Share

07. Gara-gara si Pirang

"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.

Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain.

"Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.

Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.

Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!

"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa.

"Tapi ...."

"Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.

Hiiiih! Gemaasss! Malangnya, aku tak bisa membalasnya lagi. Ketika dia bisa menggodaku tanpa merasakan apapun, hatiku justru dibuat amburadul.

Begitulah Xander, padahal di depan orang lain dia bisa terlihat baik dan keren. Ibunya memuji-muji dia, sedangkan ibuku memujanya. Sementara wanita lain terpesona memandangnya, istrinya sendiri malah di-bully.

Selama liburan di Makarelia sini, aku harus siap menjadi bahan ledekannya, ditambah merasakan panas hati berkat perhatian perempuan lain kepadanya.

Sapaan ringan seperti, "Hai!" hingga ajakan untuk berkenalan dari perempuan yang lebih berani sudah beberapa kusaksikan selama ini.

Malah mereka seakan tak melihat keberadaanku di dekat suamiku. Mereka pikir aku ini cuma pajangan?

Pernah sekali ada seorang wanita yang begitu terang-terangan menggoda Xander di hadapanku.

"Hai, handsome! Sendirian, ya?" tegurnya kala itu. Sudah jelas ia menyapa Xander, tak mungkin dia menyebutku tampan.

Penampilan wanita itu menarik. Bodi oke, rambut pirang, dan mengenakan bikini berwarna pink mencolok berdiri. Kebetulan siang itu kami sedang berjemur di dekat pantai.

"Hai!" Xander membalas sapaannya ramah. "Aku bersama istriku."

"Oh," sahut si gadis singkat.

Tanpa sadar seulas senyum mengembang di bibirku. Biarpun Xander kadang seperti preman, aku bersyukur ia tidak genit-genitan dengan wanita lain, bahkan mengakuiku sebagai istrinya.

Namun, wanita tadi memang berkulit tebal. Pengakuan Xander sebagai pria beristri tak lantas menyurutkan niatnya untuk mencari perhatian dari sang Adam.

"Sepertinya kau kesulitan mengenakan sunblock-mu. Berikan saja kepadaku, biar aku mengoleskannya di punggungmu," ucapnya kelewat berani.

Aku yang tengah nyaman berbaring di kursi malas sontak terduduk, dan mengarahkan perhatian ke perempuan tadi.

Kulihat Xander tersenyum kepadanya. Tangannya memegang botol tabir surya. Kemeja yang dikenakannya telah dilepaskan. Secara otomatis pahatan di perut dan dadanya terpampang nyata. Dasar pamer!

Tercium indikasi Xander tak berniat menolak, sementara si pirang sudah bersiap mengambil sunblock tadi dari tangan suamiku.

"Stop!" teriakku tanpa pikir panjang. "Biar aku saja yang mengoleskannya, sayang."

Baik Xander maupun perempuan tadi terperangah atas reaksiku. Setengah mati aku menahan malu, tetapi masih bisa memaksakan diri untuk tersenyum cool.

"Oke, sayang," timpal Xander seraya ia menyerahkan botol krim itu kepadaku. Tanpa kusuruh Xander segera berbaring tengkurap.

Sekilas wajah si pirang berubah mendung. Haha, aku senang! Enak saja dia, mau menggoda suami orang!

"Tenang saja, sayang. Aku tidak akan membiarkan ultraviolet melukai punggung suamiku tercinta ini," ujarku sembari mengoleskan tabir surya ke punggung Xander.

Aku berakting selama beberapa waktu, mengelus-elus punggung Xander, memijatnya pelan sambil mengoceh tidak jelas, sebab si pirang masih enggan meninggalkan kami.

Menyebalkan sekali wanita itu, benar-benar berkulit badak! Sesekali aku meliriknya tajam dengan harapan ia mundur. Capek juga berpura-pura mesra begini.

Beruntung dari kejauhan kawan si pirang memanggilnya, dan ia terpaksa pergi. Lalu ....

"Plak!"

"Aduh! Kenapa kau memukulku?" Xander memprotes tindakanku.

"Ah, ditabok doang, nggak sampai pingsan juga," sahutku, menjauh dari Xander dan kembali ke kursi malasku. Kudengar dirinya menggerutu.

Sebenarnya pukulanku di punggung Xander tak begitu keras, hanya saja bunyi yang ditimbulkan cukup nyaring. Habisnya tingkah Xander menyebalkan, pakai acara mendesah segala, padahal cuma diolesi tabur surya. Jadi kutabok saja.

"Kau pasti cemburu gara-gara perempuan tadi," tuduh Xander dengan kepercayaan diri yang kembali muncul.

"Enak saja!" sangkalku cepat.

"Alah, ngaku saja!"

"Aku 'kan cuma akting, melindungi suamiku dari godaan wanita lain. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau adalah pria berprinsip, tidak akan melirik wanita lain selain istrimu? Mengapa kau biarkan si pirang mendekatimu?"

Aku balik menyalahkan Xander. Pria itu tersenyum malu-malu, dan tak menyahut lagi.

Kadang sikap Xander memang menguji kesabaran, tetapi kalau dilihat sisi baiknya, ia adalah teman berwisata yang baik, dan pastinya royal.

Namun, suatu siang Xander mengatakan ia tak bisa menemaniku jalan-jalan kali ini, sebab ada urusan bisnis mendadak.

"Kalau kamu bosan di kamar, kamu bisa jalan-jalan saja di sekitar hotel. Makan di restoran, atau belanja baju di butik, paling jauh di taman, pokoknya jangan keluar dari area hotel," pesannya kepadaku sebelum menemui koleganya.

"Iya, iya, cerewet banget, kayak kakek-kakek. Aku sudah paham daerah sini, tahu!" sahutku menanggapi kebawelannya.

Sesaat aku senang, akhirnya aku bisa sendirian, menikmati kebebasan tanpa suami.

Kakiku melangkah ke manapun aku mau, melihat taman bunga di samping hotel, membeli gelato, dan berjalan lagi, sampai tak sadar aku berada di area di luar hotel yang belum pernah kukunjungi dengan Xander.

"Wah, tempat ini keren juga!" seruku menyaksikan pemandangan di sekitarku. Ada taman asri, serta beberapa gazebo untuk berteduh dari teriknya mentari.

Tak jauh dari situ ada kolam renang dengan air yang begitu jernih. Langsung saja aku melangkah ke sana.

"Xander pasti senang kalau melihat tempat ini." Aku berjongkok dan merasakan sejuknya air di kolam itu dengan tanganku. Entah mengapa aku langsung teringat dengan Xander yang ahli berenang.

Selama beberapa saat aku bermain air di tepi kolam. Kemudian dari ujung kolam tampak dua orang wanita berjalan ke arahku. Mereka ngobrol begitu asyik.

Aku berdiri, dan kembali melangkah, tak sadar malah mendekati mereka. Saat mereka semakin dekat, aku teringat bahwa aku mengenal salah seorang dari mereka: si pirang genit.

"Hahaha. Harusnya kemarin kau tunjukkan pesonamu, Anna, si ganteng pasti tergoda." Temannya berseru tanpa sungkan, bahkan mereka menatapku dengan sikap bermusuhan.

Kuduga mereka sedang membicarakan Xander. Perasaanku langsung tak enak. Bisa kutangkap tatapan sengit mereka.

"Kita beri pelajaran saja," kata si pirang ketika kami berpapasan, kemudian dia menyikutku cukup keras. Tak siap menerima dorongannya, tubuhku tercebur ke kolam renang.

"Hahaha. Rasain!" Tawa kedua perempuan itu masih sempat kudengar. Kakiku mencari dasar kolam, tetapi gagal. Air kolam itu ternyata dalam, dan ... aku tidak bisa berenang.

Aku menggelepar putus asa, berupaya menjaga kepalaku tetap berada di permukaan air, tapi gagal.  Aku tak tahu berapa lama aku sanggup menahan napas, sesekali mulutku menelan air.

Dalam otakku terlintas pikiran bahwa hari ini akan menjadi hari kematianku. 'Ayah, Ibu, maafkan aku,' jerit hatiku penuh penyesalan.

Lantas seperti sebuah keajaiban tubuhku terangkat, wajahku bisa merasakan lagi sentuhan udara serta panasnya matahari. Aku bernapas megap-megap.

Seseorang menyeretku keluar dari air, mengangkat, dan mendorongku, hingga tubuhku mendarat di tepi kolam.

"Theodora ..., kamu benar-benar menguji kesabaranku," seru sang penyelamat.

Entah kapan datangnya, Xander telah berada di sini, menceburkan dirinya ke kolam demi menyelamatkan istri abal-abalnya yang suka melawan.

"Xandeeer!" pekikku kaget. Pria itu menarik dan memanggul tubuhku di pundaknya seperti karung beras. Ini penghinaan, tetapi aku tak kuasa membebaskan diri.

Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kami, Xander bergegas membawaku ke hotel, menuju kamar kami. Dihempaskannya tubuhku ke atas ranjang.

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak pergi ke luar area hotel? Kapan kau akan menganggapku sebagai suami, dan mengikuti perkataanku, Theodora?"

Xander marah! Nada suaranya sama sekali tak ramah, raut mukanya menyeramkan. Aku ketakutan, dan beringsut mundur hingga mencapai kepala ranjang.

Barulah kusadari betapa kusut penampilan Xander; pakaiannya basah kuyup, rambutnya berantakan, tetapi yang paling menonjol adalah kegeraman di wajahnya. Terbersit perasaan bersalah dalam diriku, tetapi bibirku seakan terkunci.

Lantas tangannya bergerak cepat, melepaskan kancing kemejanya satu persatu, dan baju basah itu dilepaskan dari tubuhnya. Kini tak ada lagi kain yang menutupi tubuh bagian atasnya.

Aduhai! Aku terpesona, tapi hanya untuk sesaat. Mataku terbelalak sewaktu Xander melangkah cepat menuju ranjang. Badannya yang kekar dan tinggi membuatku gentar.

"Jangan macam-macam, Xander!" teriakku dengan suara gemetar.

Tinggal selangkah lagi Xander mencapaiku. Dengan geram ia berkata, "Kau harus dihukum, Theodora!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status