Share

3

Aara menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita berkulit kulit langsat itu terlihat anggun, dengan gamis abu-abu tua yang menutupi lekuk tubuhnya. Juga, kerudung warna serupa yang menjuntai hingga punggungnya tertutup sempurna.

Satu tahun telah dia lalui untuk menyembuhkan hati. Berat? Iya, awalnya memang Aara merasa berat, tapi perlahan dia bisa bangkit.

Mengecek jam yang menempel pada dinding yang kini dicat biru muda. Aara bergegas turun ke bawah, karena jarum pendek sudah diangka delapan. Itu artinya sebentar lagi Mbak Yuli akan datang.

Benar perkiraan Aara, begitu dia sampai di ujung tangga bawah, sebuah bel berbunyi nyaring.

"Wa'alaikumsalam," jawab Aara sambil melangkah ke pintu, "masuk, Mbak."

Wanita yang sudah enam bulan terakhir membantu Aara membuat kue itu, segera masuk. "Hari ini banyak pesanan?" tanya Mbak Yuli seraya mengikuti Aara menuju dapur.

"Alhamdulillah, Mbak." Aara memperhatikan Mbak Yuli yang mulai bersiap-siap, menaruh tas di meja yang terletak di sudut dapur, lalu memakai apron yang tergantung di balik pintu.

Mbak Yuli salah satu orang yang berjasa dalam hidupnya. Waktu itu, Aara yang memulai bisnis pesanan kue kering kerepotan karena kurangnya tenaga. Hingga dia bertemu Mbak Yuli tetangganya yang saat itu mencari pekerjaan untuk menghidupi kedua anaknya.

Karena cerita hidup wanita dengan tubuh sedikit berisi itu juga, Aara memantapkan hati untuk melakukan salah satu kewajiban seorang muslimah. Menutup aurat.

Mbak Yuli ditinggal suaminya begitu saja dengan kedua anaknya yang masih kecil. Tanpa ada kabar tiba-tiba saja datang surat gugatan cerai. Meski awalnya Mbak Yuli merasa ingin menyerah, tapi dia memilih bertahan. Karena dia tahu, dia tidak sendiri. Ada Sang Pencipta yang akan selalu menjaganya.

"Lalu bagaimana tentang tawaran kerja sama dari FZ Cake&Bakery?"

Kemarin Aara mendapatkan pesan di media sosial, dari salah satu toko kue yang terkenal di kota ini. Mereka memberinya penawaran agar Aara mengirim kue buatannya ke toko mereka.

"Nanti siang aku ke sana Mbak, bicara lebih lanjut soal itu." Aara mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat nastar.

"Kamu gak usah kuatir, nanti Zahra bakal ke sini bantuin Mbak." Mbak Yuli menyebutkan nama anaknya yang berusia lima belas tahun. Zahra memang sering ikut membantu, jika pesanan banyak dan gadis itu juga tidak banyak pekerjaan rumah.

"Kira-kira nanti penawarannya aku terima atau enggak, ya, Mbak?"

"Lihat dulu, kalau bagus kamu terima saja. Biar nambah koneksi, kan?"

"Takutnya nanti kita kualahan Mbak."

"Ya, gak pa-pa dong. Nanti kamu bisa cari pegawai baru. Hitung-hitung bantu orang dapat kerjaan."

Aara mengangguk. Membenarkan kalimat Mbak Yuli. Memang sekarang ini dia berharap bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat untuk orang lain.

***

Memarkir motor matik-nya. Wanita bergamis merah muda itu menatap papan nama yang berwarna merah dan emas, "FZ Cake & Bakery"

Pandangan Aara menyipit. Memperhatikan toko kue yang terlihat dengan jelas dari luar. Karena kaca besar digunakan sebagai tembok toko. Dari tempatnya berdiri terlihat lumayan ramai pengunjung di dalam sana.

Mendorong pintu yang berada di tengah, Aara melirik kanan dan kiri, di sana terdapat kursi panjang yang menghadap ke luar, sementara meja menempel pada tembok.

Di sebelah kanan juga terdapat tangga melingkar yang menuju lantai dua. Ya, dari info yang dilihat Aara di akun media sosial toko ini. Lantai dua adalah tempat bagi yang ingin makan kue langsung di sini.

"Siang Mbak, ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai perempuan begitu Aara tiba di depan etalase yang memajang aneka jenis kue.

"Siang. Saya Aara Mbak, ke sini mau bertemu dengan Bu Laras." Aara tersenyum pada wanita muda di depannya.

"O ... Mbak Aara? Ibu sudah nunggu Mbak, ayo saya antar."

Pegawai yang memperkenalkan diri dengan nama Manda itu, membuka pintu kecil yang terdapat di pojok etalase.

Kemudian dia membawa Aara masuk, hingga mereka berhenti di sebuah ruangan berpintu coklat. Aara memperhatikan Manda yang mengetuk pintu di depannya, tidak berapa lama kemudian sebuah seruan yang menyuruh mereka masuk terdengar dari dalam.

"Bu, ini Mbak Aara sudah datang."

Wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi belakang meja, tersenyum lebar menatap Manda dan Aara. Langkahnya begitu anggun saat berjalan ke arah pintu.

"Ayo, masuk. Manda tolong buatkan minum," Bu Laras mengalihkan pandangan pada Aara, "kamu mau minum apa?"

"Gak usah repot-repot, Bu." Aara tersenyum sungkan pada pemilik toko itu.

"Halah ... gak repot kok, yaudah, teh aja mau?" tawarnya.

Aara mengangguk sebagai jawaban, akhirnya dia melangkah di belakang Bu Laras menuju meja kerja wanita itu. Sembari berjalan, Aara menatap takjub pada sekelilingnya.

Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi penataan yang bagus menjadikan ruangan itu tampak begitu apik. Hanya ada meja kerja dengan tiga kursi, di sampingnya terdapat rak kayu yang berisi buku. Serta di pojok terdapat tanaman hidup, yang membuat ruangan tampak lebih segar.

Mata bulat Aara berbinar takjub, karena saat menoleh ke kanan terdapat sekat kaca, yang memungkinkan orang di ruangan itu dapat melihat kegiatan di dapur.

"Gak sulit, 'kan cari tempatnya?" Bu Laras membuka percakapan.

"Tidak, Bu."

"Duh, tante aja manggilnya. Saya gak ngira, lo, kamu masih semuda ini. Cantik lagi."

Aara tersenyum canggung, "iya, tante."

"Nah, sambil nunggu minum dan camilan. Kita bahas sedikit tentang kerja sama yang saya tawarkan, ya."

Aara mengangguk. Kemudian dia mendengarkan dengan seksama penjelasan yang diberikan oleh Bu Laras.

"Jadi gimana? Kamu setuju?"

"Iya, Bu." Sudut bibir Aara tertarik, hingga memunculkan sebuah lesung pipi.

"Alhamdulillah kalau kayak gitu. Saya suka kepo medsos kamu. Soalnya tampilannya menarik dan juga semua kue yang kamu upload terlihat menarik." Bu Laras tertawa menceritakan tentang dia yang begitu penasaran pada Aara.

"Jangan berlebihan seperti itu tante. Saya belum semahir itu, kok." Aara menepuk keningnya pelan, saat ingat sesuatu. Dia mengambil kantong yang tadi dia letakkan di kursi sampingnya, "ini tante. Silakan dicicipi." Aara mengulurkan kantong yang berisi nastar kepada Bu Laras.

Membuka wadah mika, Bu Laras mulai mencicipi nastar buatan Aara. "Enak sekali! rasanya pas!" Bu Laras tersenyum lebar, binar matanya menunjukkan kejujuran.

Pipi Aara bersemu, selayaknya orang yang baru dapat pujian, "terima kasih, Bu."

"Ini mau saya bawa pulang, soalnya anak saya suka sekali sama nastar. Kalau nanti dia bilang enak, sudah pasti enak. Dia pemilih sekali," gerutu Bu Laras yang membuat Aara tertawa.

Wanita berkulit langsat itu sangat bersyukur. Bisnisnya berkembang dengan baik, dan kini dia dipertemukan dengan orang baik yang begitu menghargai karyanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status