Sehabis Subuh sekitar pukul lima pagi, Azwa sedang video call dengan Aufal di kamar bersama Wafa. Sejak pulang dari Jakarta, Azwa memilih tinggal di rumahnya sendiri. Terhitung sudah empat hari dia di sini sembari menunggu Aufal pulang.“Papa jadi pulang hari ini kan?” Azwa mengarahkan ponselnya ke bawah agar wajahnya dan wajah Wafa bisa terlihat di layar ponsel. Di seberang sana, Aufal tampak sedang duduk di teras dengan pakaian yang sudah rapi. “Jadi dong, Bunda. Sekarang Papa lagi memanaskan mobil. Nih, lihat.”Layar berubah menjadi kamera belakang yang menyoroti sebuah mobil putih terparkir sempurna di halaman rumah. Hanya sebentar sebelum layar kembali menampilkan wajah tampan Aufal.“Tumben Wafa udah bangun jam segini?” tanyanya.“Nggak tau, tadi waktu mendengar suara Mas dia langsung bangun. Kangen bapaknya mungkin.” Azwa mencium gemas pucuk kepala putranya yang sudah ditumbuhi rambut cukup lebat.Wafa mengulurkan tangan, meraih ponsel, dan hadapkan ke wajahnya sendiri. “Papp
“Mas Ofa!”Azwa terbangun dari tidurnya dengan napas ngos-ngosan dan keringat membanjiri tubuh. Dia menatap sekeliling yang ternyata berada di kamarnya sendiri. Wanita itu menghela napas lega karena hanya mimpi. Mimpi yang terasa nyata dan tentunya sangat mengerikan dimana Aufal mengalami kecelakaan dan dinyatakan hilang.Azwa beranjak turun lantas mencari suaminya. Pasti sekarang sudah pulang. Aufal bilang akan langsung menjemputnya begitu tiba dari Jakarta.Dengan senyum merekah, dia mencari suaminya di seluruh penjuru rumah. “Mas Ofa,” panggilnya saat mencari di bagian dapur, tapi tidak menemukan keberadaan Aufal.Kembali ke depan, Azwa bertemu dengan ibunya. “Bunda tau nggak dimana Mas Ofa? Mas Ofa udah pulang kan, Bun?” tanyanya tidak sabar.Bunda Nawa tidak menjawab melainkan hanya diam dan menatapnya sendu. Sikap yang menurut Azwa aneh padahal dia cuma bertanya tentang Aufal saja.“Apa mampir dulu di rumah Mama, ya?” Azwa mengusap dagunya berpikir. “Iya, mungkin aja Mas Ofa ad
“Ayah!” Seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari kelas berlari saat melihat orang yang tak disangka datang menjemputnya. Dia sangat merindukan sosok itu karena beberapa hari ini tidak bertemu. Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung berwarna navy tengah berlutut sambari merentangkan tangannya. Dia tak memedulikan pandangan orang-orang terhadapnya. Begitu sampai, bocah itu langsung menghambur dalam pelukan hangatnya. Dia tertawa dan membalas pelukan tak kalah erat. “Hai, little boy. Kangen banget ya?” Bocah itu mengangguk. “Wafa kangen Ayah. Beberapa hari ini Ayah nggak dateng.” “Ayah juga kangen banget sama Wafa. Ayah minta maaf, ya, Sayang. Pekerjaan Ayah banyak banget.” Pria itu melepaskan pelukannya lantas mengusap kepala sang anak penuh kasih sayang. “Wafa maafin, tapi jangan diulangi,” ucap anak laki-laki yang bernama Wafa. “Siap, Boy.” Pria itu mengangkat tubuh Wafa ke dalam gendongan dan membawanya menuju mobil. Dia mendudukkan Wafa di kur
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa