Share

Klinik Aborsi
Klinik Aborsi
Author: DeAndra 24

Part 1 : Klinik Aborsi

Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang disajikan dengan menu sadis, tragis, dan ending yang tidak biasa.

Di mana alurnya akan dibuat maju mundur dan dibutuhkan kejelian pembaca untuk menangkapnya. Penulis hanya memberi pesan dalam novel ini agar kita selalu aware terhadap lingkungan sekitar. Di mana pengidap kelainan mental terkadang berasal dari orang terdekat dan tidak disangka.Jika pembaca jeli, penulis sedikit memberi gambaran tahapan seseorang untuk masuk ke dalam fase kanibal dan psikopat.

****

Klinik Aborsi

"Kapan kita eksekusi?"

"Nanti malam."

" Ok."

Telepon ditutup.  

Dokter cantik itu memang sudah terbiasa berurusan dengan bagian tubuh manusia, jadi takkan sulit rasanya jika hanya menggorok leher seorang wanita.

***

Namaku Laras, aku adalah bidan di sebuah rumah bersalin. Menolong ibu-ibu melahirkan memang sudah menjadi tugasku setiap hari. Tapi rasanya pengabdian itu tidak sebanding dengan penghasilan yang kudapat.  

Hidupku tetap susah. Biaya mengontrak rumah dan biaya menghidupi tiga orang anak membuatku kadang harus memutar otak untuk menutupi kebutuhan. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu.  Penyakit diabetes karena keturunan adalah faktor utama perenggut nyawanya. Jadilah aku orang tua tunggal bagi ketiga anakku yang saat itu masih kecil-kecil. Dengan honor yang kurasa tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup, aku harus bertahan. Namun, sejak aku melakukan bisnis di luar tugasku di rumah bersalin itu, lambat laun kehidupanku merangkak naik. 

Kini aku sudah punya rumah sendiri dan klinik kecil yang selama ini aku idamkan. Perkenalanku dengan Mia empat tahun yang lalu di sebuah stasiun adalah titik awal memulai bisnis ini. Mia saat itu mengaku tengah cuti liburan hendak pulang ke kampung halamannya. Ternyata dia satu daerah denganku.  Kami pun bicara banyak hal selama dalam perjalanan. 

Mia adalah seorang dokter kandungan. Tak jauh berbeda profesinya denganku. Kami bekerja di bidang yang sama yakni menolong ibu-ibu dalam proses persalinan. 

Cerita kehidupanku pun mengalir. Aku saat itu dalam kondisi pailit, tiga anakku butuh biaya yang tidak sedikit dan Mia memberi ide sebuah bisnis yang menggiurkan. 

Kami memulai rencana pada bulan Januari empat tahun yang lalu. Dengan modal uang dari Mia dan sedikit tabungan simpananku, kami mengontrak rumah sederhana di sebuah perkampungan yang tak jauh dari kota. Kami pun membeli peralatan seadanya dari uang sisa patungan kami tersebut. 

Rumah kontrakan itu kami sulap menjadi klinik kecil, tempat bisnis baru kami. Aku mulai menerima pasien di sini sebagai pengganti dari gajiku yang tak seberapa dari rumah bersalin itu. Demi bisnis ini, aku dan Mia rela resign dari tempat kerja kami masing-masing. 

Setelah mengantongi izin, akhirnya klinik kami bisa berjalan dan menerima pasien melahirkan. Tapi, apakah klinik ini fungsinya untuk menolong orang melahirkan saja? Tidak!

Kami justru sengaja membuka layanan menggugurkan janin ( aborsi ). Tentunya secara diam-diam dan dari mulut ke mulut.

Menurut Mia, kota ini tercatat paling tinggi angka kehamilan di luar pernikahan alias MBA-nya. Benar saja, baru sebulan kami praktik, sudah mendapat sepuluh pasien remaja yang tengah putus asa karena takut ketahuan orang tuanya. Itu artinya, per tiga hari kami melakukan aborsi. 

Kami bekerja sama ketika mengeksekusi pasien. Mia bagian yang mengeluarkan janin  dan aku sebagai asisten yang menyiapkan peralatan dan perlengkapan. Di bisnis ini kita bagi hasil. Masing-masing lima puluh persen. Mia bilang, saham dan tenaga kami sebenarnya sama besar. Aku senang, Mia adalah kawan yang sangat baik. 

Kami memasang tarif sesuai dengan kondisi janin. Makin besar janin yang tumbuh maka semakin besar pula biaya aborsinya. Saat itu aku dan Mia menarik harga untuk janin berusia enam minggu senilai dua juta rupiah. Silahkan kalikan, berapa pundi rupiah yang kami dapat dalam sebulan jika rata-rata janin yang digugurkan usianya sekitar lima sampai enam bulan. 

Aku dan Mia tak berfikir akan risiko pasien. Yang kami bayangkan hanya uang dan uang. Lagipula, pasien kami tak ada yang sampai mati, paling pendarahan saja, itu pun hanya satu-dua. 

Di mana kami kubur janin-janin itu?  Kami menguburnya di halaman belakang klinik yang kebetulan adalah kebun pisang. 

Pekerjaan ini bahaya? Tentu saja, tapi atas arahan Mia kami melobi aparat dan pejabat setempat agar usaha ini berjalan dengan mulus dan lancar tanpa kendala. 

Dosa? Ah, aku tak ingin sibuk memikirkan dosa. Toh, mereka datang bukan karena aku dan Mia yang memaksa. Justru aku dan Mia 'lah penolong mereka. 

Urusan janin itu? Biar saja memang takdirnya untuk tidak hidup di dunia. Buat apa terlahir jika calon bapak dan ibunya saja tak siap menerima kehadiran mereka. Iya, 'kan? 

Jangan tanya tentang warga sekitar, apa mereka tahu bisnis ini? Mungkin mereka tahu. Tapi, sampai detik ini klinik kami berjalan dan warga sekitar seolah bungkam. Tak ada yang berani melapor.

Semakin hari pasien kami semakin banyak. Tabungan kami pun semakin melimpah. Klinik yang tadinya kami sewa sekarang sudah jadi milik kami. Aku pun sudah punya cukup tabungan dan rumah sendiri. Itu semua karena kami selalu kebanjiran pasien. Bayangkan saja, setiap hari kami harus mengeksekusi tujuh sampai sepuluh pasien. Tak jarang malam hari pun klinik kami masih diketuk oleh pasien yang datang dari luar kota. Tentu saja, kami pasang tarif berbeda. Apalagi, jika beberapa pasien itu datang dengan mobil mewah. Bahkan pernah ada artis yang datang dan memberikan segepok uang dengan nominal sepuluh kali lipat dari tarif normal rata-rata pasien aborsi.  

***

Suatu hari, klinik kami didatangi seorang wartawati. Katanya, dia hanya ingin wawancara untuk sebuah acara. Data kami akan tetap aman dan tidak akan diekspose, apalagi sampai kepada aparat. 

Kami tak mau terjebak dengan rayuan wartawati itu. Kami sengaja menolak untuk diwawancarai. Sekali dua kali wartawati itu datang dan kami masih dengan sikap yang sama, sampai akhirnya dia mengancam akan mengekspose keberadaan klinik kami.

Malam itu aku dan Mia merencanakan sesuatu. Kami undang wartawati itu datang ke klinik malam hari. Dengan alasan malam adalah waktu yang pas saat kami sedang tak ada pasien. Undangan kami pun direspon olehnya. Malam itu dia datang sendiri sesuai permintaan kami. 

***

Seminggu kemudian, 

berita koran.

Ditemukan mayat seorang wartawati mengambang di sungai dengan luka gorok di leher.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status