"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku.
"Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.
Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan.
"Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.
Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya.
"Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."
Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.
Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!
"Gampang itu!" katanya remeh. "Di mansion orang tuaku ada banyak maid, aku bisa membawa berapapun yang kumau ke rumahku sendiri. Dan jangan menyepelekanku. Aku tidak akan tidur dengan perempuan yang tak mau tidur denganku."
Oh, begitu? Berarti tak masalah baginya untuk tidur dengan perempuan manapun, selama perempuan itu mau dengannya?
"Tapi, tetap saja aku tak sudi diikat dalam pernikahan berbalut konspirasi semacam ini," cercaku sengit.
Pria ini sungguh tak tahu malu, bahkan setelah dirinya melakukan perbuatan kotor bersama sepupunya itu, ia masih tak sadar diri.
Xander mengangkat bahu tak peduli. "Terserah kau saja, aku sudah berbaik hati memberikan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan bagi kita. Aku akan memberimu semua yang kau inginkan, memenuhi kebutuhanmu, dan aku sendiri bisa memenuhi harapan keluargaku untuk memiliki istri."
Dengan licik Xander mengingatkanku tentang kondisi ayahku yang rawan terkena serangan jantung, apabila nanti ia mendengar diriku berulah.
Ah, ayahku! Kalau bukan karena Ayah, aku benar-benar akan pergi sejauh-jauhnya, tak peduli bila dengan statusku yang terikat pernikahan aku tak bisa menjalin asmara lagi dengan pria lain. Hidup sendiri jauh lebih baik ketimbang harus menjalani pernikahan palsu.
Sayangnya, aku tak bisa melakukan itu. Lenyap sudah masa depanku yang penuh kebahagiaan dan kebebasan.
"Jadi ... apa yang kauharapkan dariku?" tanyaku meneguhkan seluruh keyakinan.
"Sederhana saja ...."
Xander tak keberatan jika hubungan kami hanya sebatas perkawinan di atas kertas, ia tak akan berbuat macam-macam terhadapku. Hanya saja, ia ingin aku mendukungnya dengan bersikap seolah kami adalah pasangan harmonis saat berada di hadapan orang tuanya ataupun rekan-rekan bisnisnya.
Setidaknya dengan image pernikahan yang harmonis kredibilitasnya sebagai pebisnis akan meningkat.
Dan mengenai perpisahan, akan kami bicarakan lagi setelah dua tahun, bila memang tidak ada kecocokan dan pernikahan ini benar-benar tak bisa dipertahankan, tetapi tidak sekarang.
"Jangan ingkari perjanjian ini," lanjutnya sembari menaikkan telunjuknya sebagai tanda peringatan. "Penuhi kesepakatan kita. Kalau sampai kaulalaikan persyaratanku, kuabaikan pula persyaratanmu."
Dua tahun hidup bersama Xander? Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, dengan adanya kesepakatan ini, aku pun setuju. Setidaknya ia tak bisa berbuat seenaknya.
"Deal!" ucap Xander sembari menjabat tanganku.
Lantas dengan sikap tubuh tegap, dan percaya diri, ia mulai menunjukkan kekuasaannya dengan berkata, "Dua hari lagi kita akan berbulan madu."
***
"Apa-apaan ini, Xander? Apa niatmu sebenarnya?" pekikku dengan perasaan kesal, sampai-sampai tas tangan yang kupegang terlepas dan jatuh ke lantai.
Angan-anganku akan liburan menyenangkan di Makarelia, pulau tropis, eksotis dan mewah itu pupus sudah.
Penampakan kamar tidur di depan mataku membuatku geram, bukan karena Xander membawaku ke penginapan murahan, dan tak layak dihuni. Kamar hotel ini justru terbilang mewah dan nyaman. Hanya saja ada satu masalah.
"Mengapa tempat tidurnya cuma satu? Mana ada bunga-bunga lagi, iyuh! Ini hanya liburan, Xander. Jangan bilang kamu mencari kesempatan untuk tidur denganku. Mengaku sajalah," cecarku sebab sedari tadi Xander hanya cengengesan.
Entah sejak kapan pria satu ini memiliki hobi tertawa, setiap kali aku kesal atau protes, Xander malah menertawakanku.
"Kita ini pergi berbulan madu, Theodora, bukan masuk mess tentara. Wajar saja bila kamar honeymoon hanya memiliki satu tempat tidur," jawabnya sembari mengibaskan tangannya.
Dimainkannya kelopak-kelopak mawar yang ditaburkan di atas ranjang. Memang, kamar ini didekor dengan begitu manis. Ada bunga di mana-mana, serta hiasan cantik layaknya kamar pengantin. Hanya saja semua itu membuatku cringe!
"Tidak bisa begitu, Xander!" tampikku sedikit ngegas. "Aku sudah bilang, aku tak mau tidur denganmu. Ini di luar kesepakatan kita."
"Terserah kau mau tidur di sini atau di luar sana. Yang jelas orang tuaku yang memesankan kamar ini sebagai hadiah pernikahan untuk kita, kita tinggal menerima, menikmati, toh tinggal tidur saja, tidak perlu membayar," sahutnya seraya duduk di tepi ranjang.
Apa? Bisa-bisanya dia bilang begitu? Baru berapa hari juga kami setuju untuk hidup bersama sebagai pasangan di atas kertas dengan banyak rincian kesepakatan, eh, sebegitu mudahkah kesepakatan itu diingkari?
"Kamu tak bermaksud mengambil kesempatan dalam kesempitan, kan?" tuduhku sekali lagi. Kulirik Xander penuh kecurigaan.
"Berhentilah cerewet, Theodora!Sudah kubilang, aku tak akan tidur dengan wanita yang tak mau tidur denganku, bahkan istriku sendiri. Memangnya aku lelaki apaan?" timpalnya cuek. Lantas dengan santainya pria itu berbaring di tempat tidur.
Kugelengkan kepala dengan kedua lengan berkacak pinggang, tak habis pikir aku menyaksikan tingkahnya. Seperti bocah digerakkan pantatnya untuk merasakan betapa empuk springbed tersebut.
"Aaah! Nyaman sekali, Theodora. Kau sungguh tak mau tidur di sini? Santai saja, tempat tidur ini cukup luas bahkan untuk sepuluh orang sekalipun." Xander menepuk-nepuk sisi kanan tempat tidur yang kosong, mengundangku untuk bergabung dengannya.
"Jangan mimpi!" desisku galak. Seenaknya saja lelaki itu menyebut tempat tidurnya cukup untuk sepuluh orang. Dipikirnya ia sedang menjemur ikan asin?
Aku memelototinya dengan sengit. Sesaat tatapan kami beradu, bersaing untuk menunjukkan siapa yang bisa memenangkan adu tatap ini ..., dan aku yang kalah.
Xander menggunakan satu siku untuk menahan tubuhnya. Satu lututnya dinaikkan dengan begitu santai. Sikapnya mirip preman pasar.
Pria itu meringis, lalu dengan nada menggoda ia mengucapkan kalimat yang membuatku panas dingin. "Aku tak akan berbuat macam-macam, Theodora ... kecuali kau memprovokasi duluan."
"Tidur saja sana, biar kamu bisa bermimpi, kalau perlu jangan bangun sekalian!" seruku kesal.
Pria menyebalkan itu terbahak-bahak. Suara tawanya bahkan mengundang hipertensi.
"Jangan, dong! Kalau aku mati, nanti kamu jadi janda," ucapnya dengan suara yang begitu lembut dan mengiba. Tentu saja itu hanya sandiwara.
"Biar saja, lebih baik aku jadi janda ... bebas, ketimbang harus hidup dengan penipu!" timpalku balas mencemooh.
Meskipun hanya lewat adu mulut, aku berharap bisa mengalahkannya. Sayangnya aku berhadapan dengan pria selicin belut.
"Nggak seru, ah!" katanya dengan suara merengek.
Dih! Bocah banget sih? Belum lagi bibirnya mengerucut manyun. Bagaimana Xander bisa bertingkah seimut itu? Duh, hampir saja aku tergoda untuk menguncir bibirnya dengan pita.
Lalu pria itu bangun, dan duduk di atas ranjang. Matanya menatapku lekat, lengkap dengan seringaian nakalnya. "Aku belum akan mati, Theodora, karena kau belum merasakan hukuman dariku."
"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya."Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik."Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga."Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk
"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ....""Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.Waduh!Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu."Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istr
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?