Lara menatap makanan yang sudah selesai dihidangkan di atas meja. Dia tersenyum puas menatap hasil kerja kerasnya sepanjang pagi ini.
Sudah beberapa minggu semenjak Alex pergi dari rumah, tidak pulang sekali pun sehingga mereka tidak pernah bertemu lagi sejak malam panas itu. Karena itu Lara memutuskan untuk menyambut kepulangan Alex. Meski ia tahu, hubungan mereka tidak sebaik itu. Tapi Lara tidak ingin memperkeruh keadaan. "Apa ini?"Suara itu sontak membuat Lara menoleh. Alex datang dengan kedua alis yang hampir bertemu saat dia mendekat dan memindai ke atas meja makan, pada makanan yang tertata cantik di piring."Aku membuat sarapan.""Apa aku memintamu melakukan itu?""Tidak. Aku pikir—"Belum sempat Lara selesai bicara, Alex lebih dulu mengambil piring di depannya dan membuangnya ke lantai, jatuh dan pecah berserakan."Tidak perlu membuatnya lain kali. Aku tidak akan makan apa yang kamu siapkan. Berhentilah membuatku muak!"Setelah mengatakan itu, Alex pergi begitu saja. Tidak menoleh sedikit pun pada Lara atau piring yang dia lempar. Sedangkan Lara hanya bisa menatap makanan yang berserakan di lantai dengan hati perih. Berhenti membuat muak, katanya? Lara hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai istri, terlepas dari kenyataan bahwa dia hanyalah istri pengganti untuk Alex. Apakah sesulit itu menghargai keberadaannya?Terlintas di pikiran Lara agar sebaiknya dia kabur saja. Lagi pula untuk apa tinggal di sini jika pernikahan ini tidak dianggap?Namun, banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Bagaimana seandainya jika dia kabur malah membuat keluarga Alex marah? Bukankah itu akan membuat bisnis ayahnya akan kembali diseret ke titik nol?Lara hampir larut dalam rasa kecewa sebelum dia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Lara berlari masuk ke dalam kamar mandi. Dia mual dan memuntahkan seluruh isi perutnya.Kakinya terasa lemas saat berkumur dan keluar kamar mandi. Lara mendengar ponselnya berdering dan dia melihat panggilan masuk dari Roy, ayahnya.'Kenapa papa menelponku?' Meski enggan, tapi Lara akhirnya memilih untuk menerima panggilan itu. "Lara?"Suara yang datang dari seberang ponsel menimbulkan bebagai macam perasaan bagi Lara. Seberkas rasa benci, kecewa, dan marah. "Iya, Papa?"Lara meremas ponsel yang sedang ada di samping telinga sebelah kanannya lebih erat."Kamu baik-baik saja?"Lara tidak langsung menjawab. Ia menahan suaranya agar tidak gemetar meski sebenarnya ingin menjerit meluapkan sesak dalam dadanya. "Ya," ujarnya singkat."Maaf Papa baru bisa menghubungimu sekarang. Banyak hal yang harus Papa lakukan untuk memulihkan keadaan bisnis yang memburuk. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Papa mau bilang terima kasih."Alis berkerut Lara perlahan memudar mendengar terima kasih yang disampaikan oleh ayahnya itu."Terima kasih?" ulangnya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding, tak jauh dari jendela."Iya. Terima kasih karena kamu mau menggantikan Nala. Jefri sudah menepati janjinya, Lara."Kebingungan masih memenuhi Lara saat mendengar nama ayah mertuanya itu. "Janji apa, Papa?""Janji yang dia bilang kalau dia akan jadi backing kuat bisnis kita, berkat kamu, kita bisa bertahan. Terima kasih banyak. Maaf karena harus membuatmu menikah dengan Alex."Suaranya terdengar tulus, Lara tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia hanya memberi keheningan pada ayahnya. Bibirnya mengatup rapat."Mungkin, pernikahan kalian akan terasa sedikit canggung karena perjodohan. Tapi tolong jadilah istri dan menantu yang baik, Lara. Biar keluarga kita bisa seterusnya seperti ini."Lara diam-diam meneteskan air mata, dia tahu bahwa Roy mempertaruhkan segalanya untuk membangun bisnis yang sedang dia kembangkan. Menyadari itu, Lara menahan diri untuk tidak mengatakan bagaimana perlakuan Alex kepadanya.Jeritannya tertahan di tengorokan. Serak, jejak basah air mata melewati bibirnya yang tersenyum pahit saat dia menjawab Roy dengan sekilas anggukan."Iya, Lara akan coba lakukan itu, Papa.""Terima kasih."Panggilan mereka mati setelah saling menukar salam perpisahan.Lara duduk merosot ke lantai yang dingin. Dengan kepala yang menunduk dalam, menengelamkan tangis di balik kedua tangan yang menutupi wajahnya. Dadanya sesak oleh pertanyaan, 'Sampai kapan ini akan berlangsung? Apa seperti ini rasanya menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya?'Dengan berbekal janji pada ayahnya untuk menjadi istri dan menantu yang baik, Lara akan bertahan di rumah ini. Sebisanya, sekuatnya, mengabaikan kebencian Alex. Tidak terhitung berapa banyak kalimat kasar yang keluar dari bibir lelaki itu untuknya. Hinaan itu hampir setiap hari terjadi.Lara masih giat mencoba membuatkan sarapan atau sekadar kudapan ringan untuknya, meski akhirnya ditolak mentah-mentah. Tapi Lara tidak menyerah. Dia tetap menyiapkan semua kebutuhan Alex tanpa lelaki itu sadari. Namun ketika Alex menyadari semua tindakan Lara, ia malah menuduh Lara sedang mencari perhatian. Alih-alih kata terima kasih, semua yang dilakukan Lara akan salah di mata Alex.Tapi Lara tidak peduli, dia lakukan sebisanya untuk menjadi istri yang baik. Taat, tidak membantah. Dengan begitu, mungkin suatu hari nanti Alex akan sedikit melunak... hanya itu yang Lara harapkan.***Namun, harap tinggal harap.Pagi itu saat hendak menyiapkan sarapan untuk suaminya, Lara terkejut menjumpai seorang perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya. Gema stilettonya memenuhi setiap sisi penjuru ruangan, rok yang jatuh di atas lututnya melambai sebelum dia berhenti dan berhadapan dengan Lara."Wah ...."Bibir merahnya menggumam menatap Lara dari bawah hingga ke atas. Tapi itu bukan untuk mengungkapkan rasa kagum melainkan lebih pada ejekan karena Lara melihat salah satu sudut bibirnya terangkat."Jadi ini perempuan murahan yang dinikahi Alex?"Kedua tangan Lara sontak terkepal mendengar tanya yang dia lontarkan. "Kamu perempuan panggilan yang dijual papamu ke keluarga Alex, kan?" Wanita itu mendecih, seolah jijik melihat Lara. Matanya masih memindai Lara dengan tatapan merendahkan. "Akhirnya aku punya kesempatan untuk melihat wanita murahan seperti—""Lebih murahan mana dengan perempuan yang pagi-pagi datang ke rumah lelaki yang sudah menikah dan bicara tidak sopan?"Lara melihat matanya yang berubah marah saat dia memotong pembicaraan sebelum sempat menyelesaikan apa yang ingin dia katakan."Sopan kamu bilang? Perempuan murahan sepertimu masih membicarakan harga diri?!"Lara mengangkat dagu dan balas menatap wanita itu. "Sebaiknya jangan menilaiku sesuka hatimu karena kita bahkan tidak saling kenal.""Aku tahu siapa kamu! Perempuan panggilan murahan yang terpaksa dinikahi Alex!" sentak wanita cantik itu dengan wajah marah."Jaga mulutmu!"Wanita itu melangkah semakin dekat hingga hanya berjarak beberapa sentimeter dari Lara. "Masih mau membela diri? Dasar jalang sial—""Bukannya kamu yang murahan? Datang seenaknya ke rumah pria yang sudah menikah—"PLAK!Tangan perempuan itu melayang menampar pipi sebelah kiri Lara dengan sangat kerasnya. Membuat Lara berpaling karena gaya dorong yang timbul dari telapak tangannya.Dengung asing memenuhi telinga Lara saat pipinya memanas. "Tutup mulutmu!"PLAK!Lara kembali merasakan tamparannya untuk kali ke dua. Kepalanya pusing, perutnya mual saat dia terhuyung ke belakang dan mencari pegangan di sandaran kursi. Tiba-tiba, dia ingin muntah. "Aku yang lebih berhak atas Alex, bukan kamu! Kamu itu hanya menjual diri!""Akh!"Lara kesakitan saat rambut panjangnya ditarik dengan kuat, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Lara berusaha melepaskan diri. Ia balas menarik rambut perempuan asing itu sama kuatnya, membuat mereka saling beradu dan mengaduh kesakitan. "Apa yang kau lakukan?!"Tarikan pada rambut Lara seketika terlepas. Dia menoleh pada Alex yang berjalan menuruni tangga, menghampiri mereka. Lara pun melepas tangannya dari rambut wanita itu. "Berani-beraninya melakukan keributan di rumahku?" kata Alex dengan rahang mengeras. Ia menatap Lara dengan kemarahan yang jelas-jelas terpancar dari raut wajahnya. Namun, ekspresi itu berubah khawatir saat menatap si wanita asing. "Kamu baik-baik saja, Shiera?"Wanita bernama Shiera itu langsung memeluk lengan Alex dan berkata dengan manja. "Dia menjambak rambutku." Alex menatap Lara sengit."Dia yang mulai," Lara membela diri. Ia memegang perutnya yang bergejolak, sementara Alex menggertakkan rahangnya sambil mengambil satu langkah maju."Aku tidak peduli siapa yang mulai tapi aku tidak suka kamu menyakiti Shiera."Alex menyembunyikan Shiera di belakang punggungnya seolah dia adalah mahakarya yang harus dilindungi sementara di mata Alex, Lara adalah iblis yang bisa melukai wanitanya.Manik mata mereka bertemu pandang di udara, iris gelap Alex menciutkan nyali Lara yang memilih untuk diam."Jangan melakukan hal yang membuatku marah, Lara. Kamu tidak lupa dengan apa yang pernah aku bilang, 'kan?"Lara tidak punya kesempatan untuk mengucapkan sesuatu karena Alex lebih dulu berujar dengan nada dingin. "Pernikahan kita hanya sebatas status. Jangan berharap lebih!"Lara hamil. Sepasang anak kembar. Usia kandungannya ternyata sudah memasuki minggu keenam. Sungguh ... Lara tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Bertahan dalam pernikahan bagai neraka ini sudah cukup membuat batin Lara tersiksa. Dia tidak sanggup membayangkan hal lebih buruk berkat kehadiran janin ini dalam rumah tangga mereka. 'Tapi setidaknya Alex harus bertanggung jawab, kan? Bagaimanapun ini adalah anaknya...' Lara lantas tersenyum lirih, merasa konyol karena pemikiran itu. Mendung hitam yang menggantung di langit seolah ikut mendukung kelamnya hati Lara saat ini. 'Apa yang harus kulakukan?' lirihnya sambil mengusap perut yang masih rata. Lara tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Alex saat mengetahui kehamilannya. 'Dia tidak mungkin mau menerima anak ini...' batin Lara pedih. Terbayang olehnya kejadian di malam pernikahan. Malam yang meninggalkan bekas trauma bagi Lara itu kini menumbuhkan kehidupan lain dalam rahimnya. 'Mereka tidak bersalah,' pikir Lar
Lima tahun kemudian... Langkah kaki Alex terdengar sesaat setelah dia keluar dari lift yang terbuka. Ia menyusuri lobi kantor JS Group sambil sesekali mengibaskan tangan ketika beberapa karyawan menyapa dan menunduk hormat padanya. Mereka sebenarnya tidak bisa menyembunyikan kekagetan melihat sosok sang CEO secara langsung sore ini. Biasanya bos besar mereka itu akan melewati lorong khusus eksekutif. Entah apa yang membuat seorang Jest Alexander Suh memilih jalan umum kali ini.Alex tak terlalu memusingkan pandangan bertanya-tanya yang mengikuti langkahnya. Dia malah terlihat lega karena setelah ini bisa pulang ke rumah dengan tenang. Sudah lepas lima tahun sejak Alex mengusir Lara pergi. Alex tidak pernah melihatnya lagi di sekitar sini atau kebetulan bertemu dengannya di tempat lain. Wanita itu pasti sudah lama pergi dengan selingkuhannya. Hanya itu kesimpulan yang ada di pikiran Alex selama ini.Alex hampir keluar dari lobi untuk masuk ke dalam mobil, tapi langkahnya terhenti saa
Setengah jam berlalu, seorang perempuan berambut panjang berlari memasuki teras instalasi gawat darurat, itu adalah Lara.Dia mendekat pada guru playground yang baru saja dia sapa sebagai Lily, yang memberi tahunya bahwa anaknya yang bernama Shenina sedang ditangani oleh tenaga medis."Maaf kami lalai, Bu Lara," ucap Lily seraya menunduk di depan Lara yang kedua bahunya jatuh.Lara tidak serta-merta memberinya jawaban karena kedua matanya mengarah lurus pada pintu ruang IGD yang tertutup. Di dalam sana, Lara yakin Shenina kecil sedang kesakitan."Apa yang terjadi, Miss Lily?" tanya Lara pada Lily dengan suara yang gemetar."Shenina tadi bertengkar dengan teman-temannya.""Shen bertengkar?" ulangi Lara, dia tidak percaya karena baginya Shenina adalah anak yang cenderung pendiam."Iya. Dia bertengkar dengan teman-temannya karena mereka bilang kalau ...." Ada jeda yang menjadi pertimbangan Lily, mimik wajahnya seperti bicara, 'Haruskah aku katakan ini?'Namun, akhirnya Lily mengaku, "Me
Sejak dulu, Lara sangat benci dengan Alex. Setelah sekian tahun berlalu, rasa benci itu masih sama besarnya.Lara tidak salah dengar saat Alex baru saja mengatakan agar Lara kembali ke rumahnya sebagai syarat dia akan menjadi pendonor untuk Shenina."Ibu tolong putuskan segera ya, anak anda butuh pertolongan dengan cepat. Kantong darah yang kami berikan untuknya itu kantong darah terakhir yang kami punya di rumah sakit ini."Dokter yang tadi bicara dengan Lara undur diri. Menyisakan dirinya yang berhadapan empat mata dengan lelaki yang paling dia benci di dunia ini.Alex menunggu jawaban Lara yang tersembunyi dalam diam, dia tak juga bicara, mereka diselubungi bisu meski kesibukan rumah sakit berlalu-lalang tanpa henti.Lara hengkang meninggalkan Alex, akan dia cari sendiri golongan darah yang sama dengan Shenina. Dia tidak membutuhkan bantuan lelaki arogan itu.Namun, langkah gelisahnya terhenti saat dia mendengar Alex yang berujar, "Putuskan Lara, kamu yang memegang hidup dan mati S
Tiga hari berlalu .... Setelah dirundung harap-harap cemas, akhirnya Lara bisa melihat Shenina sadar. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka mendapatkan stok darah cadangan yang sama dengan golongan darah Shenina sehingga Lara tak perlu mengkhawatirkan apapun.Anak gadisnya itu sekarang duduk di atas ranjang kamar rawatnya dengan berulang kali bertanya apa yang terjadi dengan kakinya yang digips, kenapa dibungkus seperti itu?"Mama, kenapa ini kakinya Shen?" tanyanya dengan lucunya."Sakit, Shen. Makanya kakinya Shen dikasih obat biar cepat sembuh. Ya?" rayu Lara karena Shenina ingin melepasnya."Iya, Mama.""Cepat sembuh, Sayang. Jangan sakit-sakit lagi!""Iya. Di mana kakak Neo?""Di rumah sama bu Alin, Shen." Alin yang dia katakan itu adalah nama pengasuh yang Lara minta untuk menjaga Neo saudara kembarnya Shenina, selama Lara jaga malam di rumah sakit."Shen tidur dulu ya? Ini sudah malam, Sayang."Lara mengusap puncak kepalanya dengan lembut, mengambil selimut untuk Shenina
Di dalam ruang CEO JS Group ....Alex yang tadinya duduk di balik meja kerjanya dan tengah menanda tangani soft file secara cepat mengangkat wajahnya.Itu disebabkan karena pintu ruangannya terbuka dengan sedikit kasar dan dia bisa menjumpai wajah seorang perempuan yang masuk dengan raut yang marah.Shiera, selingkuhan Alex. Napasnya naik turun tak beraturan saat sekretarisnya Alex yang bernama Ibra itu mencegahnya untuk tidak mendekat.Alex memutar kedua bola matanya dengan malas, dan itu bisa dilihat oleh Shiera yang tahu jika kehadirannya di sini tidak diinginkan atau disambut dengan baik."Beraninya kamu memasang wajah seperti itu padaku, Alex!" teriaknya marah, mendekat pada Alex yang sesegera mungkin ditahan oleh Ibra."Jangan membuat keributan di sini, Shiera! Keluarlah!"Ibra hampir menyeret Shiera keluar dari sini sebelum mendengar Alex yang mengatakan, "Biarkan dia bicara, Ibra! Tinggalkan kami!"Ibra memutar kepalanya pada Alex dengan tatapan yang seperti bicara, 'Serius?'A
Dengan langkah yang terasa gamang, Lara berjalan di sepanjang koridor yang mengantarnya menuju ke ruang ICU.Lara tidak sendirian melainkan dengan Alex yang berjalan di sebelah kanannya. Tidak ada yang bicara di antara mereka.Alex menyetujui Lara untuk datang ke sini dan melihat keadaan Shenina selepas percakapan mereka di lobi JS Group.Tidak ada yang bicara juga selama perjalanan mereka menuju ke tempat ini. Lalu-lalang tenaga medis dan pasien mengiringi mereka hingga sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Dari jendela besar yang ada di depan mereka, Lara menunjuk pada seorang anak perempuan yang terbaring dan memejamkan matanya. Tangan kecilnya diinfus dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya."Shenina di sana," ucap Lara lirih, tanpa memandang Alex.Alex melihatnya. Itu adalah gadis kecil yang sama yang hari itu dia selamatkan. Gadis kecil yang tangannya berbalut darah dan memanggilnya sebagai 'papa.'"Ya, aku melihatnya, Lara."Lara memandang Alex dari samping, tid
Alex menunduk dalam, wajahnya tidak terlihat. Hanya kedua bahunya yang sedikit berguncang karena tangis itulah yang tampak.Dia tidak mengatakan apapun setelah jatuh berlutut di depan Lara dan Neo.Alex meremas kedua tangannya saat irisnya yang kelam perlahan menatap Lara. Yang tidak tahu harus bersikap bagaimana melihat matanya yang dipenuhi oleh kabut sesal. Lara tidak penah melihatnya seperti ini, dulu sepanjang dia mengenal Alex. Matanya tertoreh sakit, dan itu saat dia mengaku salah di depan Lara karena keegoisan yang dia agungkan."Maaf, Lara. Maafkan aku ...." lirihnya hampir tak terdengar.Menunggu jawaban Lara, dadanya justru dipenuhi dengan jelaga.Meski mata mereka bersambut, tapi hati mereka tidak."Memaafkanmu sekarang pun tidak ada gunanya, seperti yang kamu bilang, Alex. Ini sudah terlambat.""Tidak, Lara. Tolong beri aku kesempatan. Maksudku ... aku tahu aku salah. Aku egois, aku akui itu."Lara tertawa pahit, dia mengangkat kedua bahunya sekilas saat menggantung jaw