Dear readers, Semoga Anda menyukai cerita Xander-Theodora. Jangan lupa tinggalkan komentar, dan sumbangan gem juga, ya. Terima kasih^^
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S
"Selamat, Nyonya Xander! Anda telah memiliki saingan dalam merebut hati suami Anda! Hahaha." Judith tertawa mengejekku dengan begitu puasnya. Dua pekan semenjak pulang dari Makarelia, akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengan sahabatku ini, di tempat tinggalku yang baru pula. Bisa dibilang ia sangat pemberani. Xander bisa saja melakukan hal mengerikan, bila bertemu dengan perempuan yang sempat 'menculik' pengantinnya dulu. Syukurlah Xander tak bereaksi macam-macam saat bertemu Judith sebentar tadi pagi. Ini adalah kesempatanku untuk curhat sepuas-puasnya. "Nggak lah! Gabby bukan apa-apa, ia hanya gadis pekerja yang diam-diam menyukai atasannya. Xander tak memiliki rasa kepadanya," ujarku tanpa menunjukkan ekspresi apapun, padahal di dalam hati aku tidak senang mengetahui ada wanita lain yang terobsesi pada suamiku. "Maksudku bukan Gabby, Thea, tapi Bianca. Hahahahaha." Kali ini Judith tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar, dan perutnya sakit. "Ah, sialan kau!" Temanku
"Aku ... tidak tahu. Aku tidak paham dengan perasaanku sendiri, Jud. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu ..., maaf." Dengan lesu kutundukkan kepalaku.Urusan perasaan dan percintaan sebulan terakhir ini terasa terlalu rumit untukku. Dimulai dari plot twist di hari pernikahanku, dan berujung pada kebingungan tentang bagaimana aku bisa menempatkan hatiku dalam perkawinan di luar perkiraan ini.Dia bukan orang yang sama sekali asing, tetapi Xander bukan orang yang seharusnya kunikahi. Dan kini semua menjadi aneh, karena kepura-puraan di depan khalayak itu terasa alami bagiku."Hmm, berarti sudah jelas jawabannya. Kamu memang mencintai Xander." Judith berujar dengan nada suara yang begitu yakin, seolah tak terbantahkan.Kudongakkan kepala, dan kulihat senyuman penuh kepercayaan dirinya, mungkin lebih tepatnya senyuman sok tahu. Nah, mulai lagi si para-tidak-normal satu ini!"Apa maksudmu, Jud? Nggak bisa begitu dong! Bagaimana kamu bisa menyimpulkannya semudah itu, sementara aku sendiri yan
"Jangan underestimate terhadap Elowen, ya! Meskipun lebih banyak area pedesaan di sini, orang-orangnya tidak udik, tahu," ucapku sewot, setengah bercanda menanggapi ucapan Judith."Ceileh! Yang sudah jadi nyonya di Elowen nih, ye, siap pasang badan ngebelain." Ledekan Judith belum berhenti. Perempuan itu cengar-cengir seperti tapir.Eh, tapir bisa cengar-cengir kah?"Jelas dong! Katanya don't judge the book by its cover, so kalau kamu belum benar-benar mengenal Elowen, jangan menilai hanya dari penampilannya yang sederhana ini," imbuhku yakin."Ampun deh! Baiklah, Bu Xander yang telah menjadi duta pariwisata Elowen.""Apaan sih?""Hahaha."Baik aku maupun Judith memang tinggal di Hazelton, sebuah kota yang cukup modern. Semenjak kecil kami terbiasa dengan suasana kota yang ramai, dan menikmati kemudahan hidup di sana."Jadi apa yang spesial di Elowen, khususnya di tempat ini, yang membuatmu betah? Selain karena ada Xander tentunya. Hihi," tanya Judith dengan bumbu kepo yang sedikit kur
"Enak saja! Buat apa?!""Eh, kok kamu tahu sih?"Setengah tak percaya kutolehkan kepala ke samping, dan menatap Judith dengan mulut menganga. Demi menjaga harga diri, aku menyangkal tuduhan Xander, eh, di saat bersamaan Judith malah sebegitu gampangnya mengiyakannya sambil bersikap centil.Dia ini benar-benar kawan yang tidak setia kawan.Tak dinyana, sedang seru-serunya kami membicarakan Xander, eh, objek yang kami omongin malah muncul. Inilah satu alasan mengapa kita tidak boleh membicarakan orang lain di belakangnya, ya, pembaca!"Eh ..., maksudku ... hehe ... itu ...." Terbata-bata sambil garuk-garuk kepala, Judith mencoba menganulir ucapannya."Kalian sudah makan? Sepertinya belum." Dengan sikap yang sangat santai Xander mengambil air mineral dan meminumnya. Gibahan kami tadi seakan telah dilupakannya.Di hari Sabtu Xander hanya bekerja setengah hari, jadi ia bisa pulang relatif siang. Peluh membasahi baju yang dikenakannya, anehnya di mataku dia terlihat seksi.Entah CEO macam ap