Bunyi ketuk palu hakim, menandakan berakhirnya pernikahan dua manusia yang duduk bersebelahan. Tidak raut berarti di wajah kedua orang itu. Mereka sama-sama terlihat biasa saja di depan semua orang. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka sebenarnya.
Secara bersamaan mereka berdiri. Dafa berjalan menghampiri Aara, mengajak bersalaman yang dibalas Aara dengan menangkupkan kedua tanggannya di dada.
"Semoga kamu bahagia, Mas." Doa Aara tulus.
Dafa menatap kepergiaan mantan istrinya dengan perasaan berkecamuk. Tidak! Dia tidak akan menyesal. Tekad Dafa dalam hati.
Meski ragu kian menggelayuti hati. Dia tetap akan bertahan, tidak akan kembali pada masa lalunya.Sedangkan Aara tetap berjalan tegap menuju pintu keluar. Raut wajahnya tenang, senyum tipis menghiasai bibir saat tidak sengaja bertatap dengan orang-orang berada di tempat yang sama dengannya. Itu semua semata-mata dilakukan untuk menutupi hatinya yang remuk redam.
Bayangan indahnya pernikahan hingga maut memisahkan. Keinginan menua bersama pasangan, terpaksa harus berakhir detik ini. Menyesal? Entah lah, Aara masih kesulitan meraba perasaannya saat ini. Namun, yang jelas dia berusaha untuk mengambil pelajaran dalam hal ini.
Semilir angin menerbangkan rambut hitam sebahu milik Aara, dia tersenyum pada Rosi—sahabatnya—yang sudah menunggu di depan bangunan bertuliskan Pengadilan Agama. Pelukan erat langsung dia dapatkan dari sang sahabat.
"Sa–sabar, ya." Terbata-bata Rosi mengatakan itu seiring dengan air mata yang mengalir di pipinya. Memikirkan nasib sahabatnya.
"Udah, aku gak pa-pa. Jangan nangis lagi. Malu sama suami." Aara tersenyum pada suami sahabatnya yang berdiri di belakang Rosi, yang dibalas gelengan pelan oleh laki-laki itu.
Aara paham, sahabatnya masih merasa bersalah atas perceraiannya. Karena bisa dibilang Rosi lah yang mengenalkannya pada sang mantan suami. Mas Rafi—suami Rosi—adalah teman satu kantor Mas Dafa.
"Nanti aja dilanjut di rumah. Malu, yang." Mas Rafi mengusap kepala istrinya.
Melihat pemandangan di depannya. Rasa nyeri yang selama ini berusaha dia tepis muncul kembali. Bukan. Aara bukannya iri, hanya saja perlakuan Mas Rafi pada Rosi mengingatkannya pada awal-awal pernikahannya dengan Dafa.
"Ini semua gara-gara teman kamu Mas! Rasanya aku pengen jambak cewek itu!"
Aara mengikuti arah pandang Rosi. Di sana, di tempat parkir, terdapat Dafa dan keluarganya juga Kirana yang hari ini tampil menawan dengan gaun kasual selutut warna biru. Ya, bukan hari ini saja. Karena Kirana selalu terlihat menawan setiap waktu.
Menatap orang-orang itu yang juga tengah memandangnya dengan ekspresi berbeda-beda. Sudut bibir Aara tertarik, hingga terlihat jelas sebuah lesung pipi di sebelah kanan. Terserah kalau mereka memandangnya sinis, tapi Aara tidak akan melakukan hal yang sama. Toh, kini sudah tidak ada lagi hubungan di antara mereka.
Aara tersentak saat tiba-tiba tangannya ditarik dengan kuat. "Gak usah diliat! Bikin enek aja!"
"Hei, gak boleh bilang gitu."
"Kamu, sih, terlalu baik jadi orang. Jadi gini, kan? Mereka berlaku seenaknya padamu."
Menghela napas berat. Aara membenarkan ucapan sang sahabat. "Udah, gak usah bahas masa lalu. Kita bahas masa depan saja," usul Aara.
"Baiklah, tapi mulai sekarang kamu harus belajar melawan. Jangan iya-iya terus!" ujar Rosi menggebu-gebu. Gemas dengan sifat sahabatnya yang selalu mementingkan perasaan orang lain. Hingga tidak jarang, karena kebaikan itu dia dimanfaatkan orang lain.
Ketiga orang itu segera berlalu menuju ke arah kanan. Tempat mobil Rafi di parkir. Hingga tidak menyadari, kalau langkah mereka diawasi oleh empat orang dewasa yang memandang mereka dengan ekspresi berbeda-beda. Senang, terluka, dan sedih.
***
Kata orang menyembuhkan luka memang butuh waktu. Hal itu disadari betul oleh Aara. Selepas pulang dari pengadilan, wanita berkulit kuning langsat itu meminta diantarkan langsung ke rumah. Meski tadi Rosi sempat menawarkan agar Aara sementara tidur di rumahnya.
Penolakan halus Aara berikan pada sang sahabat. Dia butuh waktu sendiri, merenungi apa yang terjadi dalam hidupnya serta membuat rencana-rencana baru untuk masa depannya.
Menatap sekeliling kamar, yang pernah menjadi saksi bisu bagaimana dulu dia dan mantan suaminya pernah begitu saling mencintai. Aara mendesah lelah ketika rasa sakit mulai menjalari hatinya. Oksigen terasa menipis hingga menimbulkan sesak di dada.
Aara menarik napas beberapa kali, berharap dengan itu bisa menetralkan pikiran dan hatinya. Maka ketika dia sudah mulai tenang, segera Aara berjalan keluar menuju dapur, untuk melakukan sesuatu yang sudah dia niatkan sejak dari pengadilan tadi.
Kembali dalam kamar yang bernuansa minimalis, dengan cat putih dan juga gorden coklat serta furnitur dari bahan kayu. Aara yang sudah membawa kardus, mulai mengambil foto-foto yang ada di nakas. Kemudian dia menyeret kursi meja rias untuk membantunya mengambil foto yang menempel di tembok.
Dia bersyukur semua foto yang terpajang di dinding ukurannya tidak terlalu besar, hingga dia tidak kesulitan mengambilnya. Setelah selesai memasukkan semua dalam kardus, Aara berniat menyimpannya dalam gudang. Karena sekarang dia masih belum sanggup membakar semua itu. Namun, dia yakin suatu saat pasti dia akan siap melakukannya. Ketika dia sudah bisa berdamai dengan rasa sakit yang dirasakannya.
Langkah wanita dengan rambut sebahu itu terhenti, melihat sebuah kantong dari kertas tergolek di samping lemari. Penasaran dengan benda itu, Aara segera meletakkan kardus di lantai dan berjalan menuju arah lemari besar berwarna natural.
Aara berjalan menuju ranjang untuk membuka kantong itu, yang ternyata berisi pakaian yang dibawanya dari rumah sakit. Aara heran, kenapa dia sampai lupa? Seharusnya dari awal dia sudah membuang benda ini.
Baru saja Aara kan bangkit, tanpa sengaja tangannya menjatuhkan kantong itu. Menyebabkan isinya berhamburan keluar, hal yang membuat Aara mematung adalah beberapa foto yang dijadikan bukti perselingkuhan, yang tidak pernah dia lakukan, berserakan di lantai
Dia mengambil foto-foto itu, dan mengamatinya kembali karena kemarin dia hanya melihat sekilas.
Tawa kecil lolos dari bibir tipisnya. Bagaimana mungkin orang-orang percaya dia selingkuh hanya dari foto ini?
Dalam foto itu tergambar dia yang sedang berdiri menatap jalan raya, sedang di sampingnya berdiri laki-laki jangkung menggunakan jaket biru navy bertuliskan "I am your doctor"
Kening Aara mengkerut, matanya menyipit melihat foto itu lagi. Tidak ada gestur orang yang saling berhubungan di sana, bahkan ada jarak antara dirinya dan laki-laki di foto itu. Meski hanya sejengkal.
Sudah lah, Aara lelah memikirkan hal itu. Toh, sekarang analisanya tidak akan berguna. Karena dia juga sudah bercerai. Akhirnya dia memilih meletakkan foto itu dalam kardus bersama masa lalunya.
Dengan langkah tegap, Aara bersiap membuang semua masa lalu buruknya, menyimpannya di tempat paling sudut. Agar tidak mengganggu masa depannya dan bisa dia ingat sebagai pelajaran paling berharga.
Kini dia siap menyambut masa depan dengan senyum lebar, hati yang lebih lembut dan juga pribadi yang lebih baik lagi.
Aara menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita berkulit kulit langsat itu terlihat anggun, dengan gamis abu-abu tua yang menutupi lekuk tubuhnya. Juga, kerudung warna serupa yang menjuntai hingga punggungnya tertutup sempurna.Satu tahun telah dia lalui untuk menyembuhkan hati. Berat? Iya, awalnya memang Aara merasa berat, tapi perlahan dia bisa bangkit.Mengecek jam yang menempel pada dinding yang kini dicat biru muda. Aara bergegas turun ke bawah, karena jarum pendek sudah diangka delapan. Itu artinya sebentar lagi Mbak Yuli akan datang.Benar perkiraan Aara, begitu dia sampai di ujung tangga bawah, sebuah bel berbunyi nyaring."Wa'alaikumsalam," jawab Aara sambil melangkah ke pintu, "masuk, Mbak."Wanita yang sudah enam bulan terakhir membantu Aara membuat kue itu, segera masuk. "Hari ini banyak pesanan?" tanya Mbak Yuli seraya mengikuti Aara menuju dapur."Alhamdulillah, Mbak." Aara memperhatikan Mbak Yuli yang mulai bersiap-siap, menaruh tas
Suasana cafe violet, tidak begitu ramai. Mengingat waktu menunjukkan pukul dua, di mana orang-orang yang biasanya nongkrong di tempat itu, sudah kembali pada rutinitas masing-masing.Hanya ada beberapa pengunjung di sana, yang asyik bercengkrama dengan temannya di cafe yang bernuansa ungu itu. Namun, ada yang berbeda. Dua pasang manusia yang duduk di pojok ruangan seperti tengah berbicara dengan serius."Bagaimana ini? Sampai sekarang Mas Dafa gak ada tanda-tanda akan melamarku. Padahal perceraiannya sudah satu tahun lebih." Mata wanita berkulit putih itu berkaca-kaca, dengan segera dia menunduk ketika air matanya mulai jatuh.Terlambat! Laki-laki berkaca mata di depannya sudah mengetahui hal itu. Maka dengan pandangan sendu, dia mengulurkan tisu pada sang wanita pujaan."Kalau begitu menyerah lah." Fawaz—si laki-laki berkaca mata—menatap lembut wanita yang kini juga balas memandangnya."Aku gak bisa, Kak. Aku cinta sama dia."Tanpa wanita itu sad
Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada."Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya."Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"Kening Aara mengkerut. "Siapa?""Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras.""Kalian udah kenalan?""Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan."O ...."Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!""Emang aku mikir apa?" goda Rosi."Kita sahabatan udah berapa lama sih? Ten
Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa."Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi."Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi."Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening."Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibuny
Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu."Hai," sapa Aara.Tidak ada jawaban apapun dari gad
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj