"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.
Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain.
"Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.
Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.
Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!
"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa.
"Tapi ...."
"Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.
Hiiiih! Gemaasss! Malangnya, aku tak bisa membalasnya lagi. Ketika dia bisa menggodaku tanpa merasakan apapun, hatiku justru dibuat amburadul.
Begitulah Xander, padahal di depan orang lain dia bisa terlihat baik dan keren. Ibunya memuji-muji dia, sedangkan ibuku memujanya. Sementara wanita lain terpesona memandangnya, istrinya sendiri malah di-bully.
Selama liburan di Makarelia sini, aku harus siap menjadi bahan ledekannya, ditambah merasakan panas hati berkat perhatian perempuan lain kepadanya.
Sapaan ringan seperti, "Hai!" hingga ajakan untuk berkenalan dari perempuan yang lebih berani sudah beberapa kusaksikan selama ini.
Malah mereka seakan tak melihat keberadaanku di dekat suamiku. Mereka pikir aku ini cuma pajangan?
Pernah sekali ada seorang wanita yang begitu terang-terangan menggoda Xander di hadapanku.
"Hai, handsome! Sendirian, ya?" tegurnya kala itu. Sudah jelas ia menyapa Xander, tak mungkin dia menyebutku tampan.
Penampilan wanita itu menarik. Bodi oke, rambut pirang, dan mengenakan bikini berwarna pink mencolok berdiri. Kebetulan siang itu kami sedang berjemur di dekat pantai.
"Hai!" Xander membalas sapaannya ramah. "Aku bersama istriku."
"Oh," sahut si gadis singkat.
Tanpa sadar seulas senyum mengembang di bibirku. Biarpun Xander kadang seperti preman, aku bersyukur ia tidak genit-genitan dengan wanita lain, bahkan mengakuiku sebagai istrinya.
Namun, wanita tadi memang berkulit tebal. Pengakuan Xander sebagai pria beristri tak lantas menyurutkan niatnya untuk mencari perhatian dari sang Adam.
"Sepertinya kau kesulitan mengenakan sunblock-mu. Berikan saja kepadaku, biar aku mengoleskannya di punggungmu," ucapnya kelewat berani.
Aku yang tengah nyaman berbaring di kursi malas sontak terduduk, dan mengarahkan perhatian ke perempuan tadi.
Kulihat Xander tersenyum kepadanya. Tangannya memegang botol tabir surya. Kemeja yang dikenakannya telah dilepaskan. Secara otomatis pahatan di perut dan dadanya terpampang nyata. Dasar pamer!
Tercium indikasi Xander tak berniat menolak, sementara si pirang sudah bersiap mengambil sunblock tadi dari tangan suamiku.
"Stop!" teriakku tanpa pikir panjang. "Biar aku saja yang mengoleskannya, sayang."
Baik Xander maupun perempuan tadi terperangah atas reaksiku. Setengah mati aku menahan malu, tetapi masih bisa memaksakan diri untuk tersenyum cool.
"Oke, sayang," timpal Xander seraya ia menyerahkan botol krim itu kepadaku. Tanpa kusuruh Xander segera berbaring tengkurap.
Sekilas wajah si pirang berubah mendung. Haha, aku senang! Enak saja dia, mau menggoda suami orang!
"Tenang saja, sayang. Aku tidak akan membiarkan ultraviolet melukai punggung suamiku tercinta ini," ujarku sembari mengoleskan tabir surya ke punggung Xander.
Aku berakting selama beberapa waktu, mengelus-elus punggung Xander, memijatnya pelan sambil mengoceh tidak jelas, sebab si pirang masih enggan meninggalkan kami.
Menyebalkan sekali wanita itu, benar-benar berkulit badak! Sesekali aku meliriknya tajam dengan harapan ia mundur. Capek juga berpura-pura mesra begini.
Beruntung dari kejauhan kawan si pirang memanggilnya, dan ia terpaksa pergi. Lalu ....
"Plak!"
"Aduh! Kenapa kau memukulku?" Xander memprotes tindakanku.
"Ah, ditabok doang, nggak sampai pingsan juga," sahutku, menjauh dari Xander dan kembali ke kursi malasku. Kudengar dirinya menggerutu.
Sebenarnya pukulanku di punggung Xander tak begitu keras, hanya saja bunyi yang ditimbulkan cukup nyaring. Habisnya tingkah Xander menyebalkan, pakai acara mendesah segala, padahal cuma diolesi tabur surya. Jadi kutabok saja.
"Kau pasti cemburu gara-gara perempuan tadi," tuduh Xander dengan kepercayaan diri yang kembali muncul.
"Enak saja!" sangkalku cepat.
"Alah, ngaku saja!"
"Aku 'kan cuma akting, melindungi suamiku dari godaan wanita lain. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau adalah pria berprinsip, tidak akan melirik wanita lain selain istrimu? Mengapa kau biarkan si pirang mendekatimu?"
Aku balik menyalahkan Xander. Pria itu tersenyum malu-malu, dan tak menyahut lagi.
Kadang sikap Xander memang menguji kesabaran, tetapi kalau dilihat sisi baiknya, ia adalah teman berwisata yang baik, dan pastinya royal.
Namun, suatu siang Xander mengatakan ia tak bisa menemaniku jalan-jalan kali ini, sebab ada urusan bisnis mendadak.
"Kalau kamu bosan di kamar, kamu bisa jalan-jalan saja di sekitar hotel. Makan di restoran, atau belanja baju di butik, paling jauh di taman, pokoknya jangan keluar dari area hotel," pesannya kepadaku sebelum menemui koleganya.
"Iya, iya, cerewet banget, kayak kakek-kakek. Aku sudah paham daerah sini, tahu!" sahutku menanggapi kebawelannya.
Sesaat aku senang, akhirnya aku bisa sendirian, menikmati kebebasan tanpa suami.
Kakiku melangkah ke manapun aku mau, melihat taman bunga di samping hotel, membeli gelato, dan berjalan lagi, sampai tak sadar aku berada di area di luar hotel yang belum pernah kukunjungi dengan Xander.
"Wah, tempat ini keren juga!" seruku menyaksikan pemandangan di sekitarku. Ada taman asri, serta beberapa gazebo untuk berteduh dari teriknya mentari.
Tak jauh dari situ ada kolam renang dengan air yang begitu jernih. Langsung saja aku melangkah ke sana.
"Xander pasti senang kalau melihat tempat ini." Aku berjongkok dan merasakan sejuknya air di kolam itu dengan tanganku. Entah mengapa aku langsung teringat dengan Xander yang ahli berenang.
Selama beberapa saat aku bermain air di tepi kolam. Kemudian dari ujung kolam tampak dua orang wanita berjalan ke arahku. Mereka ngobrol begitu asyik.
Aku berdiri, dan kembali melangkah, tak sadar malah mendekati mereka. Saat mereka semakin dekat, aku teringat bahwa aku mengenal salah seorang dari mereka: si pirang genit.
"Hahaha. Harusnya kemarin kau tunjukkan pesonamu, Anna, si ganteng pasti tergoda." Temannya berseru tanpa sungkan, bahkan mereka menatapku dengan sikap bermusuhan.
Kuduga mereka sedang membicarakan Xander. Perasaanku langsung tak enak. Bisa kutangkap tatapan sengit mereka.
"Kita beri pelajaran saja," kata si pirang ketika kami berpapasan, kemudian dia menyikutku cukup keras. Tak siap menerima dorongannya, tubuhku tercebur ke kolam renang.
"Hahaha. Rasain!" Tawa kedua perempuan itu masih sempat kudengar. Kakiku mencari dasar kolam, tetapi gagal. Air kolam itu ternyata dalam, dan ... aku tidak bisa berenang.
Aku menggelepar putus asa, berupaya menjaga kepalaku tetap berada di permukaan air, tapi gagal. Aku tak tahu berapa lama aku sanggup menahan napas, sesekali mulutku menelan air.
Dalam otakku terlintas pikiran bahwa hari ini akan menjadi hari kematianku. 'Ayah, Ibu, maafkan aku,' jerit hatiku penuh penyesalan.
Lantas seperti sebuah keajaiban tubuhku terangkat, wajahku bisa merasakan lagi sentuhan udara serta panasnya matahari. Aku bernapas megap-megap.
Seseorang menyeretku keluar dari air, mengangkat, dan mendorongku, hingga tubuhku mendarat di tepi kolam.
"Theodora ..., kamu benar-benar menguji kesabaranku," seru sang penyelamat.
Entah kapan datangnya, Xander telah berada di sini, menceburkan dirinya ke kolam demi menyelamatkan istri abal-abalnya yang suka melawan.
"Xandeeer!" pekikku kaget. Pria itu menarik dan memanggul tubuhku di pundaknya seperti karung beras. Ini penghinaan, tetapi aku tak kuasa membebaskan diri.
Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kami, Xander bergegas membawaku ke hotel, menuju kamar kami. Dihempaskannya tubuhku ke atas ranjang.
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak pergi ke luar area hotel? Kapan kau akan menganggapku sebagai suami, dan mengikuti perkataanku, Theodora?"
Xander marah! Nada suaranya sama sekali tak ramah, raut mukanya menyeramkan. Aku ketakutan, dan beringsut mundur hingga mencapai kepala ranjang.
Barulah kusadari betapa kusut penampilan Xander; pakaiannya basah kuyup, rambutnya berantakan, tetapi yang paling menonjol adalah kegeraman di wajahnya. Terbersit perasaan bersalah dalam diriku, tetapi bibirku seakan terkunci.
Lantas tangannya bergerak cepat, melepaskan kancing kemejanya satu persatu, dan baju basah itu dilepaskan dari tubuhnya. Kini tak ada lagi kain yang menutupi tubuh bagian atasnya.
Aduhai! Aku terpesona, tapi hanya untuk sesaat. Mataku terbelalak sewaktu Xander melangkah cepat menuju ranjang. Badannya yang kekar dan tinggi membuatku gentar.
"Jangan macam-macam, Xander!" teriakku dengan suara gemetar.
Tinggal selangkah lagi Xander mencapaiku. Dengan geram ia berkata, "Kau harus dihukum, Theodora!"
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.
"Bagaimana bisa begini? Xander, kamu tidak bermaksud modusin aku, 'kan?" Berulang-ulang kuperiksa pintu yang Xander tunjuk. Rupanya itu adalah pintu yang menghubungkan kedua kamar tidur di lantai dua rumah ini. Dengan demikian baik Xander maupun aku bisa mengakses kamar kami masing-masing tanpa hambatan, sebab pintunya bisa ditutup, tapi tidak memiliki kunci sama sekali. "Modus apaan? Jangan ke-geer-an, Theodora," sahutnya dengan suara masam. "Buktinya pintu ini ada biar kamu bebas masuk kamarku dengan leluasa. Ngaku sajalah, Xander, kamu ingin menjadi penguasa rumah ini, 'kan?" tuduhku sembari menudingkan jari telunjukku ke arah Xander. Pria itu mengetatkan rahangnya, dan kedua tangannya mengepal, tanda ia tengah menahan emosi. Saat itu barulah aku menyadari, seharusnya aku menahan lidahnya, dan tak semudah itu menuduhnya, meskipun katakanlah ia memang bermaksud begitu. Namun, sepertinya Xander terlanjur tersinggung. "Memangnya kenapa kalau aku ingin menjadi penguasa rumah ini?
"Ada perempuan yang kausukai di sini?" celetukku spontan. Ups! Keceplosan lagi! Mulutku ini benar-benar harus dikarantina, atau dibawa ke pertapaan dulu biar insyaf, dan nggak asal jeplak. Mataku mendelik, dan tangan kiriku memukul pelan mulutku beberapa kali. Bagaimana bisa aku bertanya hal semacam ini kepada suamiku sendiri? Istri aneh! Seharusnya aku mengikuti kata-kata ibu mertuaku: tutup mulut dan makan saja. Barangkali aku memang kurang waras, tetapi aku langsung berpikiran negatif bahwa penyebab Xander memilih untuk tinggal di rumah kecil ini ialah adanya seseorang yang disukainya. "Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang kusukai di sini? Kau cemburu?" Ia bertanya balik tanpa mengalihkan perhatian dari santapan malamnya. Pria ini memang tak bisa ditebak, aku tak pernah tahu kapan ia akan tersinggung, atau cuek menanggapi situasi atau pernyataan yang dilontarkan kepadanya. "Aku hanya menduga saja, toh hubungan kita bukan layaknya suami istri pada umumnya. Kau pun tak menc
"Bianca cantik ...! Ke mari, sayang ...!" Mulutku melongo saat menyaksikan sosok itu berjalan dengan begitu anggun, tapi cuek, bak seorang aristokrat. Xander bahkan memanggilnya dengan suara yang begitu manis. Yah, padahal aku sudah mengantisipasi kalau-kalau diriku mendadak pingsan, karena tak sanggup menyaksikan Xander bermanja-manja dengan perempuan lain, eh, ternyata yang datang hanyalah seekor kucing. Benar, Bianca adalah seekor kucing lokal berbulu oranye dengan aksen putih. Sekilas wajahnya innocent, manis, tetapi jangan salah, dia ini kucing berbulu serigala, eh, bukan, kucing berbulu domba. "Bianca nakal, ya, kamu!" Xander mengungkapkan kegemasannya terhadap si kucing yang baru saja menggigitnya. Kucing oren tetaplah oren, wajahnya saja sok polos, kelakuannya bikin tobat! Padahal tadi Bianca berjalan dengan begitu anggun, lalu berlari antusias ke arah Xander setelah dipanggil, eh tahu-tahu ungkapan cintanya ditunjukkan melalui gigitan. "Sakit nggak?" tanyaku keheranan. S
"Selamat, Nyonya Xander! Anda telah memiliki saingan dalam merebut hati suami Anda! Hahaha." Judith tertawa mengejekku dengan begitu puasnya. Dua pekan semenjak pulang dari Makarelia, akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengan sahabatku ini, di tempat tinggalku yang baru pula. Bisa dibilang ia sangat pemberani. Xander bisa saja melakukan hal mengerikan, bila bertemu dengan perempuan yang sempat 'menculik' pengantinnya dulu. Syukurlah Xander tak bereaksi macam-macam saat bertemu Judith sebentar tadi pagi. Ini adalah kesempatanku untuk curhat sepuas-puasnya. "Nggak lah! Gabby bukan apa-apa, ia hanya gadis pekerja yang diam-diam menyukai atasannya. Xander tak memiliki rasa kepadanya," ujarku tanpa menunjukkan ekspresi apapun, padahal di dalam hati aku tidak senang mengetahui ada wanita lain yang terobsesi pada suamiku. "Maksudku bukan Gabby, Thea, tapi Bianca. Hahahahaha." Kali ini Judith tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar, dan perutnya sakit. "Ah, sialan kau!" Temanku
"Aku ... tidak tahu. Aku tidak paham dengan perasaanku sendiri, Jud. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu ..., maaf." Dengan lesu kutundukkan kepalaku.Urusan perasaan dan percintaan sebulan terakhir ini terasa terlalu rumit untukku. Dimulai dari plot twist di hari pernikahanku, dan berujung pada kebingungan tentang bagaimana aku bisa menempatkan hatiku dalam perkawinan di luar perkiraan ini.Dia bukan orang yang sama sekali asing, tetapi Xander bukan orang yang seharusnya kunikahi. Dan kini semua menjadi aneh, karena kepura-puraan di depan khalayak itu terasa alami bagiku."Hmm, berarti sudah jelas jawabannya. Kamu memang mencintai Xander." Judith berujar dengan nada suara yang begitu yakin, seolah tak terbantahkan.Kudongakkan kepala, dan kulihat senyuman penuh kepercayaan dirinya, mungkin lebih tepatnya senyuman sok tahu. Nah, mulai lagi si para-tidak-normal satu ini!"Apa maksudmu, Jud? Nggak bisa begitu dong! Bagaimana kamu bisa menyimpulkannya semudah itu, sementara aku sendiri yan