Share

03. Kesepakatan

"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku.

"Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.

Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan.

"Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.

Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya.

"Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."

Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.

Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!

"Gampang itu!" katanya remeh. "Di mansion orang tuaku ada banyak maid, aku bisa membawa berapapun yang kumau ke rumahku sendiri. Dan jangan menyepelekanku. Aku tidak akan tidur dengan perempuan yang tak mau tidur denganku."

Oh, begitu? Berarti tak masalah baginya untuk tidur dengan perempuan manapun, selama perempuan itu mau dengannya?

"Tapi, tetap saja aku tak sudi diikat dalam pernikahan berbalut konspirasi semacam ini," cercaku sengit.

Pria ini sungguh tak tahu malu, bahkan setelah dirinya melakukan perbuatan kotor bersama sepupunya itu, ia masih tak sadar diri.

Xander mengangkat bahu tak peduli. "Terserah kau saja, aku sudah berbaik hati memberikan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan bagi kita. Aku akan memberimu semua yang kau inginkan, memenuhi kebutuhanmu, dan aku sendiri bisa memenuhi harapan keluargaku untuk memiliki istri."

Dengan licik Xander mengingatkanku tentang kondisi ayahku yang rawan terkena serangan jantung, apabila nanti ia mendengar diriku berulah.

Ah, ayahku! Kalau bukan karena Ayah, aku benar-benar akan pergi sejauh-jauhnya, tak peduli bila dengan statusku yang terikat pernikahan aku tak bisa menjalin asmara lagi dengan pria lain. Hidup sendiri jauh lebih baik ketimbang harus menjalani pernikahan palsu.

Sayangnya, aku tak bisa melakukan itu. Lenyap sudah masa depanku yang penuh kebahagiaan dan kebebasan.

"Jadi ... apa yang kauharapkan dariku?" tanyaku meneguhkan seluruh keyakinan.

"Sederhana saja ...."

Xander tak keberatan jika hubungan kami hanya sebatas perkawinan di atas kertas, ia tak akan berbuat macam-macam terhadapku. Hanya saja, ia ingin aku mendukungnya dengan bersikap seolah kami adalah pasangan harmonis saat berada di hadapan orang tuanya ataupun rekan-rekan bisnisnya.

Setidaknya dengan image pernikahan yang harmonis kredibilitasnya sebagai pebisnis akan meningkat.

Dan mengenai perpisahan, akan kami bicarakan lagi setelah dua tahun, bila memang tidak ada kecocokan dan pernikahan ini benar-benar tak bisa dipertahankan, tetapi tidak sekarang.

"Jangan ingkari perjanjian ini," lanjutnya sembari menaikkan telunjuknya sebagai tanda peringatan. "Penuhi kesepakatan kita. Kalau sampai kaulalaikan persyaratanku, kuabaikan pula persyaratanmu."

Dua tahun hidup bersama Xander? Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, dengan adanya kesepakatan ini, aku pun setuju. Setidaknya ia tak bisa berbuat seenaknya.

"Deal!" ucap Xander sembari menjabat tanganku.

Lantas dengan sikap tubuh tegap, dan percaya diri, ia mulai menunjukkan kekuasaannya dengan berkata, "Dua hari lagi kita akan berbulan madu."

***

"Apa-apaan ini, Xander? Apa niatmu sebenarnya?" pekikku dengan perasaan kesal, sampai-sampai tas tangan yang kupegang terlepas dan jatuh ke lantai.

Angan-anganku akan liburan menyenangkan di Makarelia, pulau tropis, eksotis dan mewah itu pupus sudah.

Penampakan kamar tidur di depan mataku membuatku geram, bukan karena Xander membawaku ke penginapan murahan, dan tak layak dihuni. Kamar hotel ini justru terbilang mewah dan nyaman. Hanya saja ada satu masalah.

"Mengapa tempat tidurnya cuma satu? Mana ada bunga-bunga lagi, iyuh! Ini hanya liburan, Xander. Jangan bilang kamu mencari kesempatan untuk tidur denganku. Mengaku sajalah," cecarku sebab sedari tadi Xander hanya cengengesan.

Entah sejak kapan pria satu ini memiliki hobi tertawa, setiap kali aku kesal atau protes, Xander malah menertawakanku.

"Kita ini pergi berbulan madu, Theodora, bukan masuk mess tentara. Wajar saja bila kamar honeymoon hanya memiliki satu tempat tidur," jawabnya sembari mengibaskan tangannya.

Dimainkannya kelopak-kelopak mawar yang ditaburkan di atas ranjang. Memang, kamar ini didekor dengan begitu manis. Ada bunga di mana-mana, serta hiasan cantik layaknya kamar pengantin. Hanya saja semua itu membuatku cringe!

"Tidak bisa begitu, Xander!" tampikku sedikit ngegas. "Aku sudah bilang, aku tak mau tidur denganmu. Ini di luar kesepakatan kita."

"Terserah kau mau tidur di sini atau di luar sana. Yang jelas orang tuaku yang memesankan kamar ini sebagai hadiah pernikahan untuk kita, kita tinggal menerima, menikmati, toh tinggal tidur saja, tidak perlu membayar," sahutnya seraya duduk di tepi ranjang.

Apa? Bisa-bisanya dia bilang begitu? Baru berapa hari juga kami setuju untuk hidup bersama sebagai pasangan di atas kertas dengan banyak rincian kesepakatan, eh, sebegitu mudahkah kesepakatan itu diingkari?

"Kamu tak bermaksud mengambil kesempatan dalam kesempitan, kan?" tuduhku sekali lagi. Kulirik Xander penuh kecurigaan.

"Berhentilah cerewet, Theodora!Sudah kubilang, aku tak akan tidur dengan wanita yang tak mau tidur denganku, bahkan istriku sendiri. Memangnya aku lelaki apaan?" timpalnya cuek. Lantas dengan santainya pria itu berbaring di tempat tidur.

Kugelengkan kepala dengan kedua lengan berkacak pinggang, tak habis pikir aku menyaksikan tingkahnya. Seperti bocah digerakkan pantatnya untuk merasakan betapa empuk springbed tersebut.

"Aaah! Nyaman sekali, Theodora. Kau sungguh tak mau tidur di sini? Santai saja, tempat tidur ini cukup luas bahkan untuk sepuluh orang sekalipun." Xander menepuk-nepuk sisi kanan tempat tidur yang kosong, mengundangku untuk bergabung dengannya.

"Jangan mimpi!" desisku galak. Seenaknya saja lelaki itu menyebut tempat tidurnya cukup untuk sepuluh orang. Dipikirnya ia sedang menjemur ikan asin?

Aku memelototinya dengan sengit. Sesaat tatapan kami beradu, bersaing untuk menunjukkan siapa yang bisa memenangkan adu tatap ini ..., dan aku yang kalah.

Xander menggunakan satu siku untuk menahan tubuhnya. Satu lututnya dinaikkan dengan begitu santai. Sikapnya mirip preman pasar.

Pria itu meringis, lalu dengan nada menggoda ia mengucapkan kalimat yang membuatku panas dingin. "Aku tak akan berbuat macam-macam, Theodora ... kecuali kau memprovokasi duluan."

"Tidur saja sana, biar kamu bisa bermimpi, kalau perlu jangan bangun sekalian!" seruku kesal.

Pria menyebalkan itu terbahak-bahak. Suara tawanya bahkan mengundang hipertensi.

"Jangan, dong! Kalau aku mati, nanti kamu jadi janda," ucapnya dengan suara yang begitu lembut dan mengiba. Tentu saja itu hanya sandiwara.

"Biar saja, lebih baik aku jadi janda ... bebas, ketimbang harus hidup dengan penipu!" timpalku balas mencemooh.

Meskipun hanya lewat adu mulut, aku berharap bisa mengalahkannya. Sayangnya aku berhadapan dengan pria selicin belut.

"Nggak seru, ah!" katanya dengan suara merengek.

Dih! Bocah banget sih? Belum lagi bibirnya mengerucut manyun. Bagaimana Xander bisa bertingkah seimut itu? Duh, hampir saja aku tergoda untuk menguncir bibirnya dengan pita.

Lalu pria itu bangun, dan duduk di atas ranjang. Matanya menatapku lekat, lengkap dengan seringaian nakalnya. "Aku belum akan mati, Theodora, karena kau belum merasakan hukuman dariku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status