"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ...."
"Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.
Waduh!
Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?
"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.
Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu.
"Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."
Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.
Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istrinya yang badung.
"Jadi, bagaimana, Theodora? Kamu sanggup? Sanggup dong, kamu mencintai Xander 'kan, sayang?" Wanita berambut cokelat itu tersenyum lembut. Sorot matanya menunggu dengan penuh harap. Ia belum menyerah.
Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Yah, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin tetap bungkam, bila terus didesak seperti ini. Justru semakin cepat masalah ini dibicarakan dengan mereka akan semakin baik.
"Soal itu ...," ucapku hati-hati. Kulirik Xander yang juga tengah menatapku penuh antisipasi. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepercayaannya.
Kumantapkan hatiku untuk memberikan jawaban sebijaksana mungkin, tanpa perlu berdusta ataupun menyakiti pihak manapun.
"Kami baru memulainya, Ma, bahkan persiapannya begitu mendadak. Jadi ... biarkan kami menjalaninya mengalir apa adanya," jawabku diplomatis.
Kuhembuskan napas perlahan, sembari menilai suasana di sekitarku. Walaupun aku tak mampu mengiyakan permintaan ibu mertuaku, setidaknya jawabanku masih positif.
Xander dan kedua orang tuanya tak melepaskan pandangan mereka dariku sedari tadi. Bisa kulihat sekilas suamiku mengangguk puas, sementara reaksi dari mertuaku masih tertahan.
Hatiku sangat lega tatkala kulihat senyuman hangat mengembang di bibir ibu mertuaku. "Baiklah, Mama serahkan kebahagiaan Xander ke tanganmu, menantuku sayang," katanya dengan wajah berseri-seri.
Aku meringis tanpa bisa berkata iya atau tidak. Diriku sendiri saja masih belum yakin apakah hidupku akan bahagia bersamanya, eh, aku malah diminta untuk membahagiakan suami gadunganku.
"Mamaku tersayang," Xander kembali buka suara. "Mama tidak perlu khawatir. Kami berdua pasti bahagia, karena aku akan membahagiakan istriku. Dan kebahagiaan Theodora adalah kebahagiaanku."
Xander mengatakannya sembari melemparkan senyuman serta tatapan yang begitu mesra kepadaku, hingga jantungku mulai berdesir aneh.
"Lihatlah, honey. Theodora, tersipu malu," celetuk ayah mertuaku tiba-tiba. Sedari tadi pria itu hanya diam dan mengamati, tetapi sekali ia berucap dampaknya nggak kira-kira.
"Benar, honey," kekeh sang istri penuh semangat.
Waduh! Bahaya! Aku jadi salah tingkah dan mengipasi wajahku yang tiba-tiba panas.
"Oh, ya. Kamu adik Theodore bukan?" Ibu mertuaku tiba-tiba menyebutkan kakak lelakiku.
"Benar, Ma."
"Bagaimana kabarnya? Sekarang tinggal di mana dia?" tanyanya lagi penuh minat.
Kututurkan bahwa kakakku, Theodore, telah menikah, dan tinggal di kota lain bersama istri dan anaknya. Selama beberapa saat kami berbicara tentang kakakku.
Memang sebenarnya Xander bukanlah orang yang sama sekali asing. Jauh sebelum aku mengenalnya sebagai sepupu Alex, kami pernah bertemu di masa lalu. Ia adalah teman kakakku semasa kuliah dulu.
Kala itu aku diam-diam menyukainya, tetapi sebelum ada kemajuan apapun pria itu menghilang. Dan perjumpaan kami kembali sebulan lalu cukup mengagetkan, apalagi penampilan Xander sekarang sangat berbeda dari saat kuliah dulu.
"Mama dengar, kalian pernah naksir-naksiran, ya, bahkan Xander itu cinta pertamamu. Betul begitu, sayang?" Suara ibu mertuaku menyadarkanku dari lamunan.
Mataku seketika melotot sempurna, akibat ucapan tak terduga itu. Gawat! Mengapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul?
"Eh, itu ... anu ... ahahahaha." Aku gelagapan, dan tak sanggup membentuk kalimatku, hingga akhirnya aku hanya bisa tertawa canggung.
Ibu Xander semakin bersemangat menggodaku, sedangkan Xander menatapku dengan senyuman misterius yang membuatku semakin salah tingkah.
Putus asa karena terpojok dan bahkan untuk menjerit pun aku tak bisa, tanganku secara spontan bergerak ke bawah meja dan mencubit paha Xander sebagai pelampiasan.
Ini benar-benar berbeda dari janjinya tadi, katanya ia akan membelaku, tetapi sekarang Xander malah ikut merundung istrinya sendiri?
"Theodora!" Pria itu meringis kesakitan, tetapi matanya berkilat kesenangan, hingga aku gemas dan mengulangi cubitan itu sekali lagi.
"Sekarang mereka malah cubit-cubitan di bawah meja," seru ibu mertuaku bersemangat. Wanita itu bertepuk tangan heboh, hingga orang-orang memandang kami.
Waduh! Situasi malah semakin gawat. Malu-malu kutarik tanganku, tapi tangan Xander bergerak lebih cepat dan berhasil menggenggamnya.
Aku memprotes dengan mataku, tetapi pria itu malah tersenyum culas.
"Mama, Theodora ini love language-nya memang physical touch seperti ini, Ma, sedikit menganiaya, tapi menggoda. Mama sudah lihat sendiri 'kan tadi siang. Tenang saja, Ma, sebelum pahaku membiru, hatiku sudah lebih dahulu mengharu biru."
Apa lagi ini? Ucapan pria ini membuat emosiku campur aduk hingga aku speechless.
Ibu mertuaku terkekeh. "Kalau kamu sendiri, apa love language-mu, Nak?"
"Aku, Ma? Sudah jelas dong ... membalas love language istriku dengan lebih mesra," jawabnya kalem.
Lantas tanpa aba-aba Xander menarik tanganku agar mendekat ke bibirnya, dan mendaratkan satu kecupan di sana.
Tidak! Kutarik paksa tanganku, kali ini Xander tak menahannya lebih lama. Segera kututupi mukaku, bisa kurasakan permukaannya yang memanas. Hukuman macam inikah yang Xander maksudkan?
"Kalian berdua lucu sekali, sih? Di depan kami saja kalian bisa semesra ini, apalagi saat kalian hanya berdua ...."
'Oh, tidaaaak!' jeritku dalam hati. Saat ini aku berharap bisa menjadi kapal Titanic, dan tenggelam di laut, agar tak perlu menunjukkan mukaku di hadapan mertuaku.
Kesal, malu, tak tahu harus bagaimana lagi. Setidaknya untuk malam ini akting mesra kami sudah lebih dari cukup, karena kedua orang tuanya sudah berhasil diyakinkan.
Satu hal yang jelas, aku memiliki mertua yang sangat baik, meskipun aku tak tahu berapa lama pernikahan ini akan bertahan.
"Terima kasih, sayang. Mama senang kamu menjadi menantu Mama. Kami berdoa untuk kebahagiaan kalian," pesan ibu mertuaku sebelum akhirnya kami berpisah karena malam semakin larut.
"Terima kasih, Ma," sahutku singkat sembari membalas pelukannya. Dalam hati aku bersyukur, mama mertuaku tak menyampaikan pesan agar kami cepat memiliki anak. Horor!
Setelah sampai di hotel, satu hal yang kupikirkan hanyalah segera tidur. Baru siang ini kami tiba di sini setelah melalui perjalanan selama berjam-jam, dan sama sekali belum beristirahat.
"Ah, capeknya," desahku sembari tersenyum ke arah ranjang nyaman yang telah dirapikan kembali oleh petugas hotel.
Sayangnya aku tak bisa segera menuntaskan kantukku. Sebelum aku mencapai ranjang, Xander telah terlebih dahulu melempar tubuhnya sendiri ke atas tempat tidur empuk itu.
Mataku melotot, senyumanku menghilang. Astaga! Aku nyaris lupa dengan permasalahan ranjang ini.
"Xander, tolong, aku tak ingin ribut. Biarkan aku tidur di ranjang malam ini, aku sangat lelah," ucapku antara memohon dan memaksa.
Namun, pria itu tak berniat untuk berpindah tempat.
Dengan tatapan mesra dan suara yang begitu dalam, pria itu berkata kepadaku, "Kenapa, Theodora? Kau bisa menyerangku lagi, kok. Ayolah, kita lanjutkan yang tadi siang, sampai tuntas."
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S