Share

5. Menanyakan Perasaan Naura

Sesuai dengan rencana awalnya, kini Vira melajukan motornya pergi ke pondok pesantren Al-Hikmah, yaitu tempat Naura menimba ilmu.

Namun sebelum ke sana, Vira terlebih dahulu mampir ke salah satu warung makan untuk mengisi perutnya.

Sebenarnya Vira sudah ditawari makan siang oleh Asih, namun Vira menolaknya karena alasan ingin segera bertemu dengan Naura. Padahal lebih tepatnya ia tidak enak jika harus bertemu dengan Yusuf lagi, dan entah mengapa ia menjadi secanggung ini dengan laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya itu.

Sedangkan di rumahnya Asih. Yusuf yang baru saja masuk ke ruang makan, ia segera menanyakan keberadaan Vira kepada ibunya tersebut.

"Vira ke mana, Bun? Kenapa tidak ikut makan siang juga?"

Asih tersenyum mendengar pertanyaan Yusuf. Lalu kemudian ia menjawab, "Dia sudah pergi, katanya mau mampir ke pondoknya Naura juga."

"Oh ...." sahut Yusuf datar.

"Emm, Yusuf. Tadi Vira cerita ke Bunda, katanya semalam suaminya meminta izin untuk menikah lagi, Bunda jadi kasihan mendengarnya," ujar Asih yang masih merasa sedih. Ia tidak menyangka bahwa Vira juga akan mengalami pengalaman pahit ini.

Sejenak Yusuf tidak memberi tanggapan apa-apa, sebab ia terlalu terkejut mendengar berita ini, bahkan tanpa sadar, Yusuf mencengkeram sendok dalam genggamannya dengan erat.

"Lalu?" tanya Yusuf yang berusaha menjaga intonasi suaranya agar tetap normal.

"Iya, Bunda menceritakan sedikit masa lalu Bunda, siapa tahu bisa menjadi pelajaran untuk Vira, dan akhirnya ia bisa memilih keputusan yang terbaik untuknya dan keluarganya."

Yusuf hanya mengangguk, lalu kemudian mereka berdua melanjutkan makan siang mereka dengan tenang. Tanpa Asih sadari, sekarang banyak pikiran tentang Vira yang bercokol di dalam kepala Yusuf.

Sedangkan di sisi lain, Vira sudah sampai ke tempat tujuannya, kini ia sudah duduk dan menunggu Naura di dalam ruangan khusus untuk pertemuan wali santri. Vira juga tidak lupa untuk membeli sate ayam kesukaan putrinya, dan juga jajanan ringan yang nantinya bisa dibagikan dengan teman sekamar Naura.

Tidak lama kemudian, terdengar suara ceria seorang gadis kecil yang mengucapkan salam.

"Assalamualaikum ... Bunda, Naura kangen ...." ujar Naura seraya berlari lalu memeluk Vira erat.

"Bunda juga kangen dengan Naura," balas Vira seraya mencium kening anaknya tersebut.

"Bagaimana kabar Naura? Apakah akhir-akhir ini menyenangkan?" tanya Vira. Lalu kemudian dengan penuh semangat Naura menceritakan semua kegiatannya.

Naura juga menceritakan, bahwa ia diminta Neng Alia, teman sekelasnya yang juga termasuk putri Pak Kyai untuk pindah ke 'ndalem'. Namun, tentu saja harus menunggu persetujuan dari wali santri terlebih dahulu. Sebab di pondok pesantren ini ada aturan, jika santri yang sudah ikut 'ndalem', mereka tidak bisa 'boyong' atau pulang kecuali jika mereka menikah.

Yang berarti, entah betah atau tidak, sudah khatam menghafalkan Al-Qur'an atau belum, dan juga lulus atau belum sekolahnya, mereka harus tetap tinggal di 'ndalem', sampai akhirnya sang santri tersebut memilih untuk menikah.

Sedangkan Vira tentu setuju saja, sebab tidak mudah bagi para santri untuk bisa ngabdi dengan Pak Kyai dan keluarganya, bisa dibilang ini adalah cita-cita kebanyakan para santri, jadi ketika mendapatkan tawaran ini, sungguh sayang jika menolaknya.

Begitu pula dengan Naura, ia tidak ingin menyia-nyiakannya, Naura juga merasa bersyukur karena bisa berteman akrab dengan putri Kyainya tersebut. Hingga ia tidak perlu menjalankan seleksi untuk ngabdi di ndalem.

Di tengah-tengah obrolan mereka, Naura sepintas melihat teman sekamarnya lewat, lalu kemudian ia memanggilnya.

"Della," panggil Naura hingga membuat temannya itu menoleh. Lalu kemudian Della masuk ke dalam ruangan itu dan menyapa Vira.

"Della, apakah kamu akan pergi ke kamar?" tanya Naura dengan senyuman manisnya.

Della mengangguk. "Iya, ada apa?"

"Boleh nitip ini nggak? Kamu bisa memakannya dengan teman-teman yang lainnya juga," pinta Naura.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Mari Tante, assalamualaikum," pamit Della yang kemudian berlalu meninggalkan ibu dan anak tersebut.

"Waalaikumsalam," sahut Vira dan Naura kompak.

"Bun, Della itu anaknya pendiam. Kadang kalau tidak diajak bicara duluan, dia hanya diam saja. Dia mulai berubah seperti ini semenjak dia memiliki dua Umi, karena Abinya Della menikah lagi," tutur Naura.

Deg...

Seperti ada yang meremas jantung Vira, entah mengapa ia merasakan sesaknya perasaan Della, dan sebentar lagi putrinya mungkin juga akan mengalami hal yang sama. Vira jadi tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Naura?

"Lalu, bagaimana dengan Della? Apakah dia sedih dengan kenyataan ini?" tanya Vira penasaran. Sebenarnya tanpa Vira menanyakannya ia sudah bisa menebak bagaimana perasaan Della, karena jika Della baik-baik saja, pasti kepribadian Della juga tidak mungkin berubah.

"Kata Della dia senang-senang saja, sebab Uminya yang baru juga menyayanginya, bahkan Della juga mendapatkan uang saku lebih, sebab Uminya yang baru tidak pelit padanya," papar Naura polos. Anak kecil memang akan senang mendapatkan uang saku lebih. Namun, siapa yang bahagia melihat ayahnya menikah lagi dengan wanita lain?

Sejenak Vira berdehem, lalu kemudian dengan pelan Vira bertanya, "Naura, misalkan Naura yang berada di posisi Della, bagaimana dengan perasaan Naura?"

Bocah itu sejenak melirik ke atas, seraya mengetukkan jari telunjuknya ke dagunya, ia tampak sedang berpikir dan membayangkannya.

"Tidak masalah jika memang istri barunya Ayah sama baiknya dengan Uminya Della, sebab dia juga akan menyayangi Naura." Lagi-lagi Naura berpikir dengan polosnya. Membuat Vira menghela napas panjang.

"Kenyataannya mungkin tidak sesederhana itu, Sayang. Tapi, sepertinya kamu juga tidak keberatan jika Ayahmu menikah lagi. Dan, sekarang haruskah aku bisa mengizinkan Mas Lukman menikah lagi?" batin Vira.

Naura memang gadis kecil yang polos, namun ia peka dengan pertanyaan bundanya.

"Bunda, andaikan suatu saat nanti Ayah ingin menikah lagi, Naura mungkin tidak akan keberatan. Namun, bagaimana dengan Bunda? Karena kata Della, dia sering melihat Uminya nangis dengan sembunyi-sembunyi, itu berarti Uminya Della sebenarnya tidak bahagia ya? Jadi semua keputusan tetap ada di tangan Bunda, Naura hanya bisa mendukungnya saja," ujar Naura yang kemudian langsung memeluk ibunya.

Tanpa diketahui Vira, Naura menitikkan air matanya di dalam pelukan Vira. "Della, apakah nasib kita akan sama?" batin Naura. Ia merasa sedih, namun jika ini demi kebaikan keluarganya, Naura akan berusaha menerima semuanya dengan ikhlas.

Tapi, lagi-lagi Naura memikirkan perasaan ibunya. Akankah bundanya itu akan bahagia jika Ayahnya menikah lagi?

Begitu juga dengan Vira, ia masih memikirkan bagaimana Naura ke depannya, akankah Naura juga bisa berubah seperti Della? Atau putrinya itu akan tetap ceria seperti sekarang?

Vira memang perlu memikirkan hal ini secara matang-matang. Ia tidak bisa mengambil keputusan yang membuat anaknya ikut tertekan.

Namun, ketika mengingat perkataan Asih, bahwa tidak menutup kemungkinan jika Lukman malah akan berselingkuh karena ia menolak permintaan suaminya untuk menikah lagi, jadi Vira harus memikirkan semua itu, karena tanpa sadar ia akan membiarkan suaminya jatuh ke dalam kubangan dosa.

Sebab, jika laki-laki sudah mempunyai keinginan untuk menikah lagi, tentu paling tidak sudah ada rasa di antara mereka, dan iblis sudah tentu akan ikut andil untuk menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan zina. Untuk itu Vira tidak bisa mengabaikannya. Namun, bagaimana dengan hatinya, apakah dia sanggup dimadu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status