"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.
Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya.
"Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.
Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.
Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik.
"Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga.
"Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.
Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.
Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk ke kamar kami?
Sebelum otak lemotku memahami, wanita tadi kembali berucap, "Ternyata gosip-gosip itu tidak benar, honey. Kita lihat sendiri, betapa mesranya anak dan menantu kita."
"Benar sekali, sayang! Kamu tidak perlu khawatir lagi. Mereka memang saling mencintai," timpal sang suami.
Sebentar, ada yang salah. Anak dan menantu kita??? Jadi mereka adalah ...?
Mataku beralih ke suami abal-abalku yang plonga-plonga sepertiku. Lalu pandanganku berpindah ke tanganku yang masih menggenggam kerah baju Xander.
"Oh, tidak!" desisku seraya menarik kedua tanganku dan bermaksud mundur. Sayangnya Xander membaca niatku dan justru menarikku hingga kepalaku rebah di dadanya.
Aku berupaya membebaskan diri, tetapi lengan kokoh Xander menahanku hingga aku tak bisa bergerak.
Sebelum mulutku memprotes, pria jangkung itu lebih dahulu berseru, "Tentu saja, Ma, Pa! Bukankah sudah kubilang kepada kalian untuk percaya kepadaku dan Theodora? Kalian lihat sendiri sekarang, betapa mesranya kami berdua."
Sang ibunda terkekeh. "Baiklah, Mama percaya sekarang."
Apa-apaan ini? Kepalaku mendongak dan kutatap dirinya sengit, namun seketika nyaliku surut, sebab sorot mata Xander lebih garang daripada mataku.
Ah, benar! Kesepakatan kami! Aku dan Xander harus terlihat mesra di depan kedua orang tuanya. Nyaris saja aku mengacaukan semuanya.
"Syukurlah, hubungan kalian baik-baik saja," sahut ayah Xander yang bahkan tak kuketahui namanya.
"Beres, Pa. Papa tak perlu mengkhawatirkan kami," timpal Xander sembari membelai rambutku. "Papa bisa lihat sendiri, istriku yang manis ini begitu tak ingin jauh-jauh dari suaminya."
Kedua orang tua Xander tertawa mendengar ocehan anaknya, sementara aku tak mampu berkutik sedikitpun. Menjauh salah, tapi kalau kami tetap berada di posisi sedekat ini semakin salah.
Sialan betul cowok satu ini! Terasa sekali dia mengambil kesempatan dalam kesempitan, pakai belai-belai segala. Belum lagi dia bilang aku tak ingin jauh darinya? Cih!
"Alright, kalian istirahat saja dulu. Jangan lupa, nanti malam kita dinner, ya. Kami tunggu di restoran," pesan ibu mertuaku sebelum mereka meninggalkan kamar kami.
Syukur! Terima kasih, Tuhan, akhirnya kedua orang tua Xander undur diri! Dan begitu mereka menghilang ....
"Stop pegang-pegang! Jangan modus kamu, ya." Kutarik diri menjauh dari suami gadunganku.
"Siapa pula yang berniat pegang-pegang? Justru kamu itu yang perlu diberi peringatan, nyaris saja rahasia kita terbongkar. Kamu ingin hukumanmu di-upgrade?" timpal Xander tak kalah pedas.
"Hah! Hukuman saja yang kau bicarakan. Memangnya kau ini guru BK?" Aku menggerutu atas sikapnya yang begitu kekanakan, dan hobi mengancam.
Selama beberapa menit aku menggerutu, tanpa mendapat sedikitpun tanggapan darinya. Ternyata Xander sedang memakan pisang sembari mengawasiku.
"Astaga! Apakah lelaki memang selalu tidak peka?" keluhku sembari mengusap dahi.
"Sudahlah, Theodora, tidak usah marah-marah," sahut Xander santai sembari mengupas kulit pisang lebih lanjut. "Lebih baik kau bersiap-siap, karena kamu akan dinner bersama ayah dan ibu mertuamu."
Astaga! Tadi ibu Xander menyebutkan tentang makan malam bersama kami. Waduh, gawat ini!
Baru memikirkannya saja sudah membuatku cemas, apalagi nanti saat kami makan bersama. Bisa diperkirakan mereka akan bertanya-tanya tentang hubunganku dan Xander, dan pastinya aku akan diinterogasi karena sudah kabur dari resepsi.
"Ngapain mondar-mandir kayak setrikaan gitu?" celetuk Xander. Karena cemas, tanpa sadar aku berjalan bolak balik di ruangan ini.
Aku tak menjawabnya, otakku masih terlalu tegang.
"Tidak perlu kamu khawatirkan kedua orang tuaku. Percayakan saja semuanya kepadaku, kalau mereka bertanya macam-macam, biar aku yang menjawab," imbuh Xander.
Langkahku terhenti, kutatap Xander untuk memastikan keseriusannya. Wajah tenangnya menyiratkan kesungguhan atas ucapannya. Ia menganggukkan kepalanya sekilas.
"Bersikaplah sewajarnya, jawab pertanyaan yang umum, selebihnya biar aku yang bicara. Dan tak soal seberapa besar kebencianmu kepadaku, simpan dulu, mari berdamai dan bersikap mesra di hadapan mereka," pesan Xander serius.
Aku menelan ludah, lalu mengangguk pasrah. Patut disyukuri pria itu tak menuntut hal yang berlebihan dariku.
Dan soal kebencian, sebenarnya aku tidak benar-benar membencinya. Entahlah, mungkin tak semudah itu bagiku untuk melupakan kelicikannya, tetapi seraya waktu berlalu aku menerima kenyataan bahwa Xander adalah suamiku.
Maka malam itu kami turun ke lantai dasar untuk makan malam di restoran hotel.
***
"Theodora sayang, kamu cantik sekali malam ini." Mama Xander menyapa dan memelukku dengan hangat.
Wanita itu memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku mengenakan dress satin warna abu-abu. Kubiarkan rambut hitamku tergerai, dan makeup tipis menyentuh ringan wajahku.
"Terima kasih, Mrs. Smith. Anda juga cantik," sahutku memujinya balik.
Mungkin ini terdengar seperti sebuah basa-basi, tetapi ibu mertuaku sungguh terlihat anggun mengenakan gaun berwarna biru navi yang berhasil menonjolkan warna kulitnya yang terang.
"Jangan panggil Mrs. Smith, panggil saja Daisy," protesnya dengan raut menggemaskan. "Tapi akan lebih bagus lagi, jika kamu memanggilku Mama."
Ah, rupanya nama ibu mertuaku adalah Daisy. Cocok sekali dengan pembawaannya yang ceria. Dan ayah mertuaku bernama Phillip.
"Baiklah ..., Mama," sahutku malu-malu. Lebih mudah bagiku untuk menyebutnya begitu, ketimbang namanya secara langsung.
Makan malam lezat tersaji di meja kami, dengan beef steak sebagai menu utamanya. Dan seperti kesan yang kudapatkan saat mereka mengunjungi kamar kami tadi siang, kedua mertuaku sangat baik dan ramah.
"Xander ini mungkin terkesan dingin, tapi sebenarnya dia anak yang berhati lembut, dan penyayang," tutur ibu mertuaku yang diamini oleh suaminya.
Kulirik Xander yang duduk tenang di sampingku sambil mengunyah makanannya. Nyaris tak terlihat, tetapi aku sempat menangkap ujung bibirnya menyunggingkan senyuman malu-malu, karena pujian orang tuanya.
Makanan di sini enak, dan obrolan kami menyenangkan. Kedua mertuaku sama sekali tak bertanya apalagi memarahiku karena kabur dari pesta pernikahan kami, padahal aku sudah bersiap untuk diomeli.
Malah pasangan ini terkesan sedang mempromosikan anak lelakinya kepadaku. Bisa kulihat mata ibu Xander yang berbinar-binar saat menceritakan banyak hal tentang putranya itu.
"Ada saat anak lelakiku ini sedikit nakal," imbuhnya dengan mata berkilat jenaka. "Laporkan kepadaku bila Xander menyakiti atau membuatmu menangis."
"Iya, Mama." Aku menyahut dengan perasaan sedikit rikuh. Hatiku tersentuh. Seharusnya aku yang dimarahi, dan Xander yang mengadu kepada ibunya, tetapi mertuaku itu malah memihakku.
Terima kasih, Tuhan!
Namun, permintaan ibu mertuaku selanjutnya membuatku kehilangan selera makan. "Mama berharap kamu bisa menerima dan menyayangi Xander apa adanya, Theodora. Jadilah teman, adik, serta pasangan yang selalu ada untuknya. Janji?"
"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ....""Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.Waduh!Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu."Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istr
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc