Share

Kebiasaan Buruk Bu Manajer

    Klik!

    Aku menekan  sakelar yang menempel pada tembok, mataku refleks menutup begitu cahaya lampu 45 watt mengenai wajahku. Seketika, ruangan ini jadi terang.

    Sudah jam setengah sembilan malam, hari ini kedai tutup lebih awal. Kulangkahkan kakiku masuk, Erika belum datang dari bekerja. Aku merebahankan badan di lantai yang beralaskan karpet, merentangkan kedua tangan memandang langit-langit kamar. Tidak ada hal senikmat ini setelah pulang kerja untuk melepas lelah.

        Baru hari kedua aku tinggal dengan Erika, sudah dua hari ini dia pulang malam.  Diantar pacarnya yang terlihat berandalan itu. Dua hari ini tidak pernah ada obrolan serius di antara kami. Hanya aura dingin yang memancar dari wanita itu.

    Puas melepas lelah dengan rebahan sekadarnya, aku bangkit lalu mempersiapkan semua bahan. Memotong sayur kangkung. Kutumis bawang dan bahan lainnya sampai aromanya menguar dari wajan putih kemudian mencampur dengan kangkung yang sudah bersih. Menuang sedikit penyedap, mengaduk rata. Begitu kangkung itu terlihat layu, aku menyendoknya sedikit, memindahkan ke telapak tangan kemudian mengecapnya. Setelah rasanya pas, aku mengangkat dan memindahkannya ke dalam piring. 

    Menu pertama sudah selesai. Selanjutnya, aku memotong daging ayam kecil-kecil, memasaknya menjadi ayam kecap. Kemudian menghidangkannya di atas meja makan.

    Aku melirk jam dinding, sudah jam sembilan lewat lima belas menit. 

    

    Suara bising dari knalpot motor mengganggu telingaku, aku menyibak sedikit tirai jendela dapur. Terlihat sosok Erika sedang menyerahkan helm lalu, melambai pada pria itu.

     Pintu terbuka, terlihat sosok Erika dengan wajah letihnya. Dia tidak menyapaku, melenggang begitu saja melewatiku yang berdiri di balik konter dapur. 

"Dinner already served!” ucapku.

"Makasih! Tapi aku sudah makan," jawabnya.

“Baiklah, aku siapkan aja di meja makan. Kak Erika akan lapar lagi saat tengah malam.”

   Sebelum Erika memasuki kamar, aku berkomentar.

 “Pacarmu itu agak aneh."

   Erika membalik badan, matanya memelototiku.

"Memangnya kenapa?"

“Tadi pagi dia datang ke kedai lalu memesan nasi padang. Apalagi namanya kalau bukan aneh? Memesan nasi padang di kedai mi ayam," imbuhku.

"Kamu gak berhak komentar begitu terhadap pacarku!”

   Erika bersedekap.

“Mungkin aja dia gak tahu kalau kamu gak jual nasi padang,” jawabnya ketus.

“Berhenti membicarakan pacarku!” Erika menambahkan kemudian membanting pintu.

       Seorang manajer bisa suka dengan pria seperti itu, apa tidak ada selera lain sekelas manajer?

     Bukan berarti aku lebih baik dari pria itu. Walaupun aku dan Erika berstatus tunangan, setiap wanita berhak memilih pria yang membuatnya nyaman. Tidak terkecuali Erika, dia juga seorang wanita yag bebas untuk memilih laki-laki. Aku juga sama,  Aku juga seharusnya bisa memilih wanita yang kumau karena aku ini maaf kalau sombong lumayan ganteng walaupun hanya pengusaha mi ayam. 

     Kami dibuat tidak bisa memilih pasangan karena janji orang tua. 

 ***

     Aku membuka mata tepat jam dua belas malam, beranjak dari kasur karena kantung kemihku terasa penuh. Lari ke kamar mandi, tergesa-gesa karena sudah tidak tahan ingin mengeluarkan cairan di dalam sana lewat saluran kencing.

    Aku menurunkan celana lalu mengeluarkan kejantananku. Rasa lega begitu air yang mengandung NaCl berwarna kuning itu mengucur, meluncur ke dalam kloset. Sungguh nikmat sekali bisa pipis seperti ini.

    Aku melangkah ke kamar, dari kamar tamu  Erika terlihat masih sibuk di depan laptopnya. Aku memberanikan diri, menyetor muka.

“Kamu seorang manajer, kalau gak mau hatimu rusak lebih baik tidur!” saranku.

     Erika memalingkan wajahnya dari layar ke arahku. Seakan-akan mengeluarkan pedang yang siap membunuhku kapan saja.

“Aku harus menyelesaikan laporan!" jawabnya ketus.

   Aku menghela napas, menyandarkan punggung pada palang pintu.

“Apa gak boleh istirahat? Jangan kerja berlebihan dan mengorbankan kesehatanmu. Dari kemarin aku lihat Kak Erika pulang kerja sibuk lagi di depan laptop. Kalau kakak mati karena kanker hati apa perusahaan akan tanggung jawab?”

“Berisik!” bentaknya.

“Okelah, Bu Manajer!” 

     Kriuk!

    Terdengar suara dari dalam perut Erika.

    Ujung bibirku melengkung.

“Haha, makan dulu sana!” saranku.

    Erika memegangi perutnya yang berbunyi. Entah karena gengsi, dia tetap duduk padahal aku  air mukanya yang memberontak ingin makan.

“Makanan ada di meja! Aku tidur duluan!”

      Lalu, aku tidak memerdulikannya lagi.

      Meskipun berorientasi pada karir, di dalam tubuh kecilnya itu ada sebuah sistem yang sewaktu-waktu bisa rusak jika dipaksa. Hatinya tidak akan bekerja dengan baik, otaknya akan cepat rusak lalu tubuhnya lemah karena komplikasi jika digunakan setiap hari seperti itu.

   Terdengar suara sendok yang beradu dari  meja makan. Aku mengintipnya dari pintu kamar. Akhirnya Erika makan juga, melihatnya makan seperti itu  membuat perasaanku jadi lega.

   Aku menghampirinya, duduk berhadapan. 

“Makan yang banyak, Kak!” aku menyodorkan lauk yang masih tersisa di meja.

   Wajah Erika memerah, malu karena aku mendapatinya makan seperti itu. Sejurus kemudian, dia menghentikan aktivitasnya.

“Jangan sungkan! Kalau kamu sakit kamu gak akan bisa kerja.“

      Erika memelankan kunyahannya, menatapku lurus-lurus.

Aku menambahkan lauk pada piringnya.

“Kita gak pernah ngobrol. Jadi, kalau gak keberatan ayo kita ngobrol setelah kamu makan,” ajakku.

    Tanpa menjawab, Erika kembali menyendok lauk di piringnya, memasukkannya ke mulut. Setelah menelan makanan di dalam mulutnya, dia meneguk air.

“Aku kenyang.” Jawabnya kemudian.

    Hal yang kubenci dari Kakak ini adalah menyisakan makanan. 

“Kenapa seneng banget nyisain makanan ?” tanyaku kesal.

“Aku udah bilang, aku kenyang!”

“Hei, semua kehidupan itu suci! Kalau kamu gak menghabiskan makanan, itu sama saja dengan  menyia-nyiakan nyawa makhluk lain yang sudah merelakan hidupnya demi mengenyangkanmu. Kalau gak bisa habis, ambil makanan dikit aja kan bisa!” cecarku.

“Cerewet!”

       Menasehati orang yang 5 tahun lebih tua, sopan sekali aku ini sampai dia membentak begitu.

      Benar-benar Bu Manajer yang tidak menghargai makanan. 

        Aku menghela napas, menarik piring dihadapannya lalu melahap makanan sisa miliknya. Melahapnya dengan perasaan kesal, padahal tidak lapar sama sekali. 

     Mata Erika membulat, dia ternganga melihatku menyantap makanan sisa.

“Eh, itu sisa makananku!”

  "Begini caranya menghargai makhluk yang sudah  merelakan nyawanya untuk santapanmu!” Aku terus melahap makanan hingga yang tersisa hanya tulang ayam di atas piring yang bersih tanpa sisa nasi. Setelah itu meneguk segelas air untuk melegakan kerongkongan yang seret.

“Aku benci orang yang menyisakan makanan!”

   Erika membetulkan kacamatanya yang melorot, diam setelah aku bilang begitu dengan nada membentak.

"Maaf!" Satu-satunya kata yang dia tinggalkan untukku di meja makan.

      Erika kembali duduk di depan laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Entah dia benar-benar bekerja atau hanya terlihat sibuk bekerja. Benar-benar wanita yang berorientasi pada karir. 

      Jika kami menikah, aku dan anakku nanti tidak akan terurus. Namun, untuk urusan  karir aku tidak akan mengekang Erika. Meskipun aku ini laki-laki, aku bukan pemegang teguh prinsip patriarki. Memberikan kebebasan dalam hal karir pada istriku adalah salah satu bentuk kepedulian terhadap keluarga. Semua wanita punya cita-cita dan mimpi yang harus didukung kaum laki-laki. 

***

   

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ursa Mayor
Hai, Kak. Makasih sudah mampir. ...
goodnovel comment avatar
Ursa Mayor
Hai, Kak. Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Terima kasih juga masukan yang membangun ini Kak. Kelak kedepannya Author bisa membuat karya lebih baik lagi. ...
goodnovel comment avatar
Mr. Syafruddin
sikit2 top up.... pening pala ne
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status