“Hentikan! Pernikahan ini nggak boleh terjadi!”Semua orang mengalihkan perhatiannya ke arah pintu masuk. Di sana terdapat seorang Wanita tua yang duduk di kursi roda didampingi oleh seorang remaja laki-laki. Keduanya berjalan masuk dan mendekat ke tempat acara.“Nenek? Syamil?” gumam Aufal terkejut melihat kedatangan dua orang itu.“Ibu?” Papa Wirya bangkit menghampiri wanita yang dipanggil ibu. Beliau berlutut untuk menyamakan tingginya dengan sang ibu.“Nggak ada yang namanya pernikahan kedua!” Wanita tua itu berseru sangat lantang sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang.“Bu,” tegur Papa Wirya.Bu Ratih, ibunya Papa Wirya, beralih menatap sang anak tajam. “Kamu ini gimana, to, Wirya? Kenapa kamu malah menikahkan Aufal dengan perempuan lain? Otakmu dimana, hah?!” marahnya sambil menunjuk pelipis.Papa Wirya hanya diam dengan kepala sedikit tertunduk merasa bersalah. Beliau tahu betapa besar kasih sayang ibunya untuk Azwa meski hanya beberapa kali bertemu. Sangat wajar bila
Seketika, suasana menjadi heboh. Dua orang yang berada di samping kanan-kiri Danang dengan sigap menahan kedua lengan laki-laki itu. Tangannya diborgol ketat sehingga tidak bisa kabur. Di tambah lagi, orang-orang yang menjadi tamu undangan dengan kompak menodongkan senjata ke arah Danang dan mengepungnya. Sebagian lainnya melindungi anggota keluarga asli.“Apa-apaan ini?! Lepaskan saya!” teriak Danang berusaha berontak. Dia datang ke acara ini berniat menyaksikan kehancuran Aufal. Tidak peduli siapapun yang menjadi istri keduanya. Namun, tanpa sangka dia malah ditangkap seperti ini.Sheilla bangkit berdiri sambil merapikan sejenak pakaiannya. Dia lantas berjalan sangat anggun ke arah Bu Ratih dengan kebaya putih yang dikenakannya.“Makasih udah datang tepat waktu, Syamil,” ucapnya seraya menangkupkan kedua tangan.“Sama-sama, Mbak. Alhamdulillah, kami bisa datang tepat waktu sebelum Kak Aufal mengucap ijab qobul,” balas Syamil.Sheilla hanya membalas dengan senyuman, kemudian melanjut
Aufal dibuat geram karena terus menerus disalahkan. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya tampak memutih.“Gue nggak pernah ninggalin Dahlia sendirian. Gue udah nawarin buat antar, tapi dia nggak mau. Bahkan udah gue paksa-paksa, dia tetap nggak mau.”“Di saat bersamaan lo terus-terusan telepon minta gue buat segera balik. Gue akhirnya memilih kembali ke acara setelah diyakinkan Dahlia kalau dia baik-baik aja.”“Lo pikir gue tega biarin Dahlia pulang sendirian? Nggak, Danang! Gue terpaksa biarin dia pulang sendirian karena lo!” marahnya sambil menuding muka Danang.Danang terlihat bungkam dan termenung. Sepertinya dia kaget dengan fakta yang baru saja dibeberkan oleh Aufal. “Tapi lo sama sekali nggak hadir di detik-detik terakhirnya yang sangat ingin menemui lo,” ujar dengan nada rendah.Hal itulah yang paling Aufal sesali seumur hidup. Dia tidak bisa bertemu Dahlia untuk terakhir kalinya. “Gue minta maaf nggak sempat datang.”“Saat itu acara lagi padat banget apalagi lo ti
Aufal bungkam seribu bahasa. Dia tidak tahu apa yang tengah dirinya rasakan kini. Semua terasa campur aduk antara sedih, kecewa, malu, dan merasa berdosa telah membenci ayahnya sendiri tanpa mencari tahu akar penyebabnya. Dia terlalu fokus pada dirinya sendiri yang merasa dikekang dan kebebasannya direnggut tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya. Ternyata dibalik sikap ayahnya yang pemaksa tersimpan seribu kasih sayang untuknya.Aufal menatap sang ayah dengan haru. Dia bangkit menghampiri tempat duduk Papa Wirya dan langsung bersujud dan mencium kaki ayahnya. “Aufal minta maaf, Pa. Aufal salah udah membenci Papa selama ini. Maafin Aufal. Maaf....” ujarnya sambil menangis.Papa Wirya menarik tubuh putranya. “Bangun, Nak. Jangan kayak gini,” pintanya dengan suara bergetar.Aufal bangkit dari sujudnya dan berganti posisi menjadi duduk bersimpuh di hadapan Papa Wirya. Tangannya menggenggam kedua tangan ayahnya lalu diciumnya berkali-kali. “Aufal minta maaf.”Papa Wirya mengusap punggu
Aufal langsung kicep dan merenung. Dia sangat tau siapa orang yang berusaha menghancurkan rumah tangganya. Danang dan Raya, bukan Sheilla. Selama ini, Sheilla tidak pernah menggodanya yang mengarah pada perselingkuhan, baik secara langsung maupun lewat pesan. Gadis itu bersikap profesional dalam bekerja dan membantunya mengatasi masalah. “Mungkin gue pernah menawarkan diri jadi istri kedua lo. Tapi itu buat memancing Raya biar dia merasa punya saingan. Perlu lo tau, dia sangat terobsesi sama lo dari dulu, Fal,” lanjut Sheilla. Tatapannya mengarah pada air kolam yang memantulkan cahaya lampu di sekitarnya. “Sejak kembali ke Indonesia, gue sama sekali nggak berniat mengejar-ngejar lo lagi kayak dulu apalagi mendengar lo udah menikah.” “Waktu pertama kali kita ketemu, sebelumnya gue nggak sengaja dengar rencana jahat Raya sama Danang. Mereka akan membuat kekacauan di kantor sama bikin Azwa sengsara supaya hubungan kalian berantakan.” “Dari situ gue berusaha melindungi kalian berdua
Di kediaman keluarga Ariesandy terdapat sebuah ruangan rahasia yang hanya bisa diakses oleh pemiliknya, yakni Om Savian. Ruangan itu cukup luas dengan fasilitas lengkap. Namun sayang, pencahayaan yang redup membuat suasana di sana terkesan menyeramkan. Ditambah lagi, berbagai koleksi persenjataan membuat ruangan semakin mencekam. Di bagian tengah, terdapat meja meeting yang kini ditempati oleh tujuh orang pria. Mereka duduk mengelilingi meja menghadap depan tepatnya di layar monitor yang menampilkan 4 kotak tayangan layaknya CCTV. Masing-masing dari mereka memakai earpiece sebagai sarana komunikasi dengan orang suruhan yang berada di sana. Misi kali ini melibatkan anak buah Om Savian dan Papi Kafka yang bersatu untuk menangkap Darwin. Empat diantaranya membawa kamera tersembunyi yang terpasang pada tubuhnya. Kamera itu tidak disertai alat penyadap suara sehingga tidak bisa mendengarkan pembicaraan di sana. Tak apa, ini sudah menjadi bagian dari rencana agar tidak dicurigai. “
“Belum puas kah kau menghancurkan hidupku, Wirya?!”Papa Wirya mengernyitkan kening bingung. “Apa maksudmu?”Raya tertawa sarkas. “Jangan pura-pura tidak tahu. Apa kau tidak ingat dengan pria bernama Rusman Santoso?”Kerutan di dahi Papa Wirya semakin kentara mendengar nama yang tidak asing lagi baginya. Beberapa detik setelahnya, beliau mengingat seorang pria yang dulu pernah menjadi saingannya dalam sebuah tender yang dijalankan oleh perusahaan BUMN. “Dia, pria sangat kejam yang tega meninggalkan keluarga kecilnya demi kehidupan mewah. Dan semua itu karena kau, Wirya?!” Raya menunjuk ke arah Papa Wirya dengan jari telunjuknya.“Memang apa yang sudah saya lakukan sehingga dia meninggalkan keluarga kecilnya?” tanya Papa Wirya.“Kau merebut tender itu yang membuat perusahaan ayahku bangkrut. Tender itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan perusahaan kami dari pailit.”“Itu karena kesalahannya sendiri yang berbuat curang,” balas Papa Wirya.Pada awalnya, Rusman memang berhasil mem
“Mas beneran nggak ikut pulang besok?” Azwa tengah memasukkan pakaiannya juga pakaian Wafa ke dalam koper untuk dibawa pulang ke Semarang. Di depannya ada Aufal yang ikut membantu. “Mas masih ada beberapa urusan yang harus Mas selesaikan di sini sebelum benar-benar pindah ke Semarang. Kamu pulang duluan bareng Papa sama Mama, ya. Mas pasti langsung pulang kalau semuanya udah beres,” jawab Aufal. Azwa menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Aufal. “Beneran loh, Mas. Jangan lama-lama pulangnya.” “Iya, Sayang.” Beberapa menit kemudian, keduanya sudah selesai packing. Kini, Azwa duduk di sofa sambil memperhatikan gerak-gerik suaminya yang sedang mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Aufal duduk di samping Azwa. “Ini untukmu,” ucapnya sambil menyodorkan dua buah kartu debit dan satu buku tabungan. “Apa ini Mas?” Azwa menerima tiga benda itu dengan heran. Aufal tersenyum lalu menunjuk salah satu kartu di tangan Azwa. “Ini kartu debit yang berisi gaji Mas yang langs