Share

02. Pelarian yang Sia-sia

"Kamu pikir kamu hebat, Theodora?Apa yang kaulakukan ini sia-sia saja. Jika Xander mau, ia bisa dengan mudah menemukanmu, dan kau bisa bayangkan hal buruk apa yang bisa ia lakukan terhadapmu."

Ucapan pedas itu terlontar dari seorang wanita muda yang di duduk di hadapan. Dialah Judith, sahabat sekaligus sosok yang membawaku lari dari pesta pernikahan sialan itu.

Berkat bantuannya aku bisa bersembunyi di rumah mendiang neneknya di luar kota, yang kuyakin tak diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku.

"Jud, bagaimana bisa kau malah membela Xander ketimbang sahabatmu sendiri? Kau tidak lihat berita di televisi itu? Xander patut mendapatkannya, setelah apa yang dilakukannya kepadaku," gerutuku sedikit sewot.

Padahal aku sedang tertawa puas, karena kekacauan di pesta pernikahan terkutuk itu. Xander pasti malu, sebab ada banyak kenalan dan rekan bisnisnya yang melihat. Bahkan para wartawan telah menjadikannya berita heboh di televisi maupun portal berita online. Aku sungguh puas, eh, Judith malah merusak mood-ku.

'Alexander Noah Smith, sang pengusaha tampan yang fenomenal dipermalukan oleh mempelai wanitanya yang kabur di pesta pernikahan mereka,' begitu judul utama beritanya. Sudah selayaknya pria licik itu menuai rasa malu akibat konspirasi yang telah dilakukannya.

"Jangan gila, Theodora! Percayalah, kesenanganmu ini hanyalah sesaat." Judith menatapku tajam, tak goyah karena omelanku.

Ia pun menyebutkan bahwa suamiku punya reputasi sebagai pebisnis bertangan dan berhati dingin. Dengan kekuasaan yang dimilikinya takkan sulit bagi Xander untuk menemukanku, dan tak terbayangkan apa yang akan dilakukannya nanti.

"Biar saja! Theodora Norah Wilson tak gentar menghadapi lelaki tukang tipu," sahutku pongah, sembari menepuk dada penuh kepercayaan diri.

"Smith, sayang, nama keluargamu sekarang bukan Wilson lagi. Ingat kau sudah menjadi istri Tuan Xander Smith, bukan lagi anak perempuan Tuan Reynold Wilson," celetuk Judith sambil terkekeh, menghantamkan fakta bahwa aku telah terikat pernikahan dengan seorang pria.

"Ah, sialan kau, Jud!" seruku karena tak mampu menyangkal ucapan sahabatku itu.

Kata-katanya sangatlah benar. Kesenanganku bermain kucing-kucingan dengan Xander takkan bertahan lama.

Sesungguhnya aku gentar memikirkan apa yang akan Xander lakukan saat dia menemukanku nanti. Belum lagi kemarahan ibuku, si tukang ngomel.

Dan seperti perkiraan Judith, Xander memang memiliki kekuasaan. Bila di hari pertama berita-berita di media massa menyudutkan dirinya, menyebutkan betapa dirinya dipermalukan, maka di hari kedua keadaan langsung berubah.

"Sang pengusaha, Alexander Smith menunggu pengantin perempuan yang dicintainya untuk kembali, dan membicarakan kesalahpahaman di antara mereka," tutur seorang pembaca berita di televisi.

Lalu muncul wajah Xander yang diwawancarai dengan wajah mendung, menceritakan bagaimana ia menyesali tindakanku, dan seterusnya, drama yang begitu membosankan.

"Dasar pria tak tahu malu!" dengusku seraya menekan tombol remote control untuk mematikan televisi.

Judith memandangku dengan senyum terkulum. Ah, dia seperti ahli nujum saja!

Berada di rumah ini sama sekali tidak seru, tak ada hal asyik yang bisa kulakukan. Ponselku sengaja kumatikan, agar orang di rumah tidak bisa mendeteksi keberadaanku. Aku sudah bersusah payah melarikan diri, sia-sia dong, kalau harus tertangkap oleh mereka dengan mudahnya.

Pun ketika aku mencoba untuk menelepon Alex, aku meminjam ponsel Judith. Namun, seperti yang sudah diperkirakan, nomornya tidak bisa dihubungi.

"Sialan banget, Alexander kuadrat itu!" gerutuku setelah berkali-kali gagal terhubung dengan Alex.

"Sudahlah, Thea! Alex sudah menjualmu kepada sepupunya, demi menyelematkan nyawanya sendiri, masa dia masih berani exist? Palingan mantan kekasihmu itu telah bersembunyi di kolong jembatan," cakap Judith sekenanya.

Aku sungguh putus asa. Dan malangnya, nasib buruk masih setia berada di pihakku.

Siang itu, hampir seminggu setelah pelarianku, kudengar kabar buruk yang berasal dari rumah orang tuaku.

"Thea, kau harus pulang, ayahmu sakit keras," lontar Judith begitu melihatku. Ia mengacungkan ponselnya ke hadapanku. Ada berita tentang ayah mertua Xander yang terkena serangan jantung.

Aku terperangah, dan hatiku sangat galau.

Aku tahu ayahku bertubuh tambun, dan memiliki riwayat penyakit jantung. Namun, mengapa harus sekarang dia kambuh?

Bagaimana kondisinya? Parahkah? Ia masih bisa bertahan, 'kan?

"Pulanglah," kata Judith menyadarkanku kembali. Matanya memandangku penuh keprihatinan. "Kuantar, ya. Kamu tak mungkin sanggup pulang sendiri."

Aku mengangguk samar. Seperti mimpi Judith membantuku menyiapkan diri, dan segera mengantarku pulang ke rumah keluarga Wilson.

Aku telah berhasil kabur dari pernikahan yang tak kuinginkan, tetapi hanya dalam waktu seminggu aku terpaksa kembali ke rumah orang tuaku.

***

"Apa kabar, istriku? Welcome home!"

Pria bertubuh jangkung itu berdiri dan menyambutku dengan senyuman lebar di bibirnya. Suaranya memang terdengar ramah, tetapi sorot matanya jelas tak demikian.

Netranya seolah mencemooh, 'Lihatlah! Pada akhirnya kau kalah, Theodora.'

Sudah bisa kuperkirakan bahwa Xander akan berada di rumah orang tuaku, khususnya setelah mendengar kepulanganku untuk menemui ayahku yang sakit.

Ah, syukurlah keadaan Ayah tak begitu buruk, bahkan segera membaik begitu aku pulang. Sempat kupikir ia hanya berpura-pura sakit, tetapi wajah pucatnya serta napas yang tersengal-sengal menepis semua pikiran jahat itu. Ia memang sakit.

"Kau senang bukan, menyaksikan ibuku memarahiku, dan lebih membelamu?" sahutku dengan nada sinis.

Xander tertawa. Suaranya terdengar begitu riang, dan kedua matanya menyipit, menampilkan garis tawa yang manis. Di saat begini Xander tak lagi terlihat jahat, bahkan ia semakin tampan saja.

Ah, apa yang kupikirkan? Cepat-cepat kupalingkan muka agar tak lagi melihatnya. Tak seharusnya aku mengaguminya, pesonanya palsu, ia lebih patut untuk dibenci.

"Eheemm!" Aku berdeham cukup keras. Xander berhenti tertawa, dan perhatiannya kembali tertuju kepadaku.

Sepanjang perjalanan pulang bersama Judith tadi, aku memikirkan hal ini matang-matang. Pernikahan penuh konspirasi yang kami jalani tak bisa berlanjut. Dan bila bukan aku yang meminta, aku tak yakin pria ini akan berniat mengakhirinya.

Gugup, tapi aku memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku dengan serius.

"Kita tak saling mencintai, Xander," mulaiku," ceraikan saja aku. Kau bebas menikah dengan perempuan lain yang kausukai, yang mau menuruti semua kemauanmu."

Hufft! Kuhembuskan napas lega. Pria itu harus tahu, walaupun ia kaya, punya banyak harta, tapi tak semua hal bisa berjalan sesuai keinginannya.

"Hah!" Xander tersenyum tipis dengan pandangan mencemooh.

Tak terduga pria itu berjalan cepat ke arahku, aku tak siap, dan harus berjalan mundur, hingga punggungku tertahan oleh tembok.

Xander mengungkungku dengan kedua lengan di samping bahuku. Tubuhnya yang menjulang dan berotot menimbulkan kegentaran. Aku tersudut, namun dengan dagu terangkat kutatap matanya sengit. Ini perang!

"Kaupikir semudah itu, setelah kau mempermalukanku di pesta pernikahan kita?" desisnya penuh dendam.

Telunjuknya menyentuh daguku sembarangan. Aku menepis jari kurang ajarnya itu. Ini bahaya, wajahnya sangat dekat dengan wajahku, bahkan aku bisa melihat iris mata indahnya yang berwarna hazel.

Keyakinan yang kubangun runtuh, tatkala pria itu kembali berucap dengan suara yang begitu mengancam. "Jangan bermimpi tentang perceraian, Theodora, karena kau kan tetap menjadi istriku, dan membayar akibat dari perbuatanmu sendiri!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status