Suasana cafe violet, tidak begitu ramai. Mengingat waktu menunjukkan pukul dua, di mana orang-orang yang biasanya nongkrong di tempat itu, sudah kembali pada rutinitas masing-masing.
Hanya ada beberapa pengunjung di sana, yang asyik bercengkrama dengan temannya di cafe yang bernuansa ungu itu. Namun, ada yang berbeda. Dua pasang manusia yang duduk di pojok ruangan seperti tengah berbicara dengan serius.
"Bagaimana ini? Sampai sekarang Mas Dafa gak ada tanda-tanda akan melamarku. Padahal perceraiannya sudah satu tahun lebih." Mata wanita berkulit putih itu berkaca-kaca, dengan segera dia menunduk ketika air matanya mulai jatuh.
Terlambat! Laki-laki berkaca mata di depannya sudah mengetahui hal itu. Maka dengan pandangan sendu, dia mengulurkan tisu pada sang wanita pujaan.
"Kalau begitu menyerah lah." Fawaz—si laki-laki berkaca mata—menatap lembut wanita yang kini juga balas memandangnya.
"Aku gak bisa, Kak. Aku cinta sama dia."
Tanpa wanita itu sadari, tangan Fawaz yang berada di bawah meja, mengepal erat. Menyalurkan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya.
Kirana—wanita di depannya—adalah seseorang yang telah menguasai seluruh hatinya sejak beberapa tahun silam. Namun, sayang, rasa cintanya sama sekali tidak berbalas. Sang wanita malah mencintai seseorang yang tidak sepantasnya dicintai.
Apakah kisah mereka seperti drama? Di mana sang laki-laki hanya menyimpan sendiri rasa itu tanpa berani mengungkapkan?
Jelas tidak! Karena sudah terhitung tiga kali Fawaz menyatakan perasaan, tapi semuanya berakhir dengan penolakan. Jadi pantas saja jika Rafi—sahabat Dafa—menyebutnya laki-laki bodoh. Karena mau saja mendengarkan curhatan sang pujaan. Lebih parahnya laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu, dengan suka rela dimanfaatkan oleh Kirana.
"Terus apa yang kamu inginkan?" Sebisa mungkin Fawaz menampilkan raut tenang.
"Aku gak tau, Kak. Aku bingung." Air mata kembali mengalir di pipi putih Kirana.
Fawaz menghela napas berat. Sebenarnya siapa di sini yang paling bodoh? Namun, sepertinya mereka berdua pantas disebut bodoh. Karena dalam hati terus mempertahankan rasa cinta bertepuk sebelah tangannya.
"Apa perlu aku bicara pada Dafa?"
Dengan cepat Kirana menggeleng, menyebabkan rambut panjangnya itu bergerak tidak tentu arah, "jangan!" ucapnya putus asa.
Mata Fawaz menyorot pada wanita yang kini tengah menghapus air matanya. "Baiklah, sudah jangan menangis lagi, nanti dikira orang-orang aku menyakitimu. Padahal kenyataannya kamu lah yang membuat aku patah hati."
Kirana tertawa kecil, ketika melihat wajah Fawaz yang pura-pura terluka.
Padahal tanpa wanita itu tahu, itu adalah raut jujur Fawaz. Bahwa dia tengah patah hati. Patah hati untuk yang kesekian kalinya. Pada orang yang sama.
***
Sebulan berlalu sejak kerja sama antara Aara dan Bu Laras. Sejak saat itu, hari-hari Aara semakin disibukkan dengan pesanan yang datang terus-menerus. Tidak berhenti wanita berlesung pipi itu mengucap syukur. Atas semua karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Bahkan kini Aara menambah dua orang lagi untuk membantunya. Mbak Anggun dan juga Mbak Rina. Mereka adalah sesama wali murid di sekolah Zidni—anak kedua Mbak Yuli.
"Ra, ini sudah selesai dikemas. Mau diantar sekarang?" tanya Mbak Yuli yang melihat Aara memasuki dapur.
"Iya, Mbak. Ini aku berangkat. Catatan berapa pesanan hari ini aku tempel di kulkas, ya." Aara segera berjalan menuju lemari pendingin setelah mendapatkan jawaban dari Mbak Yuli.
"Mau dibantu ngangkat?" Mbak Anggun menatap Aara yang akan mengangkat kardus berisi dua puluh lima nastar itu.
"Gak usah, Mbak. Gak berat, kok. Aku pergi dulu, ya," pamit Aara. "O ... ya, nanti kalau waktunya istirahat langsung istirahat saja. Soalnya aku ada janji sama Rosi. Lauknya nanti manasin aja."
"Iya. Hati-hati," jawab ketiga wanita yang begitu kagum dengan kepribadian Aara. Meski wanita berkulit kuning langsat itu, adalah seorang majikan tapi dia begitu menghormati para pegawainya.
Sebenarnya selama ini Aara selalu memakai jasa kurir untuk mengantar pesanan. Namun, hari ini dia ada janji temu dengan sahabatnya. Jadi dia memutuskan untuk mengantarkannya sendiri. Toh, mereka janjian di toko Bu Laras, biar sekali jalan saja maksud Aara.
***
"Mau dibantu?"
Kardus yang Aara pegang hampir terjatuh, saat dia mendengar suara berat dari arah belakang. Perlahan wanita itu, menaruh kembali kardusnya di jok motornya, lalu memutar tubuh untuk mengetahui siapa si tersangka.
Kening Aara berkerut, karena sekilas dia bisa melihat kilat terkejut di mata laki-laki yang entah siapa itu. Namun, dengan cepat laki-laki berkaca mata itu, menormalkan ekspresi dan tersenyum pada Aara.
"Gak usah, Mas. Terima kasih." Aara kembali memutar tubuhnya untuk mengambil kembali kardusnya.
Kepala Aara mengangguk sedikit, saat langkahnya melewati laki-laki yang terus saja menatapnya. Jujur saya dia ingin segera pergi. Risih dengan tatapan yang dilayangkan laki-laki itu.
Sementara Fawaz tetap mengikuti pergerakan wanita yang menggunakan gamis biru muda. Rasa bersalah kembali hadir di hatinya, akibat pertemuan tidak terduga ini.
"Kenapa kami bertemu lagi? Kenapa juga harus di tempat ini?" gumam Fawaz pelan.
Setelahnya, laki-laki itu melangkah ke arah yang sama dengan Aara. Sambil terus berharap semoga ini pertemuan terakhir mereka. Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya, baik disengaja atau tidak.
"Fawaz sini!"
Teriakan dari sang ibu, membuat Fawaz yang baru saja membuka berdecak kecil. Mau marah takut dosa. Namun, ini sungguh memalukan. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Maka dengan malas, laki-laki itu langsung berjalan cepat ke arah etalase. Di sana sudah ada sang ibu yang tersenyum lebar padanya. Juga ada wanita yang dilihatnya di depan berdiri sebelah ibunya. Sementara Manda yang berdiri di belakang etalase tersenyum penuh makna padanya.
Pasti ada sesuatu yang direncanakan sang ibu! pikir Fawaz.
"Kamu lama banget, sih, sudah bunda tunggu dari tadi, lo." Bu Laras melingkarkan tangan pada lengan sang anak, kemudian pandangannya beralih pada Aara. "Aara ini kenalin anak tante Fawaz. Nah, ini Aara yang kemarin bunda ceritakan pada kamu."
Fawaz berusaha tidak memutar bola matanya. Jelas! Dia amat sangat mengerti maksud ibunya. Akhirnya dengan terpaksa laki-laki itu mengulurkan tangan. Daripada nanti dia mendapat petuah panjang lebar dari ibunya, tetang pentingnya sopan santun.
"Fawaz." Laki-laki itu berdeham, lalu dengan canggung menarik kembali tangannya. Karena wanita di depannya tidak menerima tangannya, tapi malah menangkupkan kedua tangannya.
"Aara," jawab wanita itu tidak kalah canggung. Untuk menghindari situasi yang aneh ini, Aara segera berpamitan pada mereka, "Aara ke atas dulu tante, sudah ditunggu teman. Duluan Manda, mari Mas." Wanita itu tersenyum tipis lalu berjalan ke arah tangga.
Bu Laras menyikut pinggang sang anak. "Gimana? Cantikkan?"
Fawaz menatap malas pada ibunya. "Cantik."
Tiba-tiba Bu Laras bertepuk tangan heboh. "Kalau begitu, jadikan dia mantu bunda."
"Apa-apaan, sih, Bun? Aku bilang cantik, bukan berarti aku tertarik." Fawaz berjalan menuju ruang kerja ibunya.
"Coba kenalan dulu aja Mas," usul Manda.
"Nah betul itu!" Bu Laras menatap Manda dengan senyum lebar.
"Barusan kenalan, 'kan?" Fawaz terus saja melangkah. Tidak mau menanggapi dua wanita di belakangnya.
"Ck. Anak itu!" gerutu Bu Laras sambil mengikuti langkah sang anak. Dalam hati dia bertekad untuk menjodohkan anaknya dengan Aara. Wanita lembut yang mampu membuat Bu Laras terpesona, pada perjumpaan pertama.
Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada."Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya."Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"Kening Aara mengkerut. "Siapa?""Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras.""Kalian udah kenalan?""Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan."O ...."Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!""Emang aku mikir apa?" goda Rosi."Kita sahabatan udah berapa lama sih? Ten
Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa."Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi."Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi."Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening."Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibuny
Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu."Hai," sapa Aara.Tidak ada jawaban apapun dari gad
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj
Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan."Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda.""Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."Fawaz mengangguk
Fawaz memandang langit yang malam tidak menampakkan bintang, dari jendela kamarnya. Meski matanya menatap lurus langit luas, tapi pikirannya berkelana pada kejadian dua minggu lalu.***Fawaz melajukan mobilnya dengan hati tidak karuan, setelah dua hari lalu Aara meminta waktu untuk menjawab lamarannya. Tadi selesai praktek, dia menerima pesan singkat dari wanita itu yang mengatakan ingin betemu dengannya.Maka di sinilah dia sekarang. Di depan rumah sang sahabat, tempat yang dipilih Aara untuk menjawab pertanyaannya. Dengan langkah tegap, Fawaz berjalan memasuki rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.Dari depan pintu, dia bisa melihat Aara yang tengah berbincang dengan Rosi. Sementara Rafi tampak sibuk dengan ponselnya, yang bisa Fawaz tebak, kalau laki-laki itu tengah asyik bermain game.Setelah mengucapkan salam, yang dibalas oleh ketiga orang itu. Fawaz segera masuk dan duduk di depan Aara.Aara melirik sekilas laki-laki yang dua hari lalu