Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada.
"Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya.
"Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"
Kening Aara mengkerut. "Siapa?"
"Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.
Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras."
"Kalian udah kenalan?"
"Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan.
"O ...."
Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!"
"Emang aku mikir apa?" goda Rosi.
"Kita sahabatan udah berapa lama sih? Tentu saja aku tau apa yang ada di pikiranmu sekarang."
Rosi tertawa, "emang kamu gak mau kenalan lebih lanjut?" tanyanya setelah bisa menormalkan situasi.
"Enggak!"
Jawaban cepat Aara, membuat Rosi menggeleng pelan, "apa salahnya, sih, mencoba memulai hubungan baru? Tuh, si Dafa, bahkan udah langsung pacaran aja sama Kirana begitu kalian resmi cerai."
Rosi menjadi kesal sendiri ketika membahas Dafa, yang menurut sang suami sudah resmi menjalin hubungan baru setelah tiga bulan bercerai dengan sahabatnya. Terus dulu mereka menuduh Aara selingkuh?
Sungguh, Rosi tidak habis pikir. Sebenarnya mereka waras tidak, sih?
"Gak ada yang salah, sih. Cuma mungkin belum waktunya. Dan soal Mas Dafa, itu bukan urusanku lagi." Aara tersenyum pada sang sahabat, "udah kita bahas yang lain aja usulnya.
Meski masih kesal. Tidak urung Rosi tetap mengangguk, "oke! kita bahas Mas Fawaz aja kalau gitu."
Mata Aara menyipit, "sepertinya aku gak pernah ngomong nama laki-laki itu."
Rosi tertawa canggung, kemudian berdeham pelan sebelum membalas kalimat sang sahabat. "Kamu umur berapa, sih? Kok udah pelupa? Tadi kamu nyebut kok." Rosi kembali membuka buku menu, agar Aara tidak bisa menatap matanya. Dia takut ketahuan kalau sudah berbohong pada Aara.
Aara mengangguk pelan, lalu mengedikkan bahu. Tidak mau membahas ini lebih lanjut. "Jangan mulai mikir aneh-aneh, ya! Karena menurutku kami gak cocok." Wanita berhijab biru itu, kembali ke topik mereka sebelumnya.
"Kenapa mikir gitu? Menurutku kalian cocok, kamu cantik, dia ganteng."
"Ck. Kamu mikir cuma fisiknya aja. Lagian, nih, ya. Secara fisik kami juga gak cocok. Dia putih aku kuning langsat."
Dengan kesal Rosi memukul telapak tangan sahabatnya. "Hari gini masih aja fisik jadi pembanding? Gak benget deh!"
Tertawa karena gaya bicara Rosi yang begitu berlebihan, Aara menghela napas agar tawanya berhenti. Karena takut akan jadi bahan perhatian orang-orang di sini.
Dia tidak serius ketika tadi membicarakan perbedaan fisik. Karena dia juga bersyukur dengan kuning langsatnya. Hanya saja, dia malas jika harus mendengar Rosi yang terus-terusan membahas masalah jodoh.
"Jadi? Kapan belanja keperluan bayi?" tanya Aara mengalihkan pembicaraan.
Memang pertemuan kali ini bukan hanya acara temu kangen. Karena hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Namun, juga karena permintaan Rosi, agar Aara menemaninya belanja perlengkapan bayi yang masih dalam perut sahabat Aara itu.
Aara menatap wajah Rosi yang tampak cerah, pipi sahabatnya terlihat lebih gemuk. Dikarenakan usia kandungannya sudah menginjak lima bulan. Sungguh dia ikut bahagia dengan kabar kehamilan Rosi. Namun, dalam sudut hatinya, hal itu mengingatkannya pada pada janinnya yang telah pergi.
Rosi memegang telapak tangan sahabatnya yang terletak di atas meja. "Gak pa-pa, semua sudah terjadi. Mungkin memang itu hal terbaik untukmu," ujarnya pelan.
Aara memandang sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa bersyukur memiliki sahabat yang mengerti dirinya, meski dia tidak mengatakan bagaimana perasaannya.
Ya, Rosi benar. Semua sudah berlalu dan dia harus yakin kalau ini memang yang terbaik untuknya. Karena dia tahu, selalu ada hikmah dalam setiap kejadian.
***
Gerai toko perlengkapan bayi dengan dekorasi khas anak-anak, yang temboknya dicat warna cerah tampak tidak begitu ramai. Mungkin dikarenakan hari ini, masih hari aktif kerja.
Sejak awal masuk, Rosi sudah terlihat antusias. Ibu hamil seakan tidak lelah, mengitari toko untuk mencari apa yang dibutuhkan sang bayi. Atau lebih tepatnya apa yang diinginkan sang ibu. Karena Rosi merasa ingin membeli semua yang di matanya tampak lucu.
Sementara itu, Aara yang selalu mengikuti langkah Rosi, menggeleng pelan seraya tersenyum kecil menyaksikan tingkah sang sahabat. Pantas saja, Rafi tidak mau menemaninya, pasti laki-laki akan menggerutu jika harus mengikuti sang istri.
"Mana yang bagus? Pink apa kuning? Eh, tapi aku mau kedua-duanya."
Aara memilih tidak menjawab, karena dia tahu pasti, Rosi akan membeli keduanya.
"Udah, lah. Aku beli semua."
Nah, 'kan! Tebakan Aara benar.
"Memang Mas Rafi, gak protes, kamu beli sebanyak itu?"
"Mau protes juga aku gak peduli, salah sendiri gak mau nemenin," gerutu Rosi yang sudah mencebikkan bibirnya."
"Salah sendiri kamu kalau belanja lama."
"Hei, kamu sahabatku bukan, sih?"
"Kalau bukan, aku gak akan di sini, lah." Aara tertawa menghadapi ibu hami yang suasana hatinya cepat berubah, terkadang terasa lucu bagi Aara. "Eh, masih lama? Kita makan, yuk. Kasihan juga debay-nya."
Rosi mengangguk, menandakan sudah selesai, meski matanya masih tampak memperhatikan seluruh ruangan. Tidak ingin sahabatnya berubah pikiran, Aara langsung menggandeng ibu hamil itu menuju kasir.
Baik Aara maupun Rosi sama-sama membawa empat kantong kertas, yang semuanya berisi baju bayi. Semoga saja, nantinya terpakai semua, harap Aara.
Sebuah teriakan menghentikan langkah Aara dan Rosi, yang baru saja memasuki warung khas Nusantara yang terletak di lantai satu.
"Rosi!"
Aara langsung memandang Rosi tajam, begitu mengetahui siapa yang memanggil sang sahabat, hanya hanya dibalas dengan cengengesan oleh sahabatnya.
"Dah, ayo ke sana." Rosi melingkarkan tangan di lengan Aara, kemudian menggeret wanita berkulit kuning langsat itu menuju meja yang terletak di pojok kanan.
"Tante."
Aara yang melihat sahabatnya, mencium tangan Bu Laras, sontak melongo. Jadi mereka saling mengenal? Terus kenapa tadi Rosi berakting selayaknya orang yang tidak tahu Fawaz?
"Hai, Mas," sapa Rosi pada laki-laki yang duduk di samping ibunya.
"Rosi kok bisa sama Aara?" tanya Bu Laras penasaran.
"Aara sahabat saya Tante."
"O ... sahabat?" Bu Laras tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan pada sang anak, yang membuat Fawaz menghela napas panjang.
Aara yang memperhatikan setiap gerakan Bu Laras, mengerutkan kening melihat interaksi ibu dan anak di depannya.
"Eh ... kok malah berdiri saja? Ayo sini kita makan bareng," ajak Bu Laras.
Sejujurnya Aara ingin menolak, melihat raut keberatan dari laki-laki berkaca mata itu. Akan tetapi, sebelum dia mengatakan hal itu, Rosi lebih dulu mendudukkan diri di depan Bu Laras. Hingga dengan terpaksa Aara duduk di depan Fawaz, satu-satu tempat yang tersisa.
Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa."Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi."Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi."Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening."Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibuny
Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu."Hai," sapa Aara.Tidak ada jawaban apapun dari gad
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj
Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan."Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda.""Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."Fawaz mengangguk
Fawaz memandang langit yang malam tidak menampakkan bintang, dari jendela kamarnya. Meski matanya menatap lurus langit luas, tapi pikirannya berkelana pada kejadian dua minggu lalu.***Fawaz melajukan mobilnya dengan hati tidak karuan, setelah dua hari lalu Aara meminta waktu untuk menjawab lamarannya. Tadi selesai praktek, dia menerima pesan singkat dari wanita itu yang mengatakan ingin betemu dengannya.Maka di sinilah dia sekarang. Di depan rumah sang sahabat, tempat yang dipilih Aara untuk menjawab pertanyaannya. Dengan langkah tegap, Fawaz berjalan memasuki rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.Dari depan pintu, dia bisa melihat Aara yang tengah berbincang dengan Rosi. Sementara Rafi tampak sibuk dengan ponselnya, yang bisa Fawaz tebak, kalau laki-laki itu tengah asyik bermain game.Setelah mengucapkan salam, yang dibalas oleh ketiga orang itu. Fawaz segera masuk dan duduk di depan Aara.Aara melirik sekilas laki-laki yang dua hari lalu
"Kalau Aara selesai berkemas, langsung berangkat. Jangan ditunda-tunda!"Fawaz yang mengantarkan sang ibu menuju mobil yang akan membawa wanita itu pulang, hanya mengangguk sebagai jawaban. Karena sedari tadi sang ibu tidak berhenti mewanti-wantinya ini dan itu.Acara memang sudah berakhir dua jam yang lalu, rumah Aara pun sudah bersih karena para petugas WO sudah merapikan semuanya. Sedangkan Nilam tadi sudah mengabarkan, kalau persiapan acara syukuran nanti malam, di rumah sang ibu sudah hampir selesai. Untuk itu lah ibunya memilih pulang duluan.Kembali berjalan memasuki rumah yang kini tampak sepi. Fawaz dibuat bingung sendiri, karena tidak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya dia memilih untuk ke kamar Aara, menanyakan istrinya sudah siap apa belum.Istri? Tanpa sadar Fawaz tersenyum saat kata itu terus berputar di otaknya.Mengetuk pintu tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Fawaz memutuskan membuka kamar yang ternyata tidak dikunci. Laki-l