamaran ini?” tanyaku.

      Erika tertunduk lalu suara paraunya melembut.

“Aku gak boleh menentang orang tua, pokoknya aku harus bilang iya.”

“Jadi itu alasanmu kabur semalam dan tidur di trotoar?”

     Erika mengangguk pelan.

“Aku ketemuan sama pacarku semalam. Aku berencana gak pulang dengan alasan lembur kerja, berbohong. Pacarku marah begitu aku jujur tentang pertunangan ini. Dia pergi gitu aja ninggalin aku semalam.”

“Tapi, kamu masih kontak dengan pacarmu?”

    Lagi-lagi dia mengangguk pelan

    Aku tidak tahu harus bahagia
atau sedih. Perasaan bersalah menghujam dadaku sekarang.

“Hmm...kalau boleh tahu, pekerjaanmu apa?” Aku mencoba memecah kecanggungan di antara kami.

“Project Manager di sebuah industri makanan.”

“Wow!”

“Kamu?”

“Tukang mi ayam.”

      

     Senyum yang dipaksakan mengembang di bibir Erika.

“Kalau kamu masih cinta sama pacarmu, kamu batalin aja lamaran ini!" saranku.

“Udah gak bisa.”

“Aku ada ide!”

 “Apa?”

“Ikut aku.”

          Aku menarik tangannya kembali ke ruang tamu.

“Eh, udah?” Mama memandang kami yang masuk dari pintu belakang.

“Pa, Ma, Om, Tante. Supaya kami semakin mengenal satu sama lain, kami memutuskan Erika akan tinggal di rumah saya mulai besok.”

      Orang tua kami kaget medengar perkataanku, Erika pun mencubit lenganku sampai rasanya sakit tapi terpaksa kutahan.

“Lho? Kalian kan belum nikah?” kata Papa.

“Kami ga akan melakukan hal yang terlarang, kok. Lagipula kalau kami ngobrol sekarang, waktunya gak cukup. Kalau kami ketemu untuk lebih dekat, saya rasa Erika jarang ada waktu mengingat pekerjaannya yang menyibukkan.”

      Aku berusaha meyakinkan.

“Yah, betul juga. Asal janji jangan ngelakuin hal yang dilarang sebelum nikah!”

“Tenang, Om! rumah saya ada dua kamar. “

“Oke.”

     Wajah Erika mengerut, keputusan sepihak yang mendapatkan persetujuan orang tuanya pasti mmebuat perasaannya berantakan. Raut wajahnya mengatakan, "Cih! Harus tinggal serumah denganmu."

      Acara pertunangan hari ini sudah selesai.  Aku memutuskan menginap di rumah orang tua karena besok harus menjemput Erika. Ide untuk mengajaknya tinggal bersamaku datang begitu saja. Alih-alih kami belum akrab, tanpa ide seperti itupun Erika sebenarnya Erika masih bisa bertemu pacarnya diam-diam. Akan tetapi, sudah terlanjur terjadi.

***

“Gimana kesan pertama ketemu Erika?” tanya Papa.

     Kami duduk berdua di beranda rumah, langit hanya menampakkan beberapa bintang.

“Cantik?”

“Hmm, Gimana, ya?”

        Andaikan ptahu, kesan pertamaku bertemu dia semalam.

“Iya, cantik. Dari wajahnya juga Pras tahu kalau dia berwawasan luas, cerdas, berpendidikan. Karier tinggi,” jawabku memuji.

“Dia cocok jadi istrimu. Anaknya baik walaupun dia sebenarnya lima tahun lebih tua darimu, Nak.” Mama menyahut, keluar dari dalam rumah dengan membawa kopi untukku dan Papa.

what, lima tahun lebih tua?

“Gak salah ini? Atas dasar apa perjodohan ini?” Aku bisa merasakan alisku berkenyit.

Papa menyeruput kopinya yang masih agak panas. Setelah itu menjawabku.

“Jadi gini, janji Papa dan Om Jayanta adalah menikahkan anak pertama. Selisih usia gak masalah.”

    Baiklah, aku dan Erika sah jadi korban janji orang tua. Tidak bisa memilih cinta sesuai kriteria.

       Erika lebih cocok jadi kakak ketimbang istriku. Aku tidak bisa menebak usia Erika dari wajahnya semalam. dia masih terlihat seperti seusiaku.

   Belum menikah saja sudah terbayang yang aneh-aneh kalau kami jadi menikah. Erika akan tua lebih cepat daripada aku, banyak aturan darinya. Aku akan jadi bapak rumah tangga  karena Erika adalah wanita karir dan aku hanya penjual mi ayam. 

   Bayanganku mengarungi bahtera rumah tangga bersama Erika tidak sampai di situ saja. Kalau kami dikaruniai tiga orang ana, Erika lebih cocok jadi nenek untuk anak ketiga kami.

"Astaga Prastu, jauh sekali kau memikirkan masa depanmu dengan wanita yang kau pungut di trotoar semalam," batinku.

“Apa Papa gak malu jodohin aku sama Kak Erika? Dia manajer, sementara aku cuma tukang mi ayam loh, Pa. Pendidikanku juga cuma D3.”

“Enggak masalah! Kamu itu bos mi ayam, Erika hanya manajer. Dengan kata lain, kamu punya usaha sendiri sedangkan Erika adalah seorang karyawan dengan kewenangan lebih tinggi."

Papa menyeruput kopinya sekali lagi.

“Kamu yakin mau tinggal bareng  sebelum nikah?” Mama menyambung obrolan setelah hening sejenak.

“Aku dan Erika belum kenal satu sama lain, jadi aku rasa ini gak masalah.”

“Bukan karena kamu kebelet begituan, kan?” Papa menatap lurus-lurus.

“Aduh, enggak kok Pa. Cuma untuk kenal saja.”

   Bahkan aku tidak kepikiran untuk punya anak di usiaku yang sudah 27 tahun ini. Masih banyak yang harus aku urus dalam hal karir. Wajar saja Papa bertanya begitu karena itu adalah permintaan yang langka.

“Ya sudah, ayo tidur!” Papa berdiri,  mengakhiri obrolan kami. Diikuti mama yang terlebih dulu membersihkan cangkir bekas kopi Papa.

“Nanti masuk angin, jangan lama-lama di luar!”

“Ehm.”

         Suara jangkrik menemaniku di beranda. Bertunangan dengan wanita yang lima tahun lebih tua dariku rasanya seperti memutus jalan hidupku yang masih panjang. Karena aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama wanita mulai besok, aku harus bertanggung jawab dengan apa yang kukatakan tadi siang. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Aku suka banget mie ayaaaaam...
goodnovel comment avatar
Yuzee Nadnad
Yap, sekecil apapun usahamu, kamu adalah bosnya. Bukan karyawan. Btw Erika keknya mulai tumbuh benih2 cinta tuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status