Share

Part 4 : Klinik

"Nanti saya atur waktunya, sepertinya dia akan pulang minggu depan." Ucap Mia pada seorang laki-laki paruh baya.

"Baik bu, tolong sisakan bagian untuk saya," jawab lelaki itu sambil mengasah golok miliknya. 

***

Januari.

"Akhirnya, rencana kita bisa terwujud juga ya, Mi," ucapku malam itu saat kami tengah duduk di salah satu ruangan. 

Proses izin praktek klinik yang semula rumit dan sulit keluar, tiba-tiba disetujui. Upaya kami pun tak sia-sia. Rumah yang kami kontrak untuk dijadikan klinik ini adalah milik seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Bandung. Beliau memberi harga sewa yang murah karena memang sudah bertahun-tahun tak pernah dihuni sejak istrinya meninggal. Bangunannya pun sudah tua dan lebih mirip rumah zaman Belanda. Kokoh, namun sedikit angker. Di belakangnya masih terdapat lahan sekitar dua ratus lima puluh meter. Diisi pohon-pohon pisang yang tak terawat. Kami mendapat informasi tentang rumah ini dari salah satu rekan Mia. Kata Mia, rumah ini pasti membawa keberuntungan. 

Karena klinik ini bangunannya cukup besar dengan kamar yang lumayan banyak, kami memutuskan untuk tinggal di sini. Kupikir, kita sama-sama perempuan, jadi bisa tinggal satu rumah atau bahkan satu kamar sekali pun, tak mengapa. Tapi, Mia mengatur kamar kami masing-masing. Entah kenapa aku selalu dilarang untuk masuk ke kamarnya. Mia bilang, kamar adalah tempat privasi yang tidak boleh dijamah siapa pun. Dengan begitu, aku sepakat untuk tidak memasuki kamarnya, sekali pun itu hanya mengintip. Aku tak berani.  

Aku tinggal di kamar lantai atas. Rumah besar dengan bangunan dua lantai ini telah kami sulap menjadi beberapa ruangan untuk tempat pasien menginap nantinya. Sedangkan Mia memilih kamar pojok di lantai bawah yang jendelanya mengarah ke halaman belakang. Mia ingin pemandangan yang segar, katanya. 

Jadilah kami tinggal bertiga di klinik ini dengan putriku yang kedua. Kebetulan dia tidak mau kubawa ke Solo untuk tinggal bersama nenek dan kakeknya. Putriku ini agak manja dan tidak pernah mau pisah dari ibunya. Mungkin karena jarak usianya yang tak jauh dari adik bungsunya saat itu, jadi kasih sayang belum  full terpenuhi, kesundul dengan lahirnya si bungsu. Saat kuantar kaka dan adiknya, dia sempat kutitipkan di rumah tantenya agar aku tak terlalu repot. Lagipula, ongkosnya lumayan hemat. 

Kulihat Mia sangat sayang pada putriku. Mungkin di usianya yang sudah tiga puluh lima tahun itu, memang ia sudah pantas menikah dan punya anak. Tapi, Mia selalu tertawa jika sesekali kuledek perihal jodoh. Mia bilang, nikah itu buang-buang energi. Agak aneh memang, tapi saat itu kupikir Mia bercanda dan kuanggap biasa. Apalagi, background dia yang sempat tinggal di luar negeri. Kupikir dia tak ingin terikat dengan pernikahan, ingin bebas, tak ada kekangan dan aturan yang mengikat.  

Perlahan klinik kami ramai,  mulai dari pasien melahirkan, keguguran sampai anak-anak remaja tanggung yang hendak menggugurkan kandungannya. Awalnya, pasien kami normal-normal saja. Sampai akhirnya, dari mulut ke mulut klinik kami tersebar menerima pasien untuk aborsi janin.

Mia juga piawai menangani berbagai macam kejadian pasien. Hal itu membuat klinik kami semakin hari semakin ramai. Keahlian Mia yang mungkin jarang dipunyai oleh dokter kandungan lain adalah Mia bisa merubah posisi bayi ketika dalam keadaan sungsang tanpa operasi. Keahlian yang entah dia dapat dari mana. Mia hanya memberi beberapa treatment pada si ibu agar bayi bisa berputar pada posisi semula. Amazing-nya cara itu selalu berhasil.  

Empat tahun berlalu, klinik sudah mempekerjakan beberapa karyawan. Ada Susan bagian pendaftaran pasien, Adit yang biasa mengurus administrasi klinik dan Pak Kusnadi bagian kebersihan. Meski begitu, untuk menangani pasien dan praktek bisnis yang terlarang itu, tetap hanya aku dan Mia yang mengurus. Mereka tak tahu apa-apa. 

Mia menerima karyawan dengan seleksi yang sangat ketat. Mereka tak boleh bicara pada media, masyarakat atau siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Karena itu, kami menawarkan gaji yang terbilang tinggi untuk klinik kampung ukuran di sini. Jelas mereka sepakat, toh yang penting mereka takkan terlibat atau dilibatkan menangani pasien. Hanya Pak Kusnadi yang tidak Mia seleksi. Entah, aku pun tak pernah tahu alasannya. 

***

Hari itu aku izin pamit pada Mia untuk menjenguk kedua anakku di kampung. Lagi-lagi putri keduaku tak ingin ikut. Katanya, dia tidak suka naik pesawat karena takut ketinggian. Akhirnya, kuputuskan pulang sendiri dan kutitipkan anakku pada Mia. 

Dengan senang hati, Mia menyambut anakku untuk tinggal dua hari bersamanya. Di rumahku belum ada pembantu untuk menjaganya. Iya, di tahun keempat ini aku sudah bisa membeli rumah sendiri dengan jarak yang tak jauh dari klinik. 

Aku berani meninggalkan putriku bersama Mia karena sekarang aku sudah punya cukup uang untuk membeli tiket pesawat. Jadi tak perlu waktu lama untuk menempuh jarak ke kampung halaman. Baru saja menginap semalam, esok paginya aku sudah bergegas pulang.

***

Pagi itu Mia neneleponku, menyampaikan kabar bahwa putriku hilang tadi pagi. Aku yang sangat kaget dan tak percaya dengan berita itu, langsung pesan tiket pulang. 

Aku tiba di klinik sore hari. Mia dan beberapa karyawan terlihat panik. Kulihat dua polisi kawan Mia pun berada di sana. Kami sama-sama mencari putriku yang hilang. Kronologis hilangnya, malam itu putriku tidur bersama Mia dan paginya hilang. 

Aku sangat panik dengan kejadian ini. Yang kutahu, putriku tak pernah bermain jauh-jauh. Dia hanya suka bersepeda di kawasan klinik atau di belakang. Kadang dia berkeliling ke ruangan bayi. Tapi kata Mia, semua tempat di klinik ini sudah disisir dan tak ada tanda apa pun. Beberapa pasien hari itu pun tak ada yang mencurigakan sebagai pelaku penculikan anak. Polisi hanya menemukan sandal putus milik putriku di depan ruangan tempat Pak kusnadi beristirahat.  

Satu kali dua puluh empat jam polisi sudah dikerahkan. Aku semalaman tidak bisa tidur, gelisah. Antara bosan menunggu kabar penyelidikan juga geram dengan keadaan yang tak bisa melakukan apa-apa. Mau cari ke mana? Tak ada saksi yang melihat putri keduaku itu hilang. 

Malam harinya, aku pergi ke pantry. Sengaja aku menginap di klinik untuk memastikan kabar dari polisi. Di dapur aku membuat kopi agar sedikit tenang. Tak sengaja kubuka panci yang biasa dipakai untuk merebus air. Tak biasanya panci itu ditutup rapi. Nafasku sesak, ketika melihat jari-jari tangan dan kaki anak kecil yang masih utuh dengan air rebusan. 

"Miaaaaa ...!" seketika aku berteriak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status