Share

04. Tertangkap Basah

"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.

Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya.

"Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.

Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.

Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik.

"Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga.

"Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.

Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.

Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk ke kamar kami?

Sebelum otak lemotku memahami, wanita tadi kembali berucap, "Ternyata gosip-gosip itu tidak benar, honey. Kita lihat sendiri, betapa mesranya anak dan menantu kita."

"Benar sekali, sayang! Kamu tidak perlu khawatir lagi. Mereka memang saling mencintai," timpal sang suami.

Sebentar, ada yang salah. Anak dan menantu kita??? Jadi mereka adalah ...?

Mataku beralih ke suami abal-abalku yang plonga-plonga sepertiku. Lalu pandanganku berpindah ke tanganku yang masih menggenggam kerah baju Xander.

"Oh, tidak!" desisku seraya menarik kedua tanganku dan bermaksud mundur. Sayangnya Xander membaca niatku dan justru menarikku hingga kepalaku rebah di dadanya.

Aku berupaya membebaskan diri, tetapi lengan kokoh Xander menahanku hingga aku tak bisa bergerak.

Sebelum mulutku memprotes, pria jangkung itu lebih dahulu berseru, "Tentu saja, Ma, Pa! Bukankah sudah kubilang kepada kalian untuk percaya kepadaku dan Theodora? Kalian lihat sendiri sekarang, betapa mesranya kami berdua."

Sang ibunda terkekeh. "Baiklah, Mama percaya sekarang."

Apa-apaan ini? Kepalaku mendongak dan kutatap dirinya sengit, namun seketika nyaliku surut, sebab sorot mata Xander lebih garang daripada mataku.

Ah, benar! Kesepakatan kami! Aku dan Xander harus terlihat mesra di depan kedua orang tuanya. Nyaris saja aku mengacaukan semuanya.

"Syukurlah, hubungan kalian baik-baik saja," sahut ayah Xander yang bahkan tak kuketahui namanya.

"Beres, Pa. Papa tak perlu mengkhawatirkan kami," timpal Xander sembari membelai rambutku. "Papa bisa lihat sendiri, istriku yang manis ini begitu tak ingin jauh-jauh dari suaminya."

Kedua orang tua Xander tertawa mendengar ocehan anaknya, sementara aku tak mampu berkutik sedikitpun. Menjauh salah, tapi kalau kami tetap berada di posisi sedekat ini semakin salah.

Sialan betul cowok satu ini! Terasa sekali dia mengambil kesempatan dalam kesempitan, pakai belai-belai segala. Belum lagi dia bilang aku tak ingin jauh darinya? Cih!

"Alright, kalian istirahat saja dulu. Jangan lupa, nanti malam kita dinner, ya. Kami tunggu di restoran," pesan ibu mertuaku sebelum mereka meninggalkan kamar kami.

Syukur! Terima kasih, Tuhan, akhirnya kedua orang tua Xander undur diri! Dan begitu mereka menghilang ....

"Stop pegang-pegang! Jangan modus kamu, ya." Kutarik diri menjauh dari suami gadunganku.

"Siapa pula yang berniat pegang-pegang? Justru kamu itu yang perlu diberi peringatan, nyaris saja rahasia kita terbongkar. Kamu ingin hukumanmu di-upgrade?" timpal Xander tak kalah pedas.

"Hah! Hukuman saja yang kau bicarakan. Memangnya kau ini guru BK?" Aku menggerutu atas sikapnya yang begitu kekanakan, dan hobi mengancam.

Selama beberapa menit aku menggerutu, tanpa mendapat sedikitpun tanggapan darinya. Ternyata Xander sedang memakan pisang sembari mengawasiku.

"Astaga! Apakah lelaki memang selalu tidak peka?" keluhku sembari mengusap dahi.

"Sudahlah, Theodora, tidak usah marah-marah," sahut Xander santai sembari mengupas kulit pisang lebih lanjut. "Lebih baik kau bersiap-siap, karena kamu akan dinner bersama ayah dan ibu mertuamu."

Astaga! Tadi ibu Xander menyebutkan tentang makan malam bersama kami. Waduh, gawat ini!

Baru memikirkannya saja sudah membuatku cemas, apalagi nanti saat kami makan bersama. Bisa diperkirakan mereka akan bertanya-tanya tentang hubunganku dan Xander, dan pastinya aku akan diinterogasi karena sudah kabur dari resepsi.

"Ngapain mondar-mandir kayak setrikaan gitu?" celetuk Xander. Karena cemas, tanpa sadar aku berjalan bolak balik di ruangan ini.

Aku tak menjawabnya, otakku masih terlalu tegang.

"Tidak perlu kamu khawatirkan kedua orang tuaku. Percayakan saja semuanya kepadaku, kalau mereka bertanya macam-macam, biar aku yang menjawab," imbuh Xander.

Langkahku terhenti, kutatap Xander untuk memastikan keseriusannya. Wajah tenangnya menyiratkan kesungguhan atas ucapannya. Ia menganggukkan kepalanya sekilas.

"Bersikaplah sewajarnya, jawab pertanyaan yang umum, selebihnya biar aku yang bicara. Dan tak soal seberapa besar kebencianmu kepadaku, simpan dulu, mari berdamai dan bersikap mesra di hadapan mereka," pesan Xander serius.

Aku menelan ludah, lalu mengangguk pasrah. Patut disyukuri pria itu tak menuntut hal yang berlebihan dariku.

Dan soal kebencian, sebenarnya aku tidak benar-benar membencinya. Entahlah, mungkin tak semudah itu bagiku untuk melupakan kelicikannya, tetapi seraya waktu berlalu aku menerima kenyataan bahwa Xander adalah suamiku.

Maka malam itu kami turun ke lantai dasar untuk makan malam di restoran hotel.

***

"Theodora sayang, kamu cantik sekali malam ini." Mama Xander menyapa dan memelukku dengan hangat.

Wanita itu memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku mengenakan dress satin warna abu-abu. Kubiarkan rambut hitamku tergerai, dan makeup tipis menyentuh ringan wajahku.

"Terima kasih, Mrs. Smith. Anda juga cantik," sahutku memujinya balik.

Mungkin ini terdengar seperti sebuah basa-basi, tetapi ibu mertuaku sungguh terlihat anggun mengenakan gaun berwarna biru navi yang berhasil menonjolkan warna kulitnya yang terang.

"Jangan panggil Mrs. Smith, panggil saja Daisy," protesnya dengan raut menggemaskan. "Tapi akan lebih bagus lagi, jika kamu memanggilku Mama."

Ah, rupanya nama ibu mertuaku adalah Daisy. Cocok sekali dengan pembawaannya yang ceria. Dan ayah mertuaku bernama Phillip.

"Baiklah ..., Mama," sahutku malu-malu. Lebih mudah bagiku untuk menyebutnya begitu, ketimbang namanya secara langsung.

Makan malam lezat tersaji di meja kami, dengan beef steak sebagai menu utamanya. Dan seperti kesan yang kudapatkan saat mereka mengunjungi kamar kami tadi siang, kedua mertuaku sangat baik dan ramah.

"Xander ini mungkin terkesan dingin, tapi sebenarnya dia anak yang berhati lembut, dan penyayang," tutur ibu mertuaku yang diamini oleh suaminya.

Kulirik Xander yang duduk tenang di sampingku sambil mengunyah makanannya. Nyaris tak terlihat, tetapi aku sempat menangkap ujung bibirnya menyunggingkan senyuman malu-malu, karena pujian orang tuanya.

Makanan di sini enak, dan obrolan kami menyenangkan. Kedua mertuaku sama sekali tak bertanya apalagi memarahiku karena kabur dari pesta pernikahan kami, padahal aku sudah bersiap untuk diomeli.

Malah pasangan ini terkesan sedang mempromosikan anak lelakinya kepadaku. Bisa kulihat mata ibu Xander yang berbinar-binar saat menceritakan banyak hal tentang putranya itu.

"Ada saat anak lelakiku ini sedikit nakal," imbuhnya dengan mata berkilat jenaka. "Laporkan kepadaku bila Xander menyakiti atau membuatmu menangis."

"Iya, Mama." Aku menyahut dengan perasaan sedikit rikuh. Hatiku tersentuh. Seharusnya aku yang dimarahi, dan Xander yang mengadu kepada ibunya, tetapi mertuaku itu malah memihakku.

Terima kasih, Tuhan!

Namun, permintaan ibu mertuaku selanjutnya membuatku kehilangan selera makan. "Mama berharap kamu bisa menerima dan menyayangi Xander apa adanya, Theodora. Jadilah teman, adik, serta pasangan yang selalu ada untuknya. Janji?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status