Share

Bab 3 - Hati Yang Kau Patahkan Berulang Kali

Lara hamil. Sepasang anak kembar. Usia kandungannya ternyata sudah memasuki minggu keenam. 

Sungguh ... Lara tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Bertahan dalam pernikahan bagai neraka ini sudah cukup membuat batin Lara tersiksa. Dia tidak sanggup membayangkan hal lebih buruk berkat kehadiran janin ini dalam rumah tangga mereka. 

'Tapi setidaknya Alex harus bertanggung jawab, kan? Bagaimanapun ini adalah anaknya...' Lara lantas tersenyum lirih, merasa konyol karena pemikiran itu. 

Mendung hitam yang menggantung di langit seolah ikut mendukung kelamnya hati Lara saat ini. 'Apa yang harus kulakukan?' lirihnya sambil mengusap perut yang masih rata. Lara tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Alex saat mengetahui kehamilannya. 

'Dia tidak mungkin mau menerima anak ini...' batin Lara pedih. Terbayang olehnya kejadian di malam pernikahan. Malam yang meninggalkan bekas trauma bagi Lara itu kini menumbuhkan kehidupan lain dalam rahimnya. 'Mereka tidak bersalah,' pikir Lara. Kesadaran itu seketika meneguhkan hati Lara. Dia akan melindungi janin tidak berdosa itu terlepas dari Alex menyukainya atau tidak.

"Lara."

Lara segera menoleh ke sumber suara, di mana dia bisa menjumpai seorang pria berjas putih yang beberapa saat lalu memeriksa kandungannya. 

"Dokter Karel?" Lara menatap pria itu bingung, terheran-heran melihatnya berada di halte bus yang sepi itu.

Sebenarnya jauh sebelum bertemu di rumah sakit, Lara sudah mengenal pria itu karena mereka kuliah di universitas yang sama. Terlebih lagi, sosok Karel cukup terkenal karena pernah menjabat sebagai Ketua BEM.

Tadi Karel menawarkan diri untuk mengantar Lara pulang, tapi Lara segera menolak tawarannya. 

"Dompetmu jatuh di ruanganku."

Sebuah dompet berwarna hitam ada di tangan Karel dan memang itu benar dompet milik Lara. Ia lantas menerimanya dengan tak enak hati.

"Terima kasih, Dokter Karel. Maaf sudah merepotkan Anda."  

"Tidak masalah," sahut Karel ringan. "Busnya belum datang?"

Karel duduk di sebelah Lara yang menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala, menolak tatap mata Karel yang menerpanya dengan teduh.

"Aku tidak keberatan loh kalau kamu ikut pulang denganku. Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu kok, terima kasih untuk tawarannya," tolak Lara lagi dengan sungkan.

"Kamu ada masalah? Kamu kelihatan sangat tertekan."

Lara meremas jari-jari kecilnya yang berpangku di atas paha. Menimbang haruskah dia menjawab Karel, mengingat Lara tidak bisa mengatakan banyak hal tentang Alex.

Alis Karel berkerut melihat reaksi Lara yang tampak ketakutan, pupil matanya bergerak tidak nyaman dan gugup. Matanya yang cekung dan wajahnya yang kecil itu tak bisa berbohong.

Sebelum Lara menjawab, dia lebih dulu melihat sebuah mobil sedan berhenti di depan halte. Sosok yang sangat ia kenal keluar dari sana. 

Alex. 

Lara seketika menelan ludah saat melihat sosok itu berjalan mendekat ke arah mereka. Setiap jengkal langkah yang dia ambil membuat nyali Lara seakan menciut.

Apalagi wajah dingin lelaki itu mengatakan segalanya. Dia jelas-jelas tidak suka dengan yang Lara lakukan. Matanya yang tajam memindai Lara, sebelum beralih pada Karel dengan alis yang sedikit berkerut.

Lara menyapukan pandang pada ekspresi dua lelaki itu. Alex yang garis dagunya mengeras, dan Karel yang kedua alisnya berkerut mencoba meraba ketegangan apa yang terjadi di sekitarnya bahkan sebelum Alex mengatakan apapun.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Bukankah seharusnya Lara yang bertanya demikian? Tapi ia segera menepis pertanyaan itu dan berusaha memulihkan kekagetannya. Lara melirik Alex yang masih menatapnya tajam, lalu segera menunduk karena seketika merasa terintimidasi. 

Gerak-gerik gelisah itu tidak luput dari perhatian Karel. Dia pun memutuskan untuk memperkenalkan diri lebih dulu. 

"Anda suaminya Lara? Saya—"

"Jadi kamu berselingkuh dengannya, Lara?" sela Alex, tidak mengindahkan Karel sama sekali. Netra sekelam malam itu lebih memilih menatap wanita yang masih kelihatan gugup di hadapannya.

Satu pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuduhan itu berhasil membuat Karel bangun dari duduknya seraya bertanya, "Apa maksudmu kami selingkuh?"

Tapi Alex tak acuh padanya dan lebih memilih untuk mendengar Lara bicara.

"T-tidak. Ini temanku. Namanya—"

"Aku tidak ingin tahu namanya, dan aku tidak peduli kamu berhubungan dengan pria lain. Tapi jangan sampai kamu mencoreng nama baikku karena ketahuan bermesraan dengan pria yang bukan suamimu di tempat umum."

Lara tercengang. Belum sempat membantah tuduhan itu, Alex langsung berlalu pergi begitu saja. Benar-benar tidak berminat untuk mendengarkan penjelasan Lara, atau alasan dia ada di sini. 

"Maaf, aku harus pergi."

Lara menundukkan sedikit kepala pada Karel sebelum dia berlari kecil untuk masuk ke dalam taksi yang datang dari arah barat. Dia harus pulang dan menjelaskan apa yang terjadi sebelum Alex melakukan hal buruk karena kesalahpahamannya.

Saat Lara sampai di rumah, Alex ada di sana, di dekat anak tangga dan bersedekap melihat kedatangannya.

"Kamu masih punya muka untuk pulang ke sini? Kenapa kamu tidak pulang ke rumah selingkuhanmu itu?"

"Aku tidak berselingkuh dengannya," bantah Lara segera. Bisa-bisanya Alex menuduh Lara semudah itu tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dahulu?

"Aku diam saja saat kamu melakukan apapun yang kamu suka dengan membawa perempuan lain keluar masuk rumah ini. Tapi dengan hanya melihatku bersama Karel saja kamu sudah menuduh kami berselingkuh? Kamu benar-benar tidak adil!" 

Entah apa yang merasuki Lara saat itu. Ini pertama kalinya dia berani menyuarakan isi hatinya dengan gamblang. 

Dan seperti sebuah pukulan telak, Alex tersinggung mendengarnya. Lara terlambat menyadari langkah cepat pria itu. Lara tak bisa menghindar kala jemari tangan Alex meraih dagunya dengan kasar.

"Kamu berani menjawabku sekarang?!"

Tidak mengindahkan rasa sakit pada dagunya, Lara berkata dengan lantang. "Aku tahu kamu tidak menganggap pernikahan ini, tapi bukan berarti kamu bisa menilaiku sesuka hatimu, Alex!"

"Tidak tahu diri!" berang Alex. Ia melepas cengkeraman tangannya hingga membuat tubuh ringkih Lara terhuyung hampir kehilangan keseimbangan. 

Kedua tangan Lara terkepal, segala umpatan tertahan hanya sampai di tenggorokannya. Sejenak matanya terpejam sebelum akhirnya terangkat untuk membalas tatap mata Alex.

"Berhenti membuatku kesal, Lara! Atau aku akan membuat ayahmu itu memohon di kakiku karena dia kembali bangkrut. Hidup kalian itu bergantung padaku. Jadi jangan berani kamu mengatur apa yang ingin aku lakukan. Aku berhak—"

"STOP!"

Jeritan Lara serak dan putus asa. Memotong Alex yang belum selesai bicara.

"Aku pergi ke rumah sakit karena aku—"

"Bertemu dengan selingkuhanmu, 'kan? Kamu—"

"Diam dan dengarkan aku bicara, Tuan Alex yang terhormat! Kamu sudah banyak bicara jadi kali ini dengarkan aku!"

Rahang Alex menegang, kebenciannya pada Lara tampak semakin jelas karena Lara berani memberinya perlawanan.

"Aku hamil, Alex."

Suara Lara gemetar, gurat kemarahan tertahan di kedua bibirnya. Lara berusaha setengah mati menahan air mata di pelupuk matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. 

Namun, pengakuan Lara hanya dianggap sebagai sebuah kebohongan. Alex mendenguskan tawa sinis.

"Hamil?" tanyanya. Matanya berkilat saat menatap Lara. "Lebih pintarlah sedikit kalau bohong! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan dengan mengatakan itu? Kamu ingin simpati dariku? Jangan harap!"

Lara tak tahu harus mengatakan apa. Hati pria di hadapannya ini tampaknya sudah mati!

"Kalaupun kamu benar hamil, tidak ada yang bisa menjamin itu adalah anakku. Bisa saja itu anak selingkuhanmu."

Lara merasa kebas sekujur badan. Dia pikir Alex akan menunjukkan perubahan meski sangat kecil. Kini dia merasa sangat bodoh karena sudah berpikiran seperti itu.

Bukannya melunak, Alex malah semakin menunjukkan betapa tidak punya hatinya dia.

Lara sadar, tidak akan pernah ada secuil belas kasih untuknya dari Alex. Dia tidak akan pernah diinginkan oleh suaminya sendiri.

Kedua netranya basah saat memandang Alex. Belum sempat mengatakan apapun, lelaki itu lebih dulu meraih pergelangan tangannya, menyeretnya berjalan pergi dari ruang tamu.

"Akh, lepas, Alex! Sakit!" rintih Lara sambil berusaha melepas tangan yang mencengkeramnya kuat.

Namun, Lara tak digubris. Wanita itu pontang-panting menyeimbangi langkah kaki Alex hingga dia membuka pintu rumah. Alex mendorongnya keluar hingga jatuh bersimpuh di lantai yang dingin. Kilat putih dan tempias hujan menyambut Lara yang hatinya dipatahkan secara berulang.

"Jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku! Pergi kamu dari rumahku!"

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ukhty Lia
baru kali ini di awal cerita, bikin nangis
goodnovel comment avatar
Susan Zahra
alex gk punya hati,kejaaaaaammmm......
goodnovel comment avatar
Daffodil 🌺🍀🍁🍂
boleh santet alex gak?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status