"Kamu pikir kamu hebat, Theodora?Apa yang kaulakukan ini sia-sia saja. Jika Xander mau, ia bisa dengan mudah menemukanmu, dan kau bisa bayangkan hal buruk apa yang bisa ia lakukan terhadapmu."
Ucapan pedas itu terlontar dari seorang wanita muda yang di duduk di hadapan. Dialah Judith, sahabat sekaligus sosok yang membawaku lari dari pesta pernikahan sialan itu.
Berkat bantuannya aku bisa bersembunyi di rumah mendiang neneknya di luar kota, yang kuyakin tak diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku.
"Jud, bagaimana bisa kau malah membela Xander ketimbang sahabatmu sendiri? Kau tidak lihat berita di televisi itu? Xander patut mendapatkannya, setelah apa yang dilakukannya kepadaku," gerutuku sedikit sewot.
Padahal aku sedang tertawa puas, karena kekacauan di pesta pernikahan terkutuk itu. Xander pasti malu, sebab ada banyak kenalan dan rekan bisnisnya yang melihat. Bahkan para wartawan telah menjadikannya berita heboh di televisi maupun portal berita online. Aku sungguh puas, eh, Judith malah merusak mood-ku.
'Alexander Noah Smith, sang pengusaha tampan yang fenomenal dipermalukan oleh mempelai wanitanya yang kabur di pesta pernikahan mereka,' begitu judul utama beritanya. Sudah selayaknya pria licik itu menuai rasa malu akibat konspirasi yang telah dilakukannya.
"Jangan gila, Theodora! Percayalah, kesenanganmu ini hanyalah sesaat." Judith menatapku tajam, tak goyah karena omelanku.
Ia pun menyebutkan bahwa suamiku punya reputasi sebagai pebisnis bertangan dan berhati dingin. Dengan kekuasaan yang dimilikinya takkan sulit bagi Xander untuk menemukanku, dan tak terbayangkan apa yang akan dilakukannya nanti.
"Biar saja! Theodora Norah Wilson tak gentar menghadapi lelaki tukang tipu," sahutku pongah, sembari menepuk dada penuh kepercayaan diri.
"Smith, sayang, nama keluargamu sekarang bukan Wilson lagi. Ingat kau sudah menjadi istri Tuan Xander Smith, bukan lagi anak perempuan Tuan Reynold Wilson," celetuk Judith sambil terkekeh, menghantamkan fakta bahwa aku telah terikat pernikahan dengan seorang pria.
"Ah, sialan kau, Jud!" seruku karena tak mampu menyangkal ucapan sahabatku itu.
Kata-katanya sangatlah benar. Kesenanganku bermain kucing-kucingan dengan Xander takkan bertahan lama.
Sesungguhnya aku gentar memikirkan apa yang akan Xander lakukan saat dia menemukanku nanti. Belum lagi kemarahan ibuku, si tukang ngomel.
Dan seperti perkiraan Judith, Xander memang memiliki kekuasaan. Bila di hari pertama berita-berita di media massa menyudutkan dirinya, menyebutkan betapa dirinya dipermalukan, maka di hari kedua keadaan langsung berubah.
"Sang pengusaha, Alexander Smith menunggu pengantin perempuan yang dicintainya untuk kembali, dan membicarakan kesalahpahaman di antara mereka," tutur seorang pembaca berita di televisi.
Lalu muncul wajah Xander yang diwawancarai dengan wajah mendung, menceritakan bagaimana ia menyesali tindakanku, dan seterusnya, drama yang begitu membosankan.
"Dasar pria tak tahu malu!" dengusku seraya menekan tombol remote control untuk mematikan televisi.
Judith memandangku dengan senyum terkulum. Ah, dia seperti ahli nujum saja!
Berada di rumah ini sama sekali tidak seru, tak ada hal asyik yang bisa kulakukan. Ponselku sengaja kumatikan, agar orang di rumah tidak bisa mendeteksi keberadaanku. Aku sudah bersusah payah melarikan diri, sia-sia dong, kalau harus tertangkap oleh mereka dengan mudahnya.
Pun ketika aku mencoba untuk menelepon Alex, aku meminjam ponsel Judith. Namun, seperti yang sudah diperkirakan, nomornya tidak bisa dihubungi.
"Sialan banget, Alexander kuadrat itu!" gerutuku setelah berkali-kali gagal terhubung dengan Alex.
"Sudahlah, Thea! Alex sudah menjualmu kepada sepupunya, demi menyelematkan nyawanya sendiri, masa dia masih berani exist? Palingan mantan kekasihmu itu telah bersembunyi di kolong jembatan," cakap Judith sekenanya.
Aku sungguh putus asa. Dan malangnya, nasib buruk masih setia berada di pihakku.
Siang itu, hampir seminggu setelah pelarianku, kudengar kabar buruk yang berasal dari rumah orang tuaku.
"Thea, kau harus pulang, ayahmu sakit keras," lontar Judith begitu melihatku. Ia mengacungkan ponselnya ke hadapanku. Ada berita tentang ayah mertua Xander yang terkena serangan jantung.
Aku terperangah, dan hatiku sangat galau.
Aku tahu ayahku bertubuh tambun, dan memiliki riwayat penyakit jantung. Namun, mengapa harus sekarang dia kambuh?
Bagaimana kondisinya? Parahkah? Ia masih bisa bertahan, 'kan?
"Pulanglah," kata Judith menyadarkanku kembali. Matanya memandangku penuh keprihatinan. "Kuantar, ya. Kamu tak mungkin sanggup pulang sendiri."
Aku mengangguk samar. Seperti mimpi Judith membantuku menyiapkan diri, dan segera mengantarku pulang ke rumah keluarga Wilson.
Aku telah berhasil kabur dari pernikahan yang tak kuinginkan, tetapi hanya dalam waktu seminggu aku terpaksa kembali ke rumah orang tuaku.
***
"Apa kabar, istriku? Welcome home!"
Pria bertubuh jangkung itu berdiri dan menyambutku dengan senyuman lebar di bibirnya. Suaranya memang terdengar ramah, tetapi sorot matanya jelas tak demikian.
Netranya seolah mencemooh, 'Lihatlah! Pada akhirnya kau kalah, Theodora.'
Sudah bisa kuperkirakan bahwa Xander akan berada di rumah orang tuaku, khususnya setelah mendengar kepulanganku untuk menemui ayahku yang sakit.
Ah, syukurlah keadaan Ayah tak begitu buruk, bahkan segera membaik begitu aku pulang. Sempat kupikir ia hanya berpura-pura sakit, tetapi wajah pucatnya serta napas yang tersengal-sengal menepis semua pikiran jahat itu. Ia memang sakit.
"Kau senang bukan, menyaksikan ibuku memarahiku, dan lebih membelamu?" sahutku dengan nada sinis.
Xander tertawa. Suaranya terdengar begitu riang, dan kedua matanya menyipit, menampilkan garis tawa yang manis. Di saat begini Xander tak lagi terlihat jahat, bahkan ia semakin tampan saja.
Ah, apa yang kupikirkan? Cepat-cepat kupalingkan muka agar tak lagi melihatnya. Tak seharusnya aku mengaguminya, pesonanya palsu, ia lebih patut untuk dibenci.
"Eheemm!" Aku berdeham cukup keras. Xander berhenti tertawa, dan perhatiannya kembali tertuju kepadaku.
Sepanjang perjalanan pulang bersama Judith tadi, aku memikirkan hal ini matang-matang. Pernikahan penuh konspirasi yang kami jalani tak bisa berlanjut. Dan bila bukan aku yang meminta, aku tak yakin pria ini akan berniat mengakhirinya.
Gugup, tapi aku memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku dengan serius.
"Kita tak saling mencintai, Xander," mulaiku," ceraikan saja aku. Kau bebas menikah dengan perempuan lain yang kausukai, yang mau menuruti semua kemauanmu."
Hufft! Kuhembuskan napas lega. Pria itu harus tahu, walaupun ia kaya, punya banyak harta, tapi tak semua hal bisa berjalan sesuai keinginannya.
"Hah!" Xander tersenyum tipis dengan pandangan mencemooh.
Tak terduga pria itu berjalan cepat ke arahku, aku tak siap, dan harus berjalan mundur, hingga punggungku tertahan oleh tembok.
Xander mengungkungku dengan kedua lengan di samping bahuku. Tubuhnya yang menjulang dan berotot menimbulkan kegentaran. Aku tersudut, namun dengan dagu terangkat kutatap matanya sengit. Ini perang!
"Kaupikir semudah itu, setelah kau mempermalukanku di pesta pernikahan kita?" desisnya penuh dendam.
Telunjuknya menyentuh daguku sembarangan. Aku menepis jari kurang ajarnya itu. Ini bahaya, wajahnya sangat dekat dengan wajahku, bahkan aku bisa melihat iris mata indahnya yang berwarna hazel.
Keyakinan yang kubangun runtuh, tatkala pria itu kembali berucap dengan suara yang begitu mengancam. "Jangan bermimpi tentang perceraian, Theodora, karena kau kan tetap menjadi istriku, dan membayar akibat dari perbuatanmu sendiri!"
"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku."Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan."Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya."Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!"
"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya."Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik."Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga."Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk
"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ....""Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.Waduh!Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu."Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istr
"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua. Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai."Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.Mimpiku begitu indah; terbang
"Itu bukan salahku, Theodora. Mengapa kau tidak bertanya?" Xander berkata santai sembari mengunyah sarapannya.Kuletakkan sandwich yang tengah kusantap, dan kutatap dia tajam. Suami palsuku ini memang lihai menyalahkan orang lain."Padahal kau tinggal memberitahuku, apa susahnya?" gerutuku sebal.Sofa di kamar hotel kami ternyata adalah sebuah bed sofa, dan semalam Xander mengaturnya menjadi tempat tidur. Ia bisa tidur nyaman, tak seperti diriku yang terpaksa tidur di alas yang sempit.Lebih bodohnya lagi diriku sempat berpikir Xander rela menderita untukku, serta merelakan ranjangnya kutempati, padahal dalam kenyataan sama saja ia tetap tidur di tempat yang nyaman. Hah!"Waktu itu kau sudah tertidur, Tuan Putri, kau bahkan tak membalas ucapan selamat malam dariku. Aku tak tega kalau harus membangunkanmu," dalihnya seakan tak berdosa."Tapi ....""Lagipula," potongnya saat aku mulai menyanggah, "malam kemarin kau tidur di ranjang pengantin kita, 'kan." Pria itu menyeringai nakal.Hiii
"Xandeeerr!! Kau sangat menyebalkan!!!" Aku berseru dengan suara yang begitu nyaring. Tenaga yang tadi terkuras akibat tenggelam di kolam renang seakan kembali full, nggak setengah-setengah. "Siapa suruh kamu nggak nurut!" sahutnya masih dengan suara bernada galak. Samar terdengar langkah Xander menjauh, suara pintu terbuka lalu tertutup, serta suara air mengalir dari keran yang dibuka. Kini pria itu berada di kamar mandi. Sepertinya ia sangat bahagia, sebab Xander mandi sembari bersiul riang. Sementara aku gondok sendirian di pojok tempat tidur. "Menjengkelkan!" Sekali lagi aku berteriak, lalu kuraih kain lebar yang menutupiku dari kepala hingga perutku. Padahal itu semua gara-gara si wanita pirang yang menyenggolku hingga tercebur ke kolam renang, mengapa malah aku yang dimarahi? Pria kurang ajar itu bahkan melemparkan kemejanya yang basah ke atas kepalaku, memperlakukan kepalaku seperti gantungan baju. Kupandang kemeja hawaian Xander penuh kegondokan. Bahkan aroma parfum samar
"Tidak usah macam-macam, Xander! Jangan bikin masalah di negara orang!" Pertanyaan Xander membuatku sedikit panik. Tak semudah itu bagiku untuk melupakan sakit hati akibat kejahilan si genit kepadaku, tetapi tak ada gunanya juga membalas. "Mana tahu kamu ingin membuat perhitungan dengannya," sahut Xander sambil lalu. Dengan suara nyaring diseruput habis kuah tom yum langsung dari mangkuknya. "Memangnya aku harus apa? Nantangin si genit berkelahi? Atau ngata-ngatain dia lalu berlindung di balik punggungmu?" tanyaku mencemooh ide gila Xander. Ia mencebik tak peduli. Aku menyikat ayam goreng di hadapanku dengan gaya garang, kemudian mataku melirik lagi ke arah pintu di mana si gadis pirang masih berdiri. Kebetulan sekali perempuan itu juga melihatku. Sedikit gentar aku menatapnya tajam. Setidaknya ada suamiku di sini, jadi kalau gadis genit itu macam-macam, Xander akan membelaku. Akan tetapi, di luar dugaan, tak seperti gayanya di kolam renang tadi, si pirang mengindari tatapanku. D
"Hooaaam! Duh, ngantuknya! Aku tidur duluan, Xander." Dengan gaya aktris gagal akting, aku menarik selimut menutupi tubuh, dan memejamkan mata."Selamat tidur, Theodora!" sahut Xander dengan suara bernada hangat yang membuat hatiku semakin tak karuan. Biarlah kali ini aku melarikan diri sejenak. Ucapan Xander berhasil membuatku galau.Pelan dan tersamar perasaanku kepadanya mulai melembut, ada relung-relung kosong yang mulai terisi keinginan untuk tetap berada di dekatnya, di sisinya sebagai pasangan hidup Xander. Akan tetapi, aku tak yakin bila Xander merasakan hal yang sama.Kadang aku merasa ia sangat baik, begitu peduli, bahkan terkesan suamiku itu menyayangiku. Namun, aku khawatir bahwa apa yang ia lakukan kepadaku hanya sebatas kewajiban di balik keinginannya untuk membalas dendam, dan suatu saat hubungan rapuh ini akan berakhir.Aku pun tertidur dengan hati risau, sampai akhirnya antara sadar dan tak sadar kudengar suara Xander memanggilku."Theodora! Theodora!"Mataku terbuka.