Share

Bab 6

Bab 6 Pov Alya

Karma itu nyata!

Di tengah-tengah rasa bimbang kemana aku harus melangkahkan kakiku tiba-tiba.

Cit,

Bunyi ban bergesekan dengan aspal dan Brak...

"Ya Tuhan."

Semua menjadi gelap setelah itu.

________

"Alhamdulilah, Mbak sudah sadar, maaf tadi saya belum sempat hubungi majikan Mbak," ujar seorang lelaki yang sepertinya tadi ada di antara teman Bang Aldi.

Tangannya sigap mengambil ponsel. Namun, segera ku cegah.

"Gak usah Mas," ujarku.

"Tapi Mbak, saya jadi gak enak kalau nanti Aldi tanya. Masa saya gak ada tanggung jawabnya, sekalipun Mbak ini cuma pembantu di rumah teman saya tapi Mbak juga tetap harus Saya hargai juga."

Ada yang perih di dalam sini mendengar kata-kata Mas ini, aku ingin marah tapi aku sadar ini bukan salahnya. Dia hanya mendengar dari apa yang di katakan Bang Aldi.

"Saya bukan pembantu Bang Aldi, Mas," ujarku lirih. Dadaku sudah sesak, mataku memanas, ada bulir bening yang menetes di sudut netra ini. Pedih sungguh hati ini bagai teriris.

"Terus Mbak ini siapa?" tanya lelaki itu. Kami belum sempat bekenalan tadi jadi aku belum tahu namanya.

"Saya..," aku diam sesaat. " Saya istrinya Mas."

"Hah!"

Seperti dugaanku lelaki ini tampak terkejut mendengar pernyataanku, pundaknya sampai berjengkit, mulutnya terbuka tanpa kata. Sebentar kemudian dia memperhatikan aku dari atas sampai bawah, mungkin juga dia tak percaya aku istri Bang Aldi.

Siapa juga yang mau percaya, Bang Aldi yang gagah dan tampan memiliki istri yang kusam dan dekil seperti aku, walau itulah kenyataannya.

"Kamu serius?"

"Saya tahu Mas pasti gak percaya, tapi itulah kenyataanya Mas, saya istri yang gak di anggap oleh Bang Aldi."

"Tega sekali Aldi!" gumamnya. Namun, masih sempat terdengar.

"Bang Aldi malu Mas, dia yang tampan, seorang manager, bersih dan berpendidikan, punya istri dekil, kusam dan bod*h macam saya."

Lekaki itu diam, dia tampak menarik napas berat. "Keterlaluan Aldi, baru beberapa bulan jadi manager aja sudah sombong."

"Biasalah, Mas..?" ujarku.

"Panggil saja saya Aldo Mbak?"

"Biasalah Mas Aldo, orang kalau sukses suka lupa dari mana dia berasal, dia juga lupa bagaimana orang-orang berjuang demi kesuksesannya."

Aku kemudian menceritakan semua pada Mas Aldo, mulai dari kami bertemu yang saat itu Mas Aldo hanyalah karyawan biasa. Aku kemudian ikut banting tulang mati-matian menyekolahkan dia. Namun, setelah sukses aku justru dibuang selayaknya sampah.

Mas Aldo menggeleng beberapa kali "aku gak nyangka Aldi orangnya seperti itu," kata Aldo.

Ku susut air mataku dengan jari, baru sadar rupanya aku saat ini berada di sebuah ruangan Rumah Sakit. Sepertinya tadi saat pingsan lelaki bernama Aldo ini membawaku kemari. Aku ingat tadi aku pingsan saat hampir saja mobil Aldo menabrakku, bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal tadi mengagetkan aku, beruntung Allah masih melindungi nyawaku.

"Oya nama Mbak siapa?"

"Alya Mas."

"Mbak Alya mau makan apa?"

"Mm apa ajalah Mas," jawabku pelan. Jujur aku canggung. Namun, cacing-cacing dalam perutku juga sudah mulai protes minta makan.

"Kalau gitu saya pergi dulu ya, Mbak," pamit lelaki yang aku perkirakan tak jauh dari umurku itu yang kemudian melangkah keluar.

"Mas!"

Mas Aldo menoleh ketika tiba-tiba aku memanggilnya.

"Ya Mbak?"

"Tolong, jangan bilang pada Bang Aldi kalau Mas Aldo ketemu saya!" seruku yang dibalas anggukan oleh Mas Aldo.

________

Beberapa menit kemudian Mas Aldo datang dengan membawa bungkusan di tanganya.

"Tadi kebetulan ada tukang bubur ayam di depan. Mbak suka kan bubur ayam?"

Ya Allah harum banget bau bubur ini, sudah cukup lama aku tak makan makanan ini, padahal ini adalah makanan kesukaanku. Dulu aku selalu mikir dua kali untuk jajan, sayang uangnya dari pada buat jajan bisa di tabung untuk membayar uang semester Bang Aldo dan setelah berhasil menjadi manager tetap aku juga harus mengikat pinggang demi bayar hutang, meski pada akhirnya hartaku juga habis di sita Bank karena hutang yang kian menggunung.

"Mbak ada saudara di sini?"

Aku menghentikan makanku sesaat dan kemudian menggeleng lemah.

"Terus Mbak mau kemana?" tanya Aldo.

"Aku gak tahu Mas, aku gak punya arah tujuan, pulang ke rumah Bude juga gak mungkin."

Ya, Budeku sudah tak lagi menganggap aku keponakan lagi sejak tanah dan rumah di kampung aku jadikan jaminan pinjam Bank tepatnya Bang Aldi yang memakainya untuk jaminan. Bude tak setuju karena hanya itu peninggalan satu-satunya orang tuaku.

"Bang Aldi lagi perlu Bude," kataku saat itu melalui panggilan telpon. Bude menelpon dan memarahiku sesaat setelah pihak Bank menyita rumah dan tanahku.

"Kamu itu keterlaluan Al, semua keinginan suamimu kamu turuti. Ingat kata-kata Bude Al, suamimu itu hanya memanfaatkan kamu saja, kelak dia sukses kamu pasti dibuang dan ditendang, sudah berapa kali Bude bilang Al, suamimu itu bukan lelaki baik-baik.'

"Tapi Alya cinta Bude," ujarku lirih.

"Mulai sekarang Bude gak akan mau ikut campur lagi masalah kamu Al, Bude capek! Jika kelak terjadi apa-apa, kamu tanggung sendiri Al!"

Aku menarik napas berat mengingat kata-kata Bude waktu itu. Betapa bodohnya aku yang telah dibutakan oleh cinta padahal dari awal Bude sudah tak setuju ketika aku minta izin menikah dengan Bang Aldi. Kata Bude, Aldi itu sepertinya orang terpelajar dan aku hanyalah lulusan SMP, pasti kelak ini akan jadi masalah.

"Mbak!"

Panggilan Aldo yang mungkin sudah keberapa kalinya membuyarkan lamunanku.

"Iya Mas?"

"Mbak tinggal saja di rumah saya sementara waktu, Ibu Saya pasti suka jika ada yang membantu pekerjaan rumahnya, nanti saya gaji."

"Ya Allah, Mas. Terima kasih banyak ya."

Sungguh aku bersyukur ketemu orang sebaik Mas Aldo.

***

Tak terasa sudah beberapa bulan aku bekerja di rumah Mas Aldo. Keluarga Mas Aldo bahkan tak pernah memperlakukan aku sebagai pembantu, malah aku diperlakukan selayaknya keluarga. Terkadang dunia ini memang lucu, pembantu di perlakukan selayaknya keluarga dan keluarga di perlakukan selayaknya pembantu.

"Al, kamu bersihin meja kerja Mas Aldo ya!" seru Bu Retno, Ibu Mas Aldo. Khusus ruangan ini aku memang tak akan masuk kalau gak diperintah.

Saat aku sedang merapikan berkas-berkas Mas Aldo perhatianku tertuju pada sebuah undangan yang sangat mewah dan harum.

Hatiku berdesir lirih saat membaca nama di kertas undangan itu.

Aldi&Alda

Semoga kamu bahagia, Mas, walaupun jujur aku masih tak rela, aku yang bekerja keras tapi orang lain yang memetiknya.

Ingat Mas! Karma itu nyata!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
lah jago juga Aldi bisa bayar uang panaik ngutang barangkali ntar nunggak disita barang agunan tinggal kolor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status