Share

6

Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.

Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa.

"Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi.

"Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi.

"Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening.

"Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.

Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibunya juga akan mengajak Rafi ikut dalam misi ini.

Laki-laki itu menatap sekilas pada wanita yang juga tengah memperhatikan percakapan dua wanita lainnya. Dia bingung antara menyebut wanita itu polos atau bodoh. Karena jika dilihat dari rautnya, wanita itu sepertinya sama sekali tidak mengerti maksud terselubung ibu dan Rosi.

"Kedip dong kalau lihat," goda Bu Laras sambil menyenggol lengan anak laki-lakinya.

Fawaz langsung memutus pandangannya, lalu menoleh pada sang ibu. "Jangan aneh-aneh, Bun."

"Ih, siapa yang aneh? Emang bunda tau, kok, kamu lihatin Aara dari tadi. Iya, 'kan Ros?"

"Iya, terlihat jelas Mas. Jangan diulang Mas, gak baik. Kalau mau mandangin sampai puas, harus dihalalin dulu," timpal Rosi.

"Nah, betul itu!" Bu Laras bersama Rosi tertawa, karena merasa telah berhasil menggoda Fawaz dan Aara.

Sementara dua anak manusia yang menjadi korban itu, terlihat salah tingkah. Fawaz mengedarkan pandangan ke manapun, asal tidak pada wanita di depannya. Sedangkan Aara, yang tadi sama sekali tidak tahu tengah diperhatikan, langsung menunduk agar wajahnya yang telah memerah tidak diketahui oleh orang-orang di sekelilingnya.

Melihat rekasi dua orang itu, Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi, yang dijawab wanita itu dengan anggukan pelan.

***

"Awas, ya, kalau kamu punya niat macam-macam," ucap Aara pada Rosi saat tinggal mereka berdua. Karena ibu dan anak itu sudah pulang terlebih dahulu.

"Macam-macam apaan, sih?" tanya Rosi.

"Jangan pura-pura gak ngerti!" Aara berdecak kesal.

"Iya, iya, gak akan macam-macam. Tapi satu macam aja." Rosi tertawa melihat wajah sahabatnya yang keruh, "lagian kenapa gak mau, sih? Coba kenalan dulu aja. Siapa tau jodoh, kayaknya Tante Laras juga udah sreg sama kamu."

Aara menjawab Rosi dengan kedikan bahu. Bukan! Dia bukan trauma menikah lagi, tapi entah lah sampai saat ini dia masih belum kepikiran untuk menikah lagi.

Sekarang dia ingin fokus mengembangkan usaha, kalaupun nanti Sang Pencipta mempertemukan dia dengan jodohnya. Dia berharap hal itu terjadi saat dia benar-benar siap.

"Udah lah, gak usah bahas ini lagi."

"Kamu selalu aja gitu," cibir Rosi. Ibu hami itu mengedarkan pandangan, karena baru saja sang suami mengirim pesan bahwa laki-laki itu sudah sampai di sini.

Baru saja Rosi akan memanggil suaminya, tapi tiba-tiba matanya membeliak melihat sang suami datang bersama dua pasangan yang paling dia benci. Buru-buru dia menoleh ke samping untuk memastikan Aara tidak melihat pemandangan itu.

Namun, terlambat! Kini Aara telah memandang ke arah obyek yang sama.

Dalam hati Rosi menggerutu, saat suaminya berjalan ke arahnya bersama dua penghianat itu. Perasaan tadi Rosi sudah memberitahu kalau dia bersama Aara. Tidak mungkin suaminya lupa, 'kan?

Sementara Rafi yang sudah hampir sampai meja yang berisi dua sahabat itu, hanya bisa tersenyum kecut. Saat melihat sang istri memelotot padanya. Sudah bisa dipastikan, begitu nanti sampai rumah, pasti dia akan diomeli habis-habisan.

Lain halnya dengan sepasang suami istri yang seperti tengah berkomunikasi lewat tatap. Tiga orang yang pernah terlibat dalam hubungan masa lalu itu, saling memandang dengan pikiran berkecamuk.

Aara yang pertama kali sadar kalau tindakannya adalah sebuah kesalahan. Langsung mengalihkan pandangan pada gelasnya yang telah kosong.

"Maaf aku terlambat, Dek." Rafi tersenyum pada sang istri yang hanya membalas dengan decakan.

"Mbak Rosi, Mbak Aara, apa kabar?" tanya wanita yang tidak lain adalah Kirana.

"Alhamdulillah, baik." Aara tersenyum kecil, tetapi terlihat tulus. Karena wanita itu sudah pada tahap memaafkan semua yang terjadi di masa lalu.

"Yaudah ayo pulang!" sela Rosi ketus.

Melihat tingkah istrinya, Rafi tersenyum sungkan pada rekan kerjanya. Kemudian berlalu mengikuti langkah sang istri yang sudah menarik sahabatnya, yang tadi masih sempat berpamitan pada dua orang tersebut.

Alih-alih segera mencari tempat duduk saat ketiga orang itu sudah pergi. Dafa malah belum beranjak dari tempatnya. Dia masih setia memandang punggung mantan istrinya.

Sebenarnya dia masih kaget dengan pertemuan tidak terduga ini, karena memang selama ini mereka tidak pernah bertemu lagi, pasca perceraian satu tahun lalu. Hal yang membuat Dafa tidak kalah kaget adalah, penampilan Aara yang sudah berubah drastis.

Laki-laki itu tidak bisa meraba bagaimana perasaannya saat ini. Namun, satu satu hal yang jelas, dia tidak suka saat Aara mengabaikannya, bahkan wanita itu seperti menghindari kontak mata dengannya. Begitu pula saat berpamitan tadi, Aara tidak mengucapkan apapun padanya.

"Mas, ayo cari tempat duduk."

Seruan dari samping membuyarkan pikiran Dafa. Dia menoleh pada wanita yang kini juga tengah menatapnya. Tidak! Tidak seharusnya dia masih memikirkan Aara, padahal dia sudah punya sosok lain yang begitu mencintainya.

Maka dengan bibir yang menyunggingkan senyum, Dafa menggandeng tangan Kirana menuju meja kosong yang terletak di pojok ruangan.

Kirana menatap laki-laki di depannya dengan sedih. Meski Dafa selalu menimpali semua kalimatnya, tapi dia tahu pikiran lelaki itu tidak sepenuhnya di sini, dan jelas Kirana tahu apa penyebab Dafa menjadi seperti ini.

"Mas masih ada perasaan dengan Aara?"

Dafa yang sedang membuka buku menu, menatap Kirana dengan kening berkerut, "kenapa kamu tanya seperti itu?"

"Aku hanya ingin tau."

"Sudah lah kita tak usah membahas hal ini. Kita bicara yang lain saja," ujar Dafa sambil menahan kesal. Menyadari kalau mantan istrinya masih bisa mempengaruhi suasana hatinya.

Kiranya tersenyum kecut. Selalu saja seperti ini, Dafa akan selalu menghindar setiap kali mereka berbicara tentang Aara, atau ketika Kirana membahas masa depan mereka.

Wanita cantik itu menggenggam erat sendok, hingga jari-jari lentiknya memutih. Dia harus segera mencari cara, agar sang kekasih segera membuang jauh-jauh semua hal yang berkaitan dengan wanita yang kini tampil tertutup. Aara Farhana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status