Lara hamil. Sepasang anak kembar. Usia kandungannya ternyata sudah memasuki minggu keenam.
Sungguh ... Lara tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Bertahan dalam pernikahan bagai neraka ini sudah cukup membuat batin Lara tersiksa. Dia tidak sanggup membayangkan hal lebih buruk berkat kehadiran janin ini dalam rumah tangga mereka. 'Tapi setidaknya Alex harus bertanggung jawab, kan? Bagaimanapun ini adalah anaknya...' Lara lantas tersenyum lirih, merasa konyol karena pemikiran itu. Mendung hitam yang menggantung di langit seolah ikut mendukung kelamnya hati Lara saat ini. 'Apa yang harus kulakukan?' lirihnya sambil mengusap perut yang masih rata. Lara tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Alex saat mengetahui kehamilannya. 'Dia tidak mungkin mau menerima anak ini...' batin Lara pedih. Terbayang olehnya kejadian di malam pernikahan. Malam yang meninggalkan bekas trauma bagi Lara itu kini menumbuhkan kehidupan lain dalam rahimnya. 'Mereka tidak bersalah,' pikir Lara. Kesadaran itu seketika meneguhkan hati Lara. Dia akan melindungi janin tidak berdosa itu terlepas dari Alex menyukainya atau tidak."Lara."Lara segera menoleh ke sumber suara, di mana dia bisa menjumpai seorang pria berjas putih yang beberapa saat lalu memeriksa kandungannya. "Dokter Karel?" Lara menatap pria itu bingung, terheran-heran melihatnya berada di halte bus yang sepi itu.Sebenarnya jauh sebelum bertemu di rumah sakit, Lara sudah mengenal pria itu karena mereka kuliah di universitas yang sama. Terlebih lagi, sosok Karel cukup terkenal karena pernah menjabat sebagai Ketua BEM.Tadi Karel menawarkan diri untuk mengantar Lara pulang, tapi Lara segera menolak tawarannya. "Dompetmu jatuh di ruanganku."Sebuah dompet berwarna hitam ada di tangan Karel dan memang itu benar dompet milik Lara. Ia lantas menerimanya dengan tak enak hati."Terima kasih, Dokter Karel. Maaf sudah merepotkan Anda." "Tidak masalah," sahut Karel ringan. "Busnya belum datang?"Karel duduk di sebelah Lara yang menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala, menolak tatap mata Karel yang menerpanya dengan teduh."Aku tidak keberatan loh kalau kamu ikut pulang denganku. Aku akan mengantarmu.""Tidak perlu kok, terima kasih untuk tawarannya," tolak Lara lagi dengan sungkan."Kamu ada masalah? Kamu kelihatan sangat tertekan."Lara meremas jari-jari kecilnya yang berpangku di atas paha. Menimbang haruskah dia menjawab Karel, mengingat Lara tidak bisa mengatakan banyak hal tentang Alex.Alis Karel berkerut melihat reaksi Lara yang tampak ketakutan, pupil matanya bergerak tidak nyaman dan gugup. Matanya yang cekung dan wajahnya yang kecil itu tak bisa berbohong.Sebelum Lara menjawab, dia lebih dulu melihat sebuah mobil sedan berhenti di depan halte. Sosok yang sangat ia kenal keluar dari sana. Alex. Lara seketika menelan ludah saat melihat sosok itu berjalan mendekat ke arah mereka. Setiap jengkal langkah yang dia ambil membuat nyali Lara seakan menciut.Apalagi wajah dingin lelaki itu mengatakan segalanya. Dia jelas-jelas tidak suka dengan yang Lara lakukan. Matanya yang tajam memindai Lara, sebelum beralih pada Karel dengan alis yang sedikit berkerut.Lara menyapukan pandang pada ekspresi dua lelaki itu. Alex yang garis dagunya mengeras, dan Karel yang kedua alisnya berkerut mencoba meraba ketegangan apa yang terjadi di sekitarnya bahkan sebelum Alex mengatakan apapun."Apa yang kamu lakukan di sini?"Bukankah seharusnya Lara yang bertanya demikian? Tapi ia segera menepis pertanyaan itu dan berusaha memulihkan kekagetannya. Lara melirik Alex yang masih menatapnya tajam, lalu segera menunduk karena seketika merasa terintimidasi. Gerak-gerik gelisah itu tidak luput dari perhatian Karel. Dia pun memutuskan untuk memperkenalkan diri lebih dulu. "Anda suaminya Lara? Saya—""Jadi kamu berselingkuh dengannya, Lara?" sela Alex, tidak mengindahkan Karel sama sekali. Netra sekelam malam itu lebih memilih menatap wanita yang masih kelihatan gugup di hadapannya.
Satu pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuduhan itu berhasil membuat Karel bangun dari duduknya seraya bertanya, "Apa maksudmu kami selingkuh?"Tapi Alex tak acuh padanya dan lebih memilih untuk mendengar Lara bicara."T-tidak. Ini temanku. Namanya—""Aku tidak ingin tahu namanya, dan aku tidak peduli kamu berhubungan dengan pria lain. Tapi jangan sampai kamu mencoreng nama baikku karena ketahuan bermesraan dengan pria yang bukan suamimu di tempat umum."Lara tercengang. Belum sempat membantah tuduhan itu, Alex langsung berlalu pergi begitu saja. Benar-benar tidak berminat untuk mendengarkan penjelasan Lara, atau alasan dia ada di sini. "Maaf, aku harus pergi."Lara menundukkan sedikit kepala pada Karel sebelum dia berlari kecil untuk masuk ke dalam taksi yang datang dari arah barat. Dia harus pulang dan menjelaskan apa yang terjadi sebelum Alex melakukan hal buruk karena kesalahpahamannya.Saat Lara sampai di rumah, Alex ada di sana, di dekat anak tangga dan bersedekap melihat kedatangannya."Kamu masih punya muka untuk pulang ke sini? Kenapa kamu tidak pulang ke rumah selingkuhanmu itu?""Aku tidak berselingkuh dengannya," bantah Lara segera. Bisa-bisanya Alex menuduh Lara semudah itu tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dahulu?"Aku diam saja saat kamu melakukan apapun yang kamu suka dengan membawa perempuan lain keluar masuk rumah ini. Tapi dengan hanya melihatku bersama Karel saja kamu sudah menuduh kami berselingkuh? Kamu benar-benar tidak adil!" Entah apa yang merasuki Lara saat itu. Ini pertama kalinya dia berani menyuarakan isi hatinya dengan gamblang. Dan seperti sebuah pukulan telak, Alex tersinggung mendengarnya. Lara terlambat menyadari langkah cepat pria itu. Lara tak bisa menghindar kala jemari tangan Alex meraih dagunya dengan kasar."Kamu berani menjawabku sekarang?!"Tidak mengindahkan rasa sakit pada dagunya, Lara berkata dengan lantang. "Aku tahu kamu tidak menganggap pernikahan ini, tapi bukan berarti kamu bisa menilaiku sesuka hatimu, Alex!""Tidak tahu diri!" berang Alex. Ia melepas cengkeraman tangannya hingga membuat tubuh ringkih Lara terhuyung hampir kehilangan keseimbangan. Kedua tangan Lara terkepal, segala umpatan tertahan hanya sampai di tenggorokannya. Sejenak matanya terpejam sebelum akhirnya terangkat untuk membalas tatap mata Alex."Berhenti membuatku kesal, Lara! Atau aku akan membuat ayahmu itu memohon di kakiku karena dia kembali bangkrut. Hidup kalian itu bergantung padaku. Jadi jangan berani kamu mengatur apa yang ingin aku lakukan. Aku berhak—""STOP!"Jeritan Lara serak dan putus asa. Memotong Alex yang belum selesai bicara."Aku pergi ke rumah sakit karena aku—""Bertemu dengan selingkuhanmu, 'kan? Kamu—""Diam dan dengarkan aku bicara, Tuan Alex yang terhormat! Kamu sudah banyak bicara jadi kali ini dengarkan aku!"Rahang Alex menegang, kebenciannya pada Lara tampak semakin jelas karena Lara berani memberinya perlawanan."Aku hamil, Alex."Suara Lara gemetar, gurat kemarahan tertahan di kedua bibirnya. Lara berusaha setengah mati menahan air mata di pelupuk matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Namun, pengakuan Lara hanya dianggap sebagai sebuah kebohongan. Alex mendenguskan tawa sinis."Hamil?" tanyanya. Matanya berkilat saat menatap Lara. "Lebih pintarlah sedikit kalau bohong! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan dengan mengatakan itu? Kamu ingin simpati dariku? Jangan harap!"Lara tak tahu harus mengatakan apa. Hati pria di hadapannya ini tampaknya sudah mati!"Kalaupun kamu benar hamil, tidak ada yang bisa menjamin itu adalah anakku. Bisa saja itu anak selingkuhanmu."Lara merasa kebas sekujur badan. Dia pikir Alex akan menunjukkan perubahan meski sangat kecil. Kini dia merasa sangat bodoh karena sudah berpikiran seperti itu.Bukannya melunak, Alex malah semakin menunjukkan betapa tidak punya hatinya dia.Lara sadar, tidak akan pernah ada secuil belas kasih untuknya dari Alex. Dia tidak akan pernah diinginkan oleh suaminya sendiri.Kedua netranya basah saat memandang Alex. Belum sempat mengatakan apapun, lelaki itu lebih dulu meraih pergelangan tangannya, menyeretnya berjalan pergi dari ruang tamu."Akh, lepas, Alex! Sakit!" rintih Lara sambil berusaha melepas tangan yang mencengkeramnya kuat.Namun, Lara tak digubris. Wanita itu pontang-panting menyeimbangi langkah kaki Alex hingga dia membuka pintu rumah. Alex mendorongnya keluar hingga jatuh bersimpuh di lantai yang dingin. Kilat putih dan tempias hujan menyambut Lara yang hatinya dipatahkan secara berulang."Jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku! Pergi kamu dari rumahku!"Lima tahun kemudian... Langkah kaki Alex terdengar sesaat setelah dia keluar dari lift yang terbuka. Ia menyusuri lobi kantor JS Group sambil sesekali mengibaskan tangan ketika beberapa karyawan menyapa dan menunduk hormat padanya. Mereka sebenarnya tidak bisa menyembunyikan kekagetan melihat sosok sang CEO secara langsung sore ini. Biasanya bos besar mereka itu akan melewati lorong khusus eksekutif. Entah apa yang membuat seorang Jest Alexander Suh memilih jalan umum kali ini.Alex tak terlalu memusingkan pandangan bertanya-tanya yang mengikuti langkahnya. Dia malah terlihat lega karena setelah ini bisa pulang ke rumah dengan tenang. Sudah lepas lima tahun sejak Alex mengusir Lara pergi. Alex tidak pernah melihatnya lagi di sekitar sini atau kebetulan bertemu dengannya di tempat lain. Wanita itu pasti sudah lama pergi dengan selingkuhannya. Hanya itu kesimpulan yang ada di pikiran Alex selama ini.Alex hampir keluar dari lobi untuk masuk ke dalam mobil, tapi langkahnya terhenti saa
Setengah jam berlalu, seorang perempuan berambut panjang berlari memasuki teras instalasi gawat darurat, itu adalah Lara.Dia mendekat pada guru playground yang baru saja dia sapa sebagai Lily, yang memberi tahunya bahwa anaknya yang bernama Shenina sedang ditangani oleh tenaga medis."Maaf kami lalai, Bu Lara," ucap Lily seraya menunduk di depan Lara yang kedua bahunya jatuh.Lara tidak serta-merta memberinya jawaban karena kedua matanya mengarah lurus pada pintu ruang IGD yang tertutup. Di dalam sana, Lara yakin Shenina kecil sedang kesakitan."Apa yang terjadi, Miss Lily?" tanya Lara pada Lily dengan suara yang gemetar."Shenina tadi bertengkar dengan teman-temannya.""Shen bertengkar?" ulangi Lara, dia tidak percaya karena baginya Shenina adalah anak yang cenderung pendiam."Iya. Dia bertengkar dengan teman-temannya karena mereka bilang kalau ...." Ada jeda yang menjadi pertimbangan Lily, mimik wajahnya seperti bicara, 'Haruskah aku katakan ini?'Namun, akhirnya Lily mengaku, "Me
Sejak dulu, Lara sangat benci dengan Alex. Setelah sekian tahun berlalu, rasa benci itu masih sama besarnya.Lara tidak salah dengar saat Alex baru saja mengatakan agar Lara kembali ke rumahnya sebagai syarat dia akan menjadi pendonor untuk Shenina."Ibu tolong putuskan segera ya, anak anda butuh pertolongan dengan cepat. Kantong darah yang kami berikan untuknya itu kantong darah terakhir yang kami punya di rumah sakit ini."Dokter yang tadi bicara dengan Lara undur diri. Menyisakan dirinya yang berhadapan empat mata dengan lelaki yang paling dia benci di dunia ini.Alex menunggu jawaban Lara yang tersembunyi dalam diam, dia tak juga bicara, mereka diselubungi bisu meski kesibukan rumah sakit berlalu-lalang tanpa henti.Lara hengkang meninggalkan Alex, akan dia cari sendiri golongan darah yang sama dengan Shenina. Dia tidak membutuhkan bantuan lelaki arogan itu.Namun, langkah gelisahnya terhenti saat dia mendengar Alex yang berujar, "Putuskan Lara, kamu yang memegang hidup dan mati S
Tiga hari berlalu .... Setelah dirundung harap-harap cemas, akhirnya Lara bisa melihat Shenina sadar. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka mendapatkan stok darah cadangan yang sama dengan golongan darah Shenina sehingga Lara tak perlu mengkhawatirkan apapun.Anak gadisnya itu sekarang duduk di atas ranjang kamar rawatnya dengan berulang kali bertanya apa yang terjadi dengan kakinya yang digips, kenapa dibungkus seperti itu?"Mama, kenapa ini kakinya Shen?" tanyanya dengan lucunya."Sakit, Shen. Makanya kakinya Shen dikasih obat biar cepat sembuh. Ya?" rayu Lara karena Shenina ingin melepasnya."Iya, Mama.""Cepat sembuh, Sayang. Jangan sakit-sakit lagi!""Iya. Di mana kakak Neo?""Di rumah sama bu Alin, Shen." Alin yang dia katakan itu adalah nama pengasuh yang Lara minta untuk menjaga Neo saudara kembarnya Shenina, selama Lara jaga malam di rumah sakit."Shen tidur dulu ya? Ini sudah malam, Sayang."Lara mengusap puncak kepalanya dengan lembut, mengambil selimut untuk Shenina
Di dalam ruang CEO JS Group ....Alex yang tadinya duduk di balik meja kerjanya dan tengah menanda tangani soft file secara cepat mengangkat wajahnya.Itu disebabkan karena pintu ruangannya terbuka dengan sedikit kasar dan dia bisa menjumpai wajah seorang perempuan yang masuk dengan raut yang marah.Shiera, selingkuhan Alex. Napasnya naik turun tak beraturan saat sekretarisnya Alex yang bernama Ibra itu mencegahnya untuk tidak mendekat.Alex memutar kedua bola matanya dengan malas, dan itu bisa dilihat oleh Shiera yang tahu jika kehadirannya di sini tidak diinginkan atau disambut dengan baik."Beraninya kamu memasang wajah seperti itu padaku, Alex!" teriaknya marah, mendekat pada Alex yang sesegera mungkin ditahan oleh Ibra."Jangan membuat keributan di sini, Shiera! Keluarlah!"Ibra hampir menyeret Shiera keluar dari sini sebelum mendengar Alex yang mengatakan, "Biarkan dia bicara, Ibra! Tinggalkan kami!"Ibra memutar kepalanya pada Alex dengan tatapan yang seperti bicara, 'Serius?'A
Dengan langkah yang terasa gamang, Lara berjalan di sepanjang koridor yang mengantarnya menuju ke ruang ICU.Lara tidak sendirian melainkan dengan Alex yang berjalan di sebelah kanannya. Tidak ada yang bicara di antara mereka.Alex menyetujui Lara untuk datang ke sini dan melihat keadaan Shenina selepas percakapan mereka di lobi JS Group.Tidak ada yang bicara juga selama perjalanan mereka menuju ke tempat ini. Lalu-lalang tenaga medis dan pasien mengiringi mereka hingga sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Dari jendela besar yang ada di depan mereka, Lara menunjuk pada seorang anak perempuan yang terbaring dan memejamkan matanya. Tangan kecilnya diinfus dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya."Shenina di sana," ucap Lara lirih, tanpa memandang Alex.Alex melihatnya. Itu adalah gadis kecil yang sama yang hari itu dia selamatkan. Gadis kecil yang tangannya berbalut darah dan memanggilnya sebagai 'papa.'"Ya, aku melihatnya, Lara."Lara memandang Alex dari samping, tid
Alex menunduk dalam, wajahnya tidak terlihat. Hanya kedua bahunya yang sedikit berguncang karena tangis itulah yang tampak.Dia tidak mengatakan apapun setelah jatuh berlutut di depan Lara dan Neo.Alex meremas kedua tangannya saat irisnya yang kelam perlahan menatap Lara. Yang tidak tahu harus bersikap bagaimana melihat matanya yang dipenuhi oleh kabut sesal. Lara tidak penah melihatnya seperti ini, dulu sepanjang dia mengenal Alex. Matanya tertoreh sakit, dan itu saat dia mengaku salah di depan Lara karena keegoisan yang dia agungkan."Maaf, Lara. Maafkan aku ...." lirihnya hampir tak terdengar.Menunggu jawaban Lara, dadanya justru dipenuhi dengan jelaga.Meski mata mereka bersambut, tapi hati mereka tidak."Memaafkanmu sekarang pun tidak ada gunanya, seperti yang kamu bilang, Alex. Ini sudah terlambat.""Tidak, Lara. Tolong beri aku kesempatan. Maksudku ... aku tahu aku salah. Aku egois, aku akui itu."Lara tertawa pahit, dia mengangkat kedua bahunya sekilas saat menggantung jaw
Dari kursi ruang tunggu yang ada di depan ICU, Lara terbuka lebar kedua matanya mendengar apa yang dikatakan oleh Karel.Karel ke sini sesaat setelah Alex pergi meninggalkan Lara dengan berpamitan membelikan makanan.Dia melihat keadaan Shenina sejenak sebelum mengambil duduk di sebelah Lara. Tidak banyak yang dikatakan oleh Karel sampai ajakan menikah itu tiba di telinga Lara.Memang ini bukan untuk yang pertama kalinya. Tapi sekarang, Karel memiliki alasan yang lebih kuat. Itu karena sakitnya Shenina, anak gadisnya yang membutuhkan sosok 'papa' dan Karel maju untuk mewujudkan keinginannya."Dokter Karel tahu kita tidak bisa melakukan itu, 'kan?" tanya Lara seraya membuang napasnya dengan tidak nyaman."Kenapa kita tidak bisa melakukan itu, Lara? Maksudmu kita tidak bisa menikah?""Iya," jawab Lara singkat, yang tak memuaskan bagi Karel."Ada perempuan yang dijodohkan sama Dokter Karel. Kita tidak bisa menikah."Karel menggeleng, ada penolakan yang besar di kedua matanya."Tidak, Lar