Share

Bab 2

"Selamat datang, Mr. Dante Whincester," sapa manajer bank dengan senyum ramah saat menyambut kedatangan Dante di bank itu. Dia lalu mengajak Dante masuk ke dalam ruangannya.

"Saya ingin tahu. Siapa yang telah mengirim uang sebanyak itu ke rekening saya? Mungkinkah terjadi kesalahan?"

Dante melontarkan pertanyaan secara terus terang. Dia tidak ingin berbasa-basi. Semakin cepat dia mendapatkan jawaban, semakin cepat pula masalah ini akan terselesaikan.

"Silakan duduk dulu." Manajer bank menunjuk kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Saya akan menjelaskannya pelan-pelan," lanjut laki-laki muda dengan setelan rapi itu.

Dante menarik kursi itu, lalu duduk perlahan. Jantungnya berdetak sangat cepat. Tapi laki-laki yang sedang duduk di depannya justru terlihat santai dan tidak terbebani dengan masalah Dante.

"Seseorang telah mengirimkan uang itu dari bank yang berada di kota Milan. Mungkin saja Anda memiliki seorang saudara atau kenalan dari sana."

Milan.

Kota itu bahkan asing di telinganya. Meskipun dia pernah mendengar nama salah satu kota terbesar di Italia itu, Dante tidak pernah pergi ke sana. Seumur hidupnya.

"Ti-dak ... Saya tidak memiliki siapa-siapa di sana," sahut Dante sambil tersenyum kaku. "Apakah uang itu bisa dikirim kembali ke orang tersebut?"

Manajer itu menggeleng perlahan. "Sayangnya kami tidak bisa melakukannya karena dia langsung menutup rekeningnya."

Wajah Dante langsung terlipat. Benaknya mengembara. Apa maksud sebenarnya orang itu? Kenapa tindakannya sangat mencurigakan? Dante bertanya-tanya dalam hati.

"Bolehkah saya tahu nama dan alamat tempat tinggalnya? Sepertinya saya harus bertemu orang itu secara langsung untuk menanyakan maksud dan tujuannya mengirim uang sebanyak itu."

Manajer itu terlihat ragu-ragu. Keningnya berkerut. Lalu dia menggeleng perlahan sambil tersenyum tipis.

"Dengarkan saya. Saya tidak pernah memberikan informasi data pribadi seseorang karena itu sangat berbahaya," ucap dia pelan. "Tapi kali ini saya terpaksa melanggar sumpah." Setelah itu dia menyentuh kursor, lalu mengetik beberapa tombol.

Dante mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi. Dia terlihat sangat gusar dan tidak sabaran.

"Anda bisa mencarinya di sini." Si manajer menyerahkan selembar kertas berukuran kecil pada Dante. "Namanya adalah Benigno Corradeo."

Benigno Corradeo. Dante menyebut nama itu dalam hati. Siapa orang itu? Apa hubungannya Benigno dengan dirinya?

Setelah mendapatkan keinginannya, Dante segera meninggalkan bank. Secepatnya dia akan pergi ke Milan untuk menemui Benigno Corradeo.

Satu minggu kemudian. Dante berada di salah satu pesawat terbang kelas ekonomi menuju Milan. Pesawat itu terasa lambat saat terbang, membuat dia merasa tidak sabar karena tak kunjung tiba di tempat tujuan. Sekitar dua jam setelahnya, pesawat yang ditumpangi oleh Dante mendarat di bandara. Dante mencari penginapan terdekat sebelum melanjutkan perjalanan menuju alamat rumah Benigno Corradeo.

Cuaca di kota Milan tidak jauh berbeda panasnya dengan kota London, membuat Dante kepanasan saat berjalan kaki. Sekitar dua kilometer dari bandara, akhirnya Dante menemukan sebuah penginapan sederhana dengan fasilitas seadanya.

Dante tidak membuang waktu lama. Usai menyantap makan siangnya di restoran penginapan, dia menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat. Dante meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke kediaman Benigno.

"Benarkah ini alamatnya?" tanya Dante kurang yakin.

Taksi itu berhenti di depan sebuah pintu gerbang yang menjulang tinggi dengan ukiran kepala singa. Dia tidak melihat apa-apa selain halaman rumput yang setengah mengering dan jalan masuk yang cukup dilalui sebuah mobil.

"Alamatnya tidak salah. Sesuai dengan tulisan yang tertera di sini." Sopir taksi itu menunjuk kertas yang tadi diberikan oleh Dante.

Dante tidak berkata-kata lagi. Setelah membayar ongkos taksi, dia segera turun. Dia mendekati pintu gerbang yang tertutup. Ada beberapa orang yang berjaga. Semua mengenakan setelan hitam dan berwajah garang. Nyali Dante sempat menciut, tapi dia mencoba memberanikan diri menghampiri mereka.

"Siapa kau?"

Dante terlihat kebingungan saat salah satu dari mereka mengajaknya berbicara dalam bahasa Italia. Reflek, dia hanya menggelengkan kepala tanda tidak mengerti ucapan lawan bicaranya.

"Siapa kau?"

Laki-laki itu bertanya dalam bahasa Inggris dengan logat Italia yang kental. Dia memicingkan matanya, menatap Dante penuh curiga.

"Aku Dante Whincester. Aku datang dari London, Inggris." Dante tidak gentar. Dia membalas tatapan laki-laki itu lurus.

“Ada perlu apa kau ke sini?”

“Aku ingin bertemu dengan Signor Benigno Corradeo.” Dante menjawab cepat. Pikirnya, semakin cepat menjawab, maka dia bisa segera bertemu dengan Benigno Corradeo.

“Signor Corradeo tidak bisa bertemu dengan sembarang orang. Terutama orang sepertimu.” Laki-laki itu menjawab dengan tatapan menghina.

“Mungkin Signor Corradeo akan berubah pikiran saat mengetahui aku ingin bertemu dengannya,” tukas Dante balas menantang.

Laki-laki itu tidak berkata-kata lagi. Dia melangkah menjauh dari tempat Dante. Tangannya meraih ponsel dari saku jasnya, lalu dia menghubungi seseorang. Sesekali dia melirik Dante dengan tatapan tidak suka.

"Kau boleh masuk ke dalam. Signor Corradeo akan menemuimu saat makan malam," ucap laki-laki itu, lalu menekan remote ke arah gerbang di depannya. Gerbang itu terbuka lebar secara perlahan.

"Kenapa kau diam saja di situ?" sergah laki-laki itu saat melihat Dante tidak beranjak dari tempatnya.

Semula Dante terlihat ragu-ragu. Tapi saat melihat raut wajah laki-laki itu sangat menyeramkan, dia bergegas melewati gerbang yang terbuka dan berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.

Dante berhenti untuk kedua kalinya sebelum masuk ke dalam rumah utama. Seorang laki-laki lain dengan cambang yang lebat dan berseragam sama seperti gerombolan laki-laki di luar sana menggeledah dirinya. Meskipun merasa tidak nyaman, Dante terlihat pasrah sambil mengerang dalam hati.

Setelah selesai melakukan pemeriksaan, laki-laki itu membawa Dante masuk, lalu menuju ke sebuah ruangan tertutup dengan jendela menghadap keluar. Laki-laki itu langsung meninggalkan Dante, menutup pintu di belakangnya rapat.

Dante memilih duduk di sofa kulit yang terlihat sangat mahal dan bergaya klasik. Tapi, baru sebentar dia mendaratkan tubuhnya, dia bangkit dari sofa ketika mendengar suara mobil mendekat, lalu berhenti di depan rumah. Dia mengintip melalui jendela. Seorang laki-laki bertubuh gemuk dan bungkuk sedang bercakap-cakap serius dengan penjaga yang mengantar Dante kemari. Dante langsung menjauhi jendela saat laki-laki itu melihat ke arahnya.

Sepertinya, laki-laki itu bukan orang sembarangan, Dante menduga-duga dalam hati. Sejak menginjakkan kaki pertama kali di depan sana hingga ke dalam rumah ini, dia menyaksikan sistem keamanan yang sangat ketat dengan adanya banyak penjaga yang sedang bertugas.

"Di mana dia?"

Sayup-sayup Dante mendengar sebuah suara dari arah ruang depan. Lamunannya seketika buyar. Dari suaranya, Dante menyimpulkan bahwa si pemilik suara adalah laki-laki tua tadi. Mungkinkah orang itu Benigno Corradeo?

"Dia sedang menunggu Anda di ruang tengah, Signor."

Dante memasang tampang waspada. Pintu ruangan itu terdorong ke depan. Laki-laki tua itu masuk ke ruangan itu dan bertatapan dengan mata Dante.

"Dante Whincester."

Dante segera berdiri begitu namanya disebut. Tubuhnya mematung, dan matanya tidak berkedip lurus menatap laki-laki itu. Dia memilih tetap diam sambil menunggu saat yang tepat untuk berbicara.

Tidak salah lagi. Dia adalah Benigno Corradeo. Dante menyimpulkan dalam hati.

Benigno menghampiri Dante, lalu memegang kedua lengan pemuda itu. Dia mencermati tubuh Dante mulai dari atas hingga ke bawah. Raut wajahnya tidak bisa diartikan.

"Carlos ... Beri tahu Carmela untuk menyiapkan makan malam untuk tamu kita yang datang dari jauh. Pemuda ini harus makan dengan layak karena dia sangat kurus," ucap Benigno pada laki-laki pertama yang menemui Dante sebelumnya.

Dante terlihat tersinggung begitu mendengar ucapan laki-laki tua itu. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

"Kau tidak perlu repot-repot. Aku baik-baik saja," balas Dante ketus. Dia menatap laki-laki bertubuh gemuk itu tajam. Mereka baru pertama kali bertemu, tapi laki-laki itu bersikap seolah telah lama mengenal dia.

Benigno tertawa lebar. Tangannya lalu menepuk-nepuk pundak Dante keras. "Tenang saja. Aku sama sekali tidak keberatan."

Benigno lalu mendaratkan tubuhnya di sofa tepat di depan Dante. Dengan santai dia menyalakan cerutu, dan menghisapnya kuat-kuat. Asap cerutu mengepul, membubung tinggi ke udara.

"Bagaimana perjalanmu? Aku tidak menyangka kau secepat itu datang kemari," ucap Benigno santai, seolah mereka telah lama saling mengenal.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Dante, lalu ikut duduk di sofa.

Kening Dante berkerut. Matanya mengawasi Benigno dengan seksama. Tapi dia tidak menemukan petunjuk apa pun.

"Kita pernah bertemu berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tentunya kau tidak mengingatnya karena saat itu dirimu belum mengerti apa-apa," jawab Benigno dengan tatapan menerawang jauh.

Dante semakin tidak mengerti. Sejak tadi Benigno senang berteka-teki, dan sengaja membuat dia kebingungan. Laki-laki sebelumnya datang lagi, berbisik di telinga Benigno. Setelah itu dia langsung menghilang pergi.

"Makan malam sudah siap. Sebaiknya kita segera ke ruang makan. Kita bisa melanjutkan percakapan di sana."

Benigno langsung beranjak dari sofa. Dia menunggu Dante ikut berdiri seperti dirinya. Setelah itu dia mengayun langkah panjang menuju ruang makan. Ekor matanya menangkap bayangan Dante yang berjalan di belakangnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

Sementara itu, pikiran Dante berkecamuk. Seharusnya dia tidak menuruti kemauan Benigno. Kedatangannya ke sini bukan untuk beramah tamah dengan Benigno. Bisa saja dia menolak ajakan makan malam itu, lalu segera meninggalkan rumah ini dan kembali ke London.

Namun, Dante tidak bisa melakukannya karena dia belum menemukan jawaban dari teka-teki yang diberikan oleh Benigno. Dia tidak akan pergi sebelum mendapatkan keinginannya.

"Kenapa kau tidak menyantap makan malammu? Carmela telah bersusah payah menyiapkan semua ini." Benigno menunjuk piring-piring berisi makanan yang terhidang di atas meja saat melihat Dante hanya terdiam sejak tadi.

"Kenapa kau memberi uang seratus juta dolar padaku?" Dante membalas dengan melontarkan pertanyaan. Rasa penasarannya meronta-ronta meminta jawaban.

Benigno tertawa lebar usai mendengar pertanyaan Dante. Lalu dia terdiam, dan memandang Dante dengan serius.

"Apakah aku perlu alasan untuk memberi uang pada cucuku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status