Share

Bab 2 - Perempuan Idaman

Lara menatap makanan yang sudah selesai dihidangkan di atas meja. Dia tersenyum puas menatap hasil kerja kerasnya sepanjang pagi ini.

Sudah beberapa minggu semenjak Alex pergi dari rumah, tidak pulang sekali pun sehingga mereka tidak pernah bertemu lagi sejak malam panas itu. Karena itu Lara memutuskan untuk menyambut kepulangan Alex. Meski ia tahu, hubungan mereka tidak sebaik itu. Tapi Lara tidak ingin memperkeruh keadaan. 

"Apa ini?"

Suara itu sontak membuat Lara menoleh. Alex datang dengan kedua alis yang hampir bertemu saat dia mendekat dan memindai ke atas meja makan, pada makanan yang tertata cantik di piring.

"Aku membuat sarapan."

"Apa aku memintamu melakukan itu?"

"Tidak. Aku pikir—"

Belum sempat Lara selesai bicara, Alex lebih dulu mengambil piring di depannya dan membuangnya ke lantai, jatuh dan pecah berserakan.

"Tidak perlu membuatnya lain kali. Aku tidak akan makan apa yang kamu siapkan. Berhentilah membuatku muak!"

Setelah mengatakan itu, Alex pergi begitu saja. Tidak menoleh sedikit pun pada Lara atau piring yang dia lempar. 

Sedangkan Lara hanya bisa menatap makanan yang berserakan di lantai dengan hati perih. Berhenti membuat muak, katanya? Lara hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai istri, terlepas dari kenyataan bahwa dia hanyalah istri pengganti untuk Alex. Apakah sesulit itu menghargai keberadaannya?

Terlintas di pikiran Lara agar sebaiknya dia kabur saja. Lagi pula untuk apa tinggal di sini jika pernikahan ini tidak dianggap?

Namun, banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Bagaimana seandainya jika dia kabur malah membuat keluarga Alex marah? Bukankah itu akan membuat bisnis ayahnya akan kembali diseret ke titik nol?

Lara hampir larut dalam rasa kecewa sebelum dia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Lara berlari masuk ke dalam kamar mandi. Dia mual dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

Kakinya terasa lemas saat berkumur dan keluar kamar mandi. Lara mendengar ponselnya berdering dan dia melihat panggilan masuk dari Roy, ayahnya.

'Kenapa papa menelponku?' Meski enggan, tapi Lara akhirnya memilih untuk menerima panggilan itu. 

"Lara?"

Suara yang datang dari seberang ponsel menimbulkan bebagai macam perasaan bagi Lara. Seberkas rasa benci, kecewa, dan marah. 

"Iya, Papa?"

Lara meremas ponsel yang sedang ada di samping telinga sebelah kanannya lebih erat.

"Kamu baik-baik saja?"

Lara tidak langsung menjawab. Ia menahan suaranya agar tidak gemetar meski sebenarnya ingin menjerit meluapkan sesak dalam dadanya. "Ya," ujarnya singkat.

"Maaf Papa baru bisa menghubungimu sekarang. Banyak hal yang harus Papa lakukan untuk memulihkan keadaan bisnis yang memburuk. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Papa mau bilang terima kasih."

Alis berkerut Lara perlahan memudar mendengar terima kasih yang disampaikan oleh ayahnya itu.

"Terima kasih?" ulangnya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding, tak jauh dari jendela.

"Iya. Terima kasih karena kamu mau menggantikan Nala. Jefri sudah menepati janjinya, Lara."

Kebingungan masih memenuhi Lara saat mendengar nama ayah mertuanya itu. "Janji apa, Papa?"

"Janji yang dia bilang kalau dia akan jadi backing kuat bisnis kita, berkat kamu, kita bisa bertahan. Terima kasih banyak. Maaf karena harus membuatmu menikah dengan Alex."

Suaranya terdengar tulus, Lara tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia hanya memberi keheningan pada ayahnya. Bibirnya mengatup rapat.

"Mungkin, pernikahan kalian akan terasa sedikit canggung karena perjodohan. Tapi tolong jadilah istri dan menantu yang baik, Lara. Biar keluarga kita bisa seterusnya seperti ini."

Lara diam-diam meneteskan air mata, dia tahu bahwa Roy mempertaruhkan segalanya untuk membangun bisnis yang sedang dia kembangkan. Menyadari itu, Lara menahan diri untuk tidak mengatakan bagaimana perlakuan Alex kepadanya.

Jeritannya tertahan di tengorokan. Serak, jejak basah air mata melewati bibirnya yang tersenyum pahit saat dia menjawab Roy dengan sekilas anggukan.

"Iya, Lara akan coba lakukan itu, Papa."

"Terima kasih."

Panggilan mereka mati setelah saling menukar salam perpisahan.

Lara duduk merosot ke lantai yang dingin. Dengan kepala yang menunduk dalam, menengelamkan tangis di balik kedua tangan yang menutupi wajahnya. Dadanya sesak oleh pertanyaan, 'Sampai kapan ini akan berlangsung? Apa seperti ini rasanya menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya?'

Dengan berbekal janji pada ayahnya untuk menjadi istri dan menantu yang baik, Lara akan bertahan di rumah ini. Sebisanya, sekuatnya, mengabaikan kebencian Alex. 

Tidak terhitung berapa banyak kalimat kasar yang keluar dari bibir lelaki itu untuknya. Hinaan itu hampir setiap hari terjadi.

Lara masih giat mencoba membuatkan sarapan atau sekadar kudapan ringan untuknya, meski akhirnya ditolak mentah-mentah. Tapi Lara tidak menyerah. Dia tetap menyiapkan semua kebutuhan Alex tanpa lelaki itu sadari. 

Namun ketika Alex menyadari semua tindakan Lara, ia malah menuduh Lara sedang mencari perhatian. Alih-alih kata terima kasih, semua yang dilakukan Lara akan salah di mata Alex.

Tapi Lara tidak peduli, dia lakukan sebisanya untuk menjadi istri yang baik. Taat, tidak membantah. Dengan begitu, mungkin suatu hari nanti Alex akan sedikit melunak... hanya itu yang Lara harapkan.

***

Namun, harap tinggal harap.

Pagi itu saat hendak menyiapkan sarapan untuk suaminya, Lara terkejut menjumpai seorang perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya. 

Gema stilettonya memenuhi setiap sisi penjuru ruangan, rok yang jatuh di atas lututnya melambai sebelum dia berhenti dan berhadapan dengan Lara.

"Wah ...."

Bibir merahnya menggumam menatap Lara dari bawah hingga ke atas. Tapi itu bukan untuk mengungkapkan rasa kagum melainkan lebih pada ejekan karena Lara melihat salah satu sudut bibirnya terangkat.

"Jadi ini perempuan murahan yang dinikahi Alex?"

Kedua tangan Lara sontak terkepal mendengar tanya yang dia lontarkan. 

"Kamu perempuan panggilan yang dijual papamu ke keluarga Alex, kan?" Wanita itu mendecih, seolah jijik melihat Lara. Matanya masih memindai Lara dengan tatapan merendahkan. "Akhirnya aku punya kesempatan untuk melihat wanita murahan seperti—"

"Lebih murahan mana dengan perempuan yang pagi-pagi datang ke rumah lelaki yang sudah menikah dan bicara tidak sopan?"

Lara melihat matanya yang berubah marah saat dia memotong pembicaraan sebelum sempat menyelesaikan apa yang ingin dia katakan.

"Sopan kamu bilang? Perempuan murahan sepertimu masih membicarakan harga diri?!"

Lara mengangkat dagu dan balas menatap wanita itu. "Sebaiknya jangan menilaiku sesuka hatimu karena kita bahkan tidak saling kenal."

"Aku tahu siapa kamu! Perempuan panggilan murahan yang terpaksa dinikahi Alex!" sentak wanita cantik itu dengan wajah marah.

"Jaga mulutmu!"

Wanita itu melangkah semakin dekat hingga hanya berjarak beberapa sentimeter dari Lara. "Masih mau membela diri? Dasar jalang sial—"

"Bukannya kamu yang murahan? Datang seenaknya ke rumah pria yang sudah menikah—"

PLAK!

Tangan perempuan itu melayang menampar pipi sebelah kiri Lara dengan sangat kerasnya. Membuat Lara berpaling karena gaya dorong yang timbul dari telapak tangannya.

Dengung asing memenuhi telinga Lara saat pipinya memanas. 

"Tutup mulutmu!"

PLAK!

Lara kembali merasakan tamparannya untuk kali ke dua. Kepalanya pusing, perutnya mual saat dia terhuyung ke belakang dan mencari pegangan di sandaran kursi. Tiba-tiba, dia ingin muntah. 

"Aku yang lebih berhak atas Alex, bukan kamu! Kamu itu hanya menjual diri!"

"Akh!"

Lara kesakitan saat rambut panjangnya ditarik dengan kuat, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Lara berusaha melepaskan diri. Ia balas menarik rambut perempuan asing itu sama kuatnya, membuat mereka saling beradu dan mengaduh kesakitan. 

"Apa yang kau lakukan?!"

Tarikan pada rambut Lara seketika terlepas. Dia menoleh pada Alex yang berjalan menuruni tangga, menghampiri mereka. Lara pun melepas tangannya dari rambut wanita itu. 

"Berani-beraninya melakukan keributan di rumahku?" kata Alex dengan rahang mengeras. Ia menatap Lara dengan kemarahan yang jelas-jelas terpancar dari raut wajahnya. Namun, ekspresi itu berubah khawatir saat menatap si wanita asing. "Kamu baik-baik saja, Shiera?"

Wanita bernama Shiera itu langsung memeluk lengan Alex dan berkata dengan manja. "Dia menjambak rambutku." 

Alex menatap Lara sengit.

"Dia yang mulai," Lara membela diri. Ia memegang perutnya yang bergejolak, sementara Alex menggertakkan rahangnya sambil mengambil satu langkah maju.

"Aku tidak peduli siapa yang mulai tapi aku tidak suka kamu menyakiti Shiera."

Alex menyembunyikan Shiera di belakang punggungnya seolah dia adalah mahakarya yang harus dilindungi sementara di mata Alex, Lara adalah iblis yang bisa melukai wanitanya.

Manik mata mereka bertemu pandang di udara, iris gelap Alex menciutkan nyali Lara yang memilih untuk diam.

"Jangan melakukan hal yang membuatku marah, Lara. Kamu tidak lupa dengan apa yang pernah aku bilang, 'kan?"

Lara tidak punya kesempatan untuk mengucapkan sesuatu karena Alex lebih dulu berujar dengan nada dingin. "Pernikahan kita hanya sebatas status. Jangan berharap lebih!"

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Lara lebih baik kmu pergi dr rmh iyu sejauh mungkin .jangan k.u pikirkan itu ayah mu yg menjual kmu karena bisnis .bener itu kaka kembar mu dia g mau d jual oleh orang tua nya karena orang tua g akan peduli dgn penderitaan anak nya
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
cerita yg tokohnya utamanya begitu bodoh dan terlalu lugu, bahkan saat di manfaatkan dan ditindas pun masih percaya, adalah cerita yg ga layak baca buatku
goodnovel comment avatar
Susan Zahra
dateng dia mak lampir
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status