Share

10

"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"

Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.

Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.

Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi.

"Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.

Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."

Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz.

"Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."

Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perjodohan ini, itu bukan karena permintaanmu. Tapi karena aku memang menginginkannya."

Sudah cukup selama bertahun-tahun, dia selalu berusaha membantu Kirana dalam mendapatkan apa yang wanita itu mau. Namun, kali ini dia tidak mau lagi. Dia tidak mau lagi menjadi bodoh karena cinta.

Tanpa mempedulikan Kirana, dia segera berlalu dari tempat itu. Dia memang mencintai Kirana, tapi itu bukan berarti dia harus mengorbankan masa depan demi wanita itu.

Sementara itu, Kirana menatap sedih kepergian sang sahabat. Dia sadar permintaannya terlalu egois, mengingat Fawaz begitu mencintainya. Namun, dia juga sangat mencintai Dafa dan ingin segera hidup dengan laki-laki itu.

***

Bu Laras seperti sudah menyerah membujuk sang anak untuk mendekati Aara. Selama hampir sebulan sama sekali tidak ada kemajuan, Fawaz terus saja berkata kalau dia masih berpikir.

Sebenarnya wanita paruh baya itu sedih, tapi dia bisa apa? Tidak mungkin juga dia memaksakan kehendak.

Wanita paruh baya itu tersenyum lebar, saat matanya menangkap kedatangan Aara.

"Maaf terlambat Tante." Aara duduk di depan Bu Laras.

Mereka hari ini memang janjian untuk bertemu. Lebih tepatnya Bu Laras yang meminta bertemu. Ya, meski mungkin saja dia tidak bisa menjadikan wanita cantik ini menantunya, tapi dia ingin tetap menjalin hubungan baik dengan Aara. Karena entah mengapa, dia begitu menyayangi wanita lembut ini.

"Harusnya Tante yang minta maaf, karena membuatku terjebak di sini. Menemani seorang wanita tua mengobrol."

"Ih, Tante apa-apaan, sih? Aara justru seneng ngobrol sama Tante, banyak dapat ilmu."

Setelah pertemuan untuk kesekian kali. Bu Laras sudah mengetahui hal-hal pribadi Aara. Termasuk statusnya yang seorang janda.

Awalnya Aara merasa malu untuk menceritakannya, bagaimana pun terkadang ada beberapa orang yang memandang status itu dengan cap yang baruk. Namun, dia bersyukur, Bu Laras tetap bersikap sangat baik padanya.

"Tante Laras?"

"Oh, Dania. Dari mana?"

Nama itu? Seketika Aara menghentikan kegiatan makannya, dan menoleh ke samping. Matanya membeliak, karena di sana berdiri mantan adik iparnya.

Sedangkan wanita berambut sebahu itu, tidak kalah terkejut menatap Aara.

"Dania?"

"Oh—ehm—itu, aku mau ketemu teman Tante. Kalau begitu, aku permisi dulu." Dania pergi dengan otak yang sibuk menerka-nerka apa hubungan tetangga dan mantan kakak iparnya itu?

"Dia itu tetangga Tante."

Aara langsung tersenyum canggung, setelah kedapatan memperhatikan kepergian Dania.

"Dari gerak-geriknya, Tante bisa tau, lo, kalau dia suka sama Fawaz. Tapi Tante gak mau kalau Fawaz sama dia."

"Kenapa, Tan?"

"Gak tau, gak sreg aja. Lagipula Tante lebih suka kamu yang jadi mantu Tante. Astag ... mulut ini, lupain oke! Anggap Tante gak bilang apa-apa, kamu gak usah ngerasa gak nyaman, oke?"

Aara tertawa kecil, lalu mengangguk sebagai jawaban. Ya, dia mulai terbiasa dengan sikap ceplas-ceplos Bu Laras.

***

"Bukain pintu, sana!" Bu Laras mendorong bahu sang anak yang duduk di sampingnya.

"Kok aku, Bun?"

"Lha, kamu kan gak ngapa-ngapain. Bunda lagi nonton sinteron."

"Iya. Iya. Siapa juga juga yang malam-malam bertamu," gerutu laki-laki itu.

Berjalan melewati ruang tamu yang dicat warna putih dan terdapat banyak ornamen kayu, kesukaan sang ibu. Fawaz segera membuka pintu yang berwana coklat.

"Tante Tina?" tanyanya heran.

"Selamat malam Fawaz, Bu Laras ada?"

"Ada Tante, silakan masuk."

Sementara Bu Tina duduk di sofa panjang, Fawaz melangkah ke dalam untuk memanggil sang ibu.

"Lho, ada apa, Bu?"

Bu Tina bangkit dari duduk, lalu menyerahkan bingkisan pada tetangganya itu. "Ini saya dari luar kota. Ada oleh-oleh untuk Bu Laras sama Fawaz."

"Oh ... repot banget, Bu. Terima kasih, ya."

"Sama-sama. Fawaz-nya mana?" Bu Tina celingak-celinguk, mencari keberadaan laki-laki yang disukai anaknya.

"Lagi di dapur, saya suruh buat minum."

"Wah, gak usah repot-repot, Bu. Tapi saya kagum, lo, sebagai anak laki-laki mau disuruh begitu."

"Itu biasa, Bu. Soalnya menurut saya anak laki-laki harus diajari urusan dapur juga. Biar nanti kalau punya istri, bisa bantu dikit-dikit."

"Wah, saya setuju itu. Pasti nanti yang jadi istri Fawaz, merasa beruntung sekali."

Bu Laras tertawa mendengar kalimat tetangga depan rumahnya. Jelas, dia tau apa maksud dari kalimat itu. Akan tetapi, dia tidak setuju kalau sampai wanita di depannya ini, berniat menjodohkan anaknya dengan anak wanita itu, Dania.

"Oya, Bu. Saya minta maaf sebelumnya, tapi tadi kata Dania, dia ketemu Bu Laras di restoran. Benar, Bu?"

"Iya, memangnya kenapa?" tanya Bu Laras melihat raut serius tetangganya.

"Wanita yang bersama Bu Laras itu, Aara, benar?"

"Iya." Sejujurnya Bu Laras sudah mulai gemas dengan jawaban berbelit-belit tetangganya.

"Duh ... gimana, ya, ngomongnya? Sebenarnya saya gak enak ngomong kayak gini. Tapi, demi kebaikan bersama, saya akan jujur pada Bu Laras. Jadi, Aara itu mantan menantu saya."

"Oh ...." Ya, Bu Laras memang agak terkejut. Tidak menyangka dunia sesempit ini.

"Bu Laras gak kaget dia janda?"

"Enggak, dia sudah pernah bilang sama saya."

Bu Tina menatap lekat sang tetangga. "Kalau boleh saya tau, ada hubungan Bu Laras dengan Aara?"

"Dia wanita yang ingin saya jodohkan dengan Fawaz."

Bu Tina melongo, matanya terbuka lebar, memandang tetangganya dengan tatapan tidak percaya. "Jangan, Bu! Jangan diteruskan rencana Anda!" teriak Bu Tina panik.

"Memangnya kenapa? Itu kan terserah saya," jawab Bu Laras mulai kesal. Karena tetangganya ini seakan mau ikut campur urusannya.

"Biar saya kasih tau, penyebab perceraian Aara dengan Dafa sebenarnya adalah perselingkuhan wanita itu."

Bu Laras memutar bola matanya. Bukannya apa, tapi jelas dia tidak percaya dengan ucapan wanita yang terkenal sebagai tukang gosip itu. Sedangkan selama ini, dia tahu bagaimana sifat Aara. Lagipula perasaannya mengatakan, Aara adalah wanita yang baik.

"Maaf, Bu. Tapi saya rasa Aara itu wanita yang baik."

"Halah, dia itu tampangnya aja baik. Tapi hatinya busuk."

Baru saja Bu Laras akan menyela, sang anak sudah lebih dulu masuk dalam ruang tamu dengan nampan di tangannya.

"Silakan, Tante." Fawaz meletakkan cangkir di atas meja.

"Makasih. Oya, Fawaz tolong kasih tau ibu kamu kalau Aara itu wanita tidak baik."

"Maksud Tante?"

"Aara itu tukang selingkuh! Bisa-bisanya dia menghianati Dafa yang sudah mau menerima wanita yatim piatu seperti dia. Kalau kamu gak percaya, coba tanya Kirana, dia tau seperti apa Aara itu sebenarnya."

"Bu Tina, jangan—"

"Maaf, Tante. Saya sependapat dengan bunda. Kalau Aara wanita yang baik. Dan tolong mulai sekarang, Tante jangan menjelek-jelekkan calon istri saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status