Share

Bab 4

Bab 4 Mantan Istri Yang Kuhina Jadi Nyonya

Kacang Lupa Kulitnya

Namaku Alya, lengkapnya Alya Putri rohali, usiaku saat ini 25 tahun. Karena keadaan ekonomi keluargaku yang berada di bawah garis yang jauh dari kata berkecukupan, aku terpaksa tak melanjutkan sekolahku dan hanya lulus SMP. Setelah lulus aku memberanikan diri untuk mengadu nasip di kota walau hanya berbekal ijasah SMP.

Aku kemudian bekerja di sebuah rumah makan yang berada di kawasan sebuah pabrik, alhamdulilah walau gaji tak seberapa tapi paling gak aku bisa meringankan beban Budeku, orang yang merawat dan membesarkan aku sejak orang tuaku meninggal.

Dari sinilah aku mengenal Bang Aldi, meski dia bukan satu-satunya lelaki yang aku kenal dan mencoba dekat denganku. Namun, bagiku Bang Aldi yang paling istimewa, dia sosok pekerja keras dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Kami saling bertukar cerita tentang kehidupan kami masing-masih hingga aku merasa nyaman denganya. Setelah merasa cocok satu sama lain kamipun menikah.

_______

Awal pernikahan kami lalui dengan suka cita selayaknya pengantin baru hingga seminggu kemudian.

"Dik kita tunda punya anak dulu ya, kamu minum pill saja biar gak cepat hamil," ujar Bang Aldi saat kami baru saja selesai melakukan ritual malam jumat.

"Tapi kenapa Bang?" tanyaku bingung.

"Abang mau kuliah dulu Dik, mau punya rumah dulu, punya jabatan baru kita punya anak. Kalau punya anak dulu kan ribet ngurus anak dan kamu gak bisa kerja."

Aku diam, meski dihati ada pergolakan batin namun aku mengangguk juga menyetujuai rencana Bang Aldi. Apalagi Bang Aldi juga mengatakan kalau semua ini juga demi masa depan kami.

Bulan-bulan selanjutnya aku bekerja membanting tulang untuk membantu biaya kuliah Bang Aldi, apalagi saat pabrik surut dan Bang Aldi jarang lembur. Gaji Bang Aldi berkurang dan sebenarnya hanya cukup buat makan. Namun, keinginan Bang Aldi yang kuat untuk merubah nasib kami membuat aku semangat membantunya. Aku juga menjadi buruh cuci, gosok demi biaya kuliah Bang Aldi. Rela mengikat perut, rela menahan keinginan hanya sekedar untuk membeli sepotong daster dan bedak demi untuk bayar uang semester. Bagiku kuliah Bang Aldi lebih penting dari apapun bahkan perutpun sering ku ikat untuk menahan lapar asal Bang Aldi lulus kuliah dan kehidupan kami berubah.

Alhamdulilah perjuangan kami tak sia-sia, Bang Aldi lulus jadi sarjana bersamaan kembali membaiknya perusahaan tempat Bang Aldi bekerja dan atas izin Allah, Bang Aldi diangkat menjadi manager walau harus pindah tempat.

"Alhamdulilah ya Bang, akhirnya cita-cita Abang tercapai juga," ujarku bahagia. Namun, tidak begitu dengan Bang Aldi dia tampak murung.

"Dik, pinjam sertifikat rumah kamu ya."

"Untuk apa Bang?"

"Abang mau pinjam uang di Bank, Abang mau beli motor gede dan buat dp ambil perumnas, malu dik, masa manager naik angkutan umum."

"Ya kan masih baru Bang, ya wajarlah kalau belum punya apa-apa," ujarku datar.

Prak

Bang Aldi menggebrak meja hingga nasi goreng di piring dan kopi di hadapanya tumpah.

"Kamu tu gak paham pesaingan, manager harus kelihatan smart dan kaya biar di hormati, beda dengan kamu yang hanya buruh dan lulusan SMP, mana ngerti persaingan sosial. Kalau kamu pakai daster bolong juga orang gak akan komen."

Aku hanya menghela napas saja mendengar ucapan Bang Aldi, gak menyangka dia berubah secepat itu. Setelah didesak beberapa kali aku mau memberikan sertifikat rumah peninggalan orang tuaku satu-satunya itu. Namun, tiga bulan kemudian di sita karena hutang yang semakin membengkak di bank.

Sikap Bang Aldi semakin hari semakin berubah, tak pernah lagi dia bersikap manis padaku, padahal aku ikut berjuang hingga dia sukses seperti sekarang ini, semua seolah tiada artinya.

"Kamu kalau ada teman-temanku, jangan ngaku kalau kamu istriku!" seru Bang Aldi mengingatkan.

"Tapi kenapa Bang?"

"Malulah aku punya istri dekil seperti kamu, istri temanku tu cantik-cantik, pinter-pinter, la kamu cuma lulus SMP."

Aku memilih diam untuk menghindari pertengkaran. Walau, sungguh hati ini terasa perih bagai di cabik- cabiik oleh kata-kata tajam Bang Aldi barusan.

Suatu hari teman-teman Bang Aldi datang, aku sebagai istri tentu senang teman suamiku datang. Aku membelikan banyak makanan dan minuman untuk tamu-tamuku. Namun, saat selesai meletakkan minuman dan makanan kecil dan aku hendak ikut duduk, Bang Aldi langsung memberi kode padaku untuk pergi.

"Mbak, ada es gak, panas ni?" tanya salah seorang teman Bang Aldi. Aku merasa teman Bang Aldi ini seperti menganggap aku pembantu. Entah perasaanku saja atau memang karena penampilanku yang sederhana ini, jadi aku di anggap pembantu.

"A-ada Mas, bentar saya ambilkan," ujarku pada mereka.

Beberapa menit kemudian aku kembali dengan beberapa gelas minuman dingin namun saat beralan aku kurang hati-hati dan hampir jatuh. Namun, minuman yang kubawa justru tumpah dan mengenai baju salah seorang teman Mas Aldi.

"Sory,Bro. Pembantuku itu memang gak guna," kata Bang Aldi. Aku tertegun mendengar ucapan Bang Aldi barusan. Ya Allah jadi suamiku bilang ke teman-temanya kalau aku ini pembantu.

"Ma-maaf Mas," ujarku setengah menunduk, mati -matian aku menahan air mataku yang hendak mendesak keluar. Kuambil tisu bermaksud membersihkan baju teman Bang Aldi.

"Hai perempuan kampung! Sadar diri dong, kamu jangan kurang ajar sama tamuku. Ingat kamu tu cuma pembantu di rumah ini!" Seru Mas Aldi yang kata-katanya kurasakan bagai ratusan belati yang mencabik-cabik hatiku hingga hancur luluh tak besisa, sakit tak terkira.

Hati wanita mana yang terima di perlakukan seperti ini?

Apa dia lupa akan perjuanganku selama ini demi kesuksesanya?

"Sudah Mbak, gak papa kok," ujar teman Bang Aldi sopan. Mataku mulai memanas dan kurasa butiran air mata ini sebentar lagi akan tumpah.

"Sudah kamu kebelakang, ambil sapu! Bersihkan lantainya, pembantu, kerja gitu saja gak becus. Mau ku pecat?!" ujar Bang Aldi dengan nada selayaknya majikan berujar kepembantunya.

Jujur aku ingin teriak ke teman-teman suamiku agar Bang Aldi tak terlena dengan sikap jumawanya. Namun, lidahku kelu, luka yang di toreh suamiku barusan membuat aku lemah tak betenaga.Walau, sekedar untuk bersuara.

_______

Kutumpahkan segala kepedihan dan lara hati ini di kamar, air mataku tumpah membasahi bantal.

"Ya Tuhan kenapa dia tega padaku, apa dia lupa perjuanganku Ya Allah, demi dia aku rela menahan lapar, menahan keinginan untuk sekedar membeli sepotong daster yang harganya gak sampai 50 ribu demi membantu sekolahnya. Namun, setelah sukses, begini balasanya Ya Allah," rintihku.

Beberapa menit kemudian Bang Aldi masuk kamar. Namun, bukanya minta maaf atas luka yang dia torehkan dia malah menorehkan luka yang baru dan pertengkaran pun terjadi di antara kami dan berakhir dengan diriku yang meminta cerai dari suamiku.

"Aku pamit Bang, maaf jika aku belum jadi istri yang baik untukmu selama ini," ujarku berpamitan setelah aku memutuskan untuk bercerai dari suamiku.

Seperti biasa lelaki itu tetap pada sikap jumawanya.

"Terserah, awas kalau kamu balik lagi kesini! Wanita bod*h seperti kamu, bisa tahah berapa lama hidup tanpa aku. Mau kerja apa kamu di luar sana?!"

Tak kuhiraukan kata-kata ketus Bang Aldi yang bahkan masih terdengar mengumpatku dibalik pagar. Tekadku sudah bulat, aku sudah capek dihina dan direndahkan seperti ini. Lebih baik aku pergi. Walau, tak tahu kemana kakiku akan melangkah. Aku tak punya arah tujuan, aku juga tak membawa uang kecuali uang sisa belanjaku tadi siang yang mungkin jumlahnnya tak sampai seratus ribu.

Di tengah-tengah rasa bimbang kemana aku harus melangkahkan kakiku tiba-tiba.

Cit,

Bunyi ban bergesekan dengan aspal dan Brak...

"Ya Tuhan."

Semua menjadi gelap.

Aduh, Alya kenapa ini?

Tap love dan komen jangan lupa ya!😍

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
memang laki-laki DAJJAL tunggu ALLAH mengirim LAKNAT buatmu SOMBONG JEMAWA
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status