Share

Part 5 : Laras

"Miaaa!!" teriaku saat membuka panci itu. Beberapa saat kemudian Mia datang ke pantry disusul Pak Kusnadi yang memang malam itu menginap juga di klinik.

"A-apa ... itu?" tanyaku setengah gagap.

"Mana Laras? Itu hanya potongan sosis. Kamu kenapa?" Mia memeriksa isi panci yang kini telah tumpah berserakan di lantai.

Aku mengucek mataku perlahan, tak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tapi Mia meyakinkan terus bahwa apa yang tadi kulihat seperti jari tangan dan kaki itu hanya potongan sosis.

Melihat Pak Kusnadi yang langsung sibuk membereskan tumpahan panci itu, aku tetap histeris. Anehnya aku sangat yakin itu adalah jari, tapi Pak Kusnadi pun sama-sama meyakinkanku. Dia mengatakan itu hanyalah sosis. Sehingga aku merasa, dalam kegelapan aku berhalusinasi. Ah sial, ini memang sosis.

"Kamu butuh istirahat Laras, Skizofrenia-mu aktif karena kau terlalu depresi mengingat kehilangan Seruni." Perkataan Mia sangat meyakinkan dan aku amat percaya itu adalah hasil halusinasiku saja.

Aku diantar Mia ke kamar. Sebelumnya dia memberikan obat tidur agar aku cepat terlelap.

"Tidurlah! Polisi masih mengusut kasusnya. Sekarang kau tenang dulu. Kita tunggu kasusnya terungkap." Ucap Mia menenangkan.

Malam itu aku pun tertidur lelap. 

***

Aku memang pengidap Skizoafektif. Gangguan kelainan mental yang ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif ( gangguan mood ). 

Skizoafektif terjadi atas gabungan gejala skizofrenia seperti halusinasi, mendengar bisikan-bisikan, delusi. Hal itu dipicu oleh beberapa faktor di antaranya kecemasan, depresi dan kesedihan yang akut.

Kami bersahabat sudah menginjak tahun keempat. Mia yang sudah sangat mengenal penyakitku ini benar-benar mengerti. Apalagi, kejadian kehilangan putriku membuatku sangat terpukul. Sungguh, aku bersyukur punya sahabat seperti Mia. 

***

Sejak kehilangan putriku seminggu lalu, aku semakin sering mengalami hal-hal seperti halusinasi dan delusi. Kadang aku seperti melihat anakku berdiri di depan kamar Pak Kusnadi, kadang juga seperti sedang berlari-lari di depan area ruangan bayi. 

Berbagai upaya pencarian putri keduaku sudah kami lakukan, tapi hasilnya tetap nihil. Polisi pun angkat tangan. Motif penculikannya sangat rapih, tak meninggalkan jejak bukti sama sekali. Kali ini aku harus mengikhlaskan kasus ditutup tanpa hasil. 

Mia yang terus mendampingiku, kehadirannya sangat membantu saat bisikan dan halusinasi itu muncul. Sejak itu, Mia menyarankan aku untuk kembali tinggal di klinik. Aku butuh terapi sepertinya, atau minimal aku butuh teman. Dalam kondisi depresi seperti ini aku tak mungkin tinggal sendiri di rumah tanpa teman. 

***

Ada kisah masa laluku yang memang kurang baik. Aku pernah mengalami trauma berat. Ketika berusia enam tahun, aku adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pamanku sendiri. Di mana saat itu, pamanku yang masih bujang tinggal bersama kami. 

Kejadian awalnya aku sering diberi permen, uang, dan diiming-imingi jalan-jalan ke pasar malam untuk sekadar naik komedi putar atau hanya membeli mainan alat masak-masakan yang sangat aku gemari. Sang paman selalu memintaku untuk menemaninya tidur siang ketika ayah dan ibuku tak ada di rumah. Ayah dan ibu adalah seorang PNS di puskesmas.

Paman selalu melucuti pakaianku dan memintaku melakukan hal yang aku sendiri tidak mengerti di usia itu. Dia memintaku memegangi alat vitalnya atau kebalikannya. Aku yang termakan bujukannya tak pernah sekali pun bicara pada ayah dan ibu. Paman selalu mendoktrin bahwa dia adalah orang baik dan aku percaya itu. 

Berkali-kali paman meniduriku, dari mulai rasa sakit yang kurasa, sampai aku sendiri menemukan kenikmatan luar biasa saat bersamanya. Entah itu kenikmatan macam apa. Yang pasti aku sendiri kadang tak bisa menolak ketika paman sudah memberi kode untuk segera masuk ke kamarnya. Sampai akhirnya aku hamil. Usiaku yang baru menginjak sembilan tahun tak kuat menahan janin yang ada di tubuhku. Enam bulan usia kehamilan, aku keguguran. Janin hasil perbuatan pamanku itu terpaksa dikuret oleh seorang bidan puskesmas. 

Kasus keguguran yang kualami sempat menghebohkan warga kampung, begitupula ayah dan ibu. Tak ada ampun bagi pamanku. Dia lantas dijebloskan ke penjara. Aku tak ingat berapa tahun hukumannya karena aku sedang dalam pemulihan saat itu. Sejak saat itu aku sering mengurung diri di kamar. Perasaanku campur aduk. Aku yang terlanjur menikmati sentuhan paman, kini dia hilang. Entah. Aku tak ingin menyalahkan dia. Rasanya aku pun menikmati hal itu. Jika tidak ada kejadian ini rasanya aku tak ingin berhenti menikmati hal tersebut setiap hari, seperti dulu. 

Tahun berlalu, aku mulai menangkap perilaku aneh dari diriku. Sangat sulit kuceritakan pada siapa pun. Sejak tinggal di asrama sekolah kebidanan, aku sering merasa menyesal dengan diriku dan masa laluku itu. Merasa jijik dengan tubuh sendiri hingga aku coba melukai bagian tubuh seperti tangan, kaki, bahkan pernah ingin menggores wajahku dengan gunting, walau itu tak sampai terjadi karena Lidya -teman sekamarku di asrama- memergokinya. Dan anehnya, di satu sisi aku sangat merindukan sentuhan sang paman. 

Kondisi kejiwaan yang bertabrakan itu kadang membuatku menangis histeris di dalam kamar. Terekam kejadian demi kejadian masa kecil dengan perilaku penyimpangan seksual yang kualami tersebut, membuatku sering berhalusinasi. Sampai akhirnya aku menikah dengan suamiku. Aku menerima dia karena raut wajahnya yang sepintas mirip paman. Namun saat berumah tangga, dia malah menambah beban pikiran dan tingkat depresiku. Hutang suamiku yang baru ketahuan saat dia meninggal menjadi faktor penambahnya.

Aku belum pernah sebahagia sekarang bersama Mia. Hidup bergelimpangan harta. Tak peduli seperti apa anggapan orang tentang klinik kami. Yang pasti sekarang kami menikmati hasilnya. Walau ketika hati nuraniku mendominasi, ingin rasanya mengakhiri ini semua. Terlalu sulit untuk kujelaskan. Menjalani hari-hari selama empat tahun dengan seorang Mia yang terbilang aneh. Tapi, aku nyaman bersamanya karena sekarang aku punya segalanya.

***

"Sudah kubilang, lenyapkan semua bukti! Jika sekali lagi kau melakukan kecerobohan, aku akan mengulitimu!" Pisau belati yang ditodongkan pada leher Kusnadi malam itu benar-benar membuat dia berkeringat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status