Share

05. Mertua yang Baik

"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ...."

"Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.

Waduh!

Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?

"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.

Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu.

"Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."

Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.

Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istrinya yang badung.

"Jadi, bagaimana, Theodora? Kamu sanggup? Sanggup dong, kamu mencintai Xander 'kan, sayang?" Wanita berambut cokelat itu tersenyum lembut. Sorot matanya menunggu dengan penuh harap. Ia belum menyerah.

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Yah, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin tetap bungkam, bila terus didesak seperti ini. Justru semakin cepat masalah ini dibicarakan dengan mereka akan semakin baik.

"Soal itu ...," ucapku hati-hati. Kulirik Xander yang juga tengah menatapku penuh antisipasi. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepercayaannya.

Kumantapkan hatiku untuk memberikan jawaban sebijaksana mungkin, tanpa perlu berdusta ataupun menyakiti pihak manapun.

"Kami baru memulainya, Ma, bahkan persiapannya begitu mendadak. Jadi ... biarkan kami menjalaninya mengalir apa adanya," jawabku diplomatis.

Kuhembuskan napas perlahan, sembari menilai suasana di sekitarku. Walaupun aku tak mampu mengiyakan permintaan ibu mertuaku, setidaknya jawabanku masih positif.

Xander dan kedua orang tuanya tak melepaskan pandangan mereka dariku sedari tadi. Bisa kulihat sekilas suamiku mengangguk puas, sementara reaksi dari mertuaku masih tertahan.

Hatiku sangat lega tatkala kulihat senyuman hangat mengembang di bibir ibu mertuaku. "Baiklah, Mama serahkan kebahagiaan Xander ke tanganmu, menantuku sayang," katanya dengan wajah berseri-seri.

Aku meringis tanpa bisa berkata iya atau tidak. Diriku sendiri saja masih belum yakin apakah hidupku akan bahagia bersamanya, eh, aku malah diminta untuk membahagiakan suami gadunganku.

"Mamaku tersayang," Xander kembali buka suara. "Mama tidak perlu khawatir. Kami berdua pasti bahagia, karena aku akan membahagiakan istriku. Dan kebahagiaan Theodora adalah kebahagiaanku."

Xander mengatakannya sembari melemparkan senyuman serta tatapan yang begitu mesra kepadaku, hingga jantungku mulai berdesir aneh.

"Lihatlah, honey. Theodora, tersipu malu," celetuk ayah mertuaku tiba-tiba. Sedari tadi pria itu hanya diam dan mengamati, tetapi sekali ia berucap dampaknya nggak kira-kira.

"Benar, honey," kekeh sang istri penuh semangat.

Waduh! Bahaya! Aku jadi salah tingkah dan mengipasi wajahku yang tiba-tiba panas.

"Oh, ya. Kamu adik Theodore bukan?" Ibu mertuaku tiba-tiba menyebutkan kakak lelakiku.

"Benar, Ma."

"Bagaimana kabarnya? Sekarang tinggal di mana dia?" tanyanya lagi penuh minat.

Kututurkan bahwa kakakku, Theodore, telah menikah, dan tinggal di kota lain bersama istri dan anaknya. Selama beberapa saat kami berbicara tentang kakakku.

Memang sebenarnya Xander bukanlah orang yang sama sekali asing. Jauh sebelum aku mengenalnya sebagai sepupu Alex, kami pernah bertemu di masa lalu. Ia adalah teman kakakku semasa kuliah dulu.

Kala itu aku diam-diam menyukainya, tetapi sebelum ada kemajuan apapun pria itu menghilang. Dan perjumpaan kami kembali sebulan lalu cukup mengagetkan, apalagi penampilan Xander sekarang sangat berbeda dari saat kuliah dulu.

"Mama dengar, kalian pernah naksir-naksiran, ya, bahkan Xander itu cinta pertamamu. Betul begitu, sayang?" Suara ibu mertuaku menyadarkanku dari lamunan.

Mataku seketika melotot sempurna, akibat ucapan tak terduga itu. Gawat! Mengapa pertanyaan ini tiba-tiba muncul?

"Eh, itu ... anu ... ahahahaha." Aku gelagapan, dan tak sanggup membentuk kalimatku, hingga akhirnya aku hanya bisa tertawa canggung.

Ibu Xander semakin bersemangat menggodaku, sedangkan Xander menatapku dengan senyuman misterius yang membuatku semakin salah tingkah.

Putus asa karena terpojok dan bahkan untuk menjerit pun aku tak bisa, tanganku secara spontan bergerak ke bawah meja dan mencubit paha Xander sebagai pelampiasan.

Ini benar-benar berbeda dari janjinya tadi, katanya ia akan membelaku, tetapi sekarang Xander malah ikut merundung istrinya sendiri?

"Theodora!" Pria itu meringis kesakitan, tetapi matanya berkilat kesenangan, hingga aku gemas dan mengulangi cubitan itu sekali lagi.

"Sekarang mereka malah cubit-cubitan di bawah meja," seru ibu mertuaku bersemangat. Wanita itu bertepuk tangan heboh, hingga orang-orang memandang kami.

Waduh! Situasi malah semakin gawat. Malu-malu kutarik tanganku, tapi tangan Xander bergerak lebih cepat dan berhasil menggenggamnya.

Aku memprotes dengan mataku, tetapi pria itu malah tersenyum culas.

"Mama, Theodora ini love language-nya memang physical touch seperti ini, Ma, sedikit menganiaya, tapi menggoda. Mama sudah lihat sendiri 'kan tadi siang. Tenang saja, Ma, sebelum pahaku membiru, hatiku sudah lebih dahulu mengharu biru."

Apa lagi ini? Ucapan pria ini membuat emosiku campur aduk hingga aku speechless.

Ibu mertuaku terkekeh. "Kalau kamu sendiri, apa love language-mu, Nak?"

"Aku, Ma? Sudah jelas dong ... membalas love language istriku dengan lebih mesra," jawabnya kalem.

Lantas tanpa aba-aba Xander menarik tanganku agar mendekat ke bibirnya, dan mendaratkan satu kecupan di sana.

Tidak! Kutarik paksa tanganku, kali ini Xander tak menahannya lebih lama. Segera kututupi mukaku, bisa kurasakan permukaannya yang memanas. Hukuman macam inikah yang Xander maksudkan?

"Kalian berdua lucu sekali, sih? Di depan kami saja kalian bisa semesra ini, apalagi saat kalian hanya berdua ...."

'Oh, tidaaaak!' jeritku dalam hati. Saat ini aku berharap bisa menjadi kapal Titanic, dan tenggelam di laut, agar tak perlu menunjukkan mukaku di hadapan mertuaku.

Kesal, malu, tak tahu harus bagaimana lagi. Setidaknya untuk malam ini akting mesra kami sudah lebih dari cukup, karena kedua orang tuanya sudah berhasil diyakinkan.

Satu hal yang jelas, aku memiliki mertua yang sangat baik, meskipun aku tak tahu berapa lama pernikahan ini akan bertahan.

"Terima kasih, sayang. Mama senang kamu menjadi menantu Mama. Kami berdoa untuk kebahagiaan kalian," pesan ibu mertuaku sebelum akhirnya kami berpisah karena malam semakin larut.

"Terima kasih, Ma," sahutku singkat sembari membalas pelukannya. Dalam hati aku bersyukur, mama mertuaku tak menyampaikan pesan agar kami cepat memiliki anak. Horor!

Setelah sampai di hotel, satu hal yang kupikirkan hanyalah segera tidur. Baru siang ini kami tiba di sini setelah melalui perjalanan selama berjam-jam, dan sama sekali belum beristirahat.

"Ah, capeknya," desahku sembari tersenyum ke arah ranjang nyaman yang telah dirapikan kembali oleh petugas hotel.

Sayangnya aku tak bisa segera menuntaskan kantukku. Sebelum aku mencapai ranjang, Xander telah terlebih dahulu melempar tubuhnya sendiri ke atas tempat tidur empuk itu.

Mataku melotot, senyumanku menghilang. Astaga! Aku nyaris lupa dengan permasalahan ranjang ini.

"Xander, tolong, aku tak ingin ribut. Biarkan aku tidur di ranjang malam ini, aku sangat lelah," ucapku antara memohon dan memaksa.

Namun, pria itu tak berniat untuk berpindah tempat.

Dengan tatapan mesra dan suara yang begitu dalam, pria itu berkata kepadaku, "Kenapa, Theodora? Kau bisa menyerangku lagi, kok. Ayolah, kita lanjutkan yang tadi siang, sampai tuntas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status