"Apa kau baik-baik saja?"
Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.
Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.
Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi.
"Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.
Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali bila ada kesempatan dia akan membalas perbuatan Dante padanya.
"Lizzy .... Jangan pernah mengira hubungan kita telah berakhir," ucap Ben pada Lizzy dengan sorot mata memerah. Setelah itu dia bergegas menyingkir dari sana.
Sepeninggal Ben, Dante menghadap pada Lizzy lagi. Dia mengulurkan tangannya, lalu menarik tangan Lizzy kuat. Dengan sigap dia merangkul pinggang Lizzy karena kaki gadis itu lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.
"Sepertinya kau tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini," gumam Dante setelah melihat keadaan Lizzy yang menyedihkan.
Wajah Lizzy terlihat pucat, dan rambutnya sedikit berantakan. Telapak tangannya tergores dan memerah. Baju atasan Lizzy sedikit terkoyak bagian depannya.
"Aku tidak apa-apa. Terima kasih atas bantuanmu," balas Lizzy dengan suara lemah.
"Siapa namamu? Di mana kau tinggal?" Dante benar-benar mengkhawatirkan Lizzy meskipun mereka baru pertama kali bertemu.
"Elizabeth Lizzy Young. Kau bisa memanggilku Lizzy," jawab Lizzy lalu menyebutkan alamat tempat tinggalnya.
Setelah mengatakan itu mata Lizzy melebar. Tanpa Lizzy duga Dante langsung menggendongnya, lalu mendudukkannya di bangku taman. Selama beberapa saat otak Lizzy membeku, membuat dia kehilangan kata-kata.
"Aku akan mencari obat. Tunggu di sini sampai aku kembali."
Dante membalikkan tubuhnya. Dia berlari kencang meninggalkan Lizzy yang masih membisu. Bayangannya menghilang dari pandangan Lizzy dalam hitungan detik di kegelapan malam.
Pelan-pelan hati Lizzy mulai menghangat. Belum pernah dia menerima perhatian seintens ini dari seorang laki-laki yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Termasuk dari kekasihnya sendiri, Ben. Selama ini Ben selalu bersikap dingin padanya, dan sering berkata kasar tanpa pernah peduli perasaan Lizzy yang terluka oleh kata-katanya.
"Maaf menunggu lama."
Mata Lizzy mengerjap beberapa kali. Lamunannya buyar seketika saat menyadari Dante telah berada di depannya. Laki-laki itu menuang cairan dalam botol ke atas kapas, lalu mengoleskannya di sudut bibirnya yang terluka.
"Auw ...." Lizzy merintih setelah merasakan perih di bibirnya.
Tidak berhenti di sana. Dante menarik tangan Lizzy, lalu melakukan hal yang serupa pada telapak tangannya yang tergores. Dengan hati-hati Dante mengoleskan kapas itu sehingga Lizzy tidak mengaduh kesakitan.
"Sudah selesai," ucap Dante, lalu membereskan perlengkapannya dan melemparkannya ke dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh dari mereka. "Aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak usah. Kau telah banyak membantuku. Aku bisa pulang sendiri," tukas Lizzy cepat. Dia buru-buru bangkit dari bangku taman, dan menatap Dante lurus.
"Jangan keras kepala. Mungkin laki-laki tadi masih menunggumu di suatu tempat, lalu menyerangmu saat kau lengah."
Lizzy tertegun selama beberapa saat. Kata-kata Dante memang ada benarnya. Dia sangat mengenal Ben. Mantan kekasihnya itu memiliki temperamen yang tinggi dan seorang pendendam.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu," kata Lizzy mengalah. Lizzy menyadari dia tidak mungkin membantah kata-kata Dante. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Dante .... Corradeo." Dante mengucapkan namanya dengan kaku karena belum terbiasa dengan perubahan nama belakangnya. Lalu dia melepaskan jaketnya, dan menyampirkannya ke pundak Lizzy. "Kau bisa memakai ini untuk menutupi bajumu yang koyak."
Meskipun merasa canggung akbat perlakuan Dante, Lizzy tetap memakai jaket laki-laki itu. Tanpa berbicara lagi dia mengikuti Dante yang telah berjalan di depannya. Baru beberapa langkah Lizzy berjalan, seketika dia berhenti setelah menubruk punggung Dante. Dia tidak sempat melihat Dante yang telah berhenti terlebih dulu.
Dante naik ke atas motornya dan memasang helmnya dengan cekatan. "Naiklah ke atas sini." Dia menepuk bagian jok belakang motornya. Dengan isyarat matanya dia menyuruh Lizzy naik ke motor itu.
Tidak lama berselang motor itu melaju kencang membelah kegelapan malam. Karena baru pertama kali dia naik motor, ada rasa takut yang menggelayuti hatinya. Lizzy lalu melingkarkan lengannya di pinggang Dante erat, dan menyandarkan kepalanya di punggung Dante.
Lima belas menit berselang Dante menghentikan motornya di depan rumah Lizzy. Lizzy langsung turun, dan mengembalikan jaket Dante. Selama beberapa saat mereka hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Terima kasih. Sampai jumpa lagi," ucap Lizzy akhirnya, dan berhasil memecah keheningan di antara mereka.
"Sampai jumpa," balas Dante tidak yakin akan ada pertemuan selanjutnya di antara mereka berdua. Dia mengangguk singkat, lalu membawa motornya meninggalkan Lizzy yang masih berdiri terpaku di belakangnya.
Tiga bulan kemudian.
“Dante ….” Benigno telah menunggu di ruangan Dante saat cucunya itu masuk ke dalam sana.
Dante tidak mampu berkata-kata karena masih terkejut dengan kedatangan kakeknya tanpa sepengetahuannya.
"Kapan kau datang? Berapa lama kau akan tinggal di sini?" tanya Dante tanpa basa-basi setelah berhasil menguasai keadaan. Sejujurnya dia tidak terlalu senang dengan keberadaan kakeknya di sekitarnya.
"Dua hari. Aku ke sini hanya ingin mengetahui keadaanmu secara langsung." Benigno menjawab sambil menghisap cerutunya.
Benigno datang ke London tidak setiap hari. Bila ada urusan mendesak, dia baru datang ke sini, dan menempati salah satu apartemen mewah miliknya tanpa harus mengganggu kehidupan pribadi Dante. Dia akan membiarkan Dante tinggal seorang diri di penthouse pemberiannya.
"Aku sempat mengira kau akan berkunjung ke sini dalam kurun waktu yang lama." Dante lalu duduk di sofa tidak jauh dari Benigno.
"Kau bersikap seolah-olah sangat mengharapkan kehadiranku di sini, padahal kita tahu kebenarannya seperti apa," celetuk Benigno.
"Aku tidak seburuk itu. Bagaimana pun juga kau adalah keluargaku satu-satunya yang masih ada di dunia ini," timpal Dante.
Kemudian mereka berdua sama-sama tertawa. Mereka sangat menyadari bahwa di permukaan saja keduanya terlihat saling membenci satu sama lain, tapi sebenarnya saling menyayangi.
"Kapan kau berencana meluncurkan koleksi musim gugurmu?" tanya Benigno setelah mereka terdiam cukup lama.
"Satu minggu lagi. Aku dan timku telah mempersiapkan ini mati-matian. Doakan saja semua bisa berjalan dengan lancar," jawab Dante setenang mungkin.
Memikirkan tentang peluncuran koleksi baju musim gugur perusahaannya, membuat Dante merasa sangat gugup dan tidak sabar. Momen itu telah dia nantikan sebagai penanda bahwa dia berhak diperhitungkan dalam dunia fashion. Terlebih karena dia baru terjun di bidang tersebut.
“Baiklah, aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi.” Benigno beranjak dari kursi, dan berniat meinggalkan Dante segera.
“Ada hal lain yang ingin aku bicarakan denganmu.” Ucapan Dante berhasil menghentikan Langkah Benigno.
Benigno memutar tubuhnya, lalu menatap Dante sambil mengerutkan keningnya. “Katakan saja apa keinginanmu.”
“Rumahmu terlalu besar, dan aku merasa tidak nyaman tinggal di sana.”
“Lalu ….”
“Aku ingin pindah ke rumah yang lebih kecil tanpa ada orang lain yang menatap ke manapun aku pergi,” sahut Dante putus asa.
“Lakukan saja yang kau mau.” Setelah itu Benigno bergegas meninggalkan Dante sendirian.
Dante langsung meraih ponselnya, lalu menghubungi agen real estate kenalannya. Beberapa hari yang lalu Dante sempat mengunjungi salah satu penthouse di tengah kota London bersama agen itu. Dia sangat tertarik dan berniat membelinya. Sekarang setelah Bnigno menyetujui permintaannya, dia akan membeli tempat itu dan pindah ke sana sesegera mungkin.
Satu jam setelah itu asisten pribadi Dante masuk ke dalam ruangannya dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tidak langsung berbicara. Dia terlihat kebingungan dan gugup.
"Ada apa?" tanya Dante dengan raut kesal.
"Ada tamu yang ingin bertemu ...."
Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, seorang laki-laki asing menerobos masuk ke ruangan itu lalu berdiri di depan Dante. Laki-laki itu masih muda, dan terlihat masih seumuran dengan Dante. Perbedaan keduanya adalah laki-laki itu memiliki tinggi badan melebihi Dante.
"Selamat siang, Dante," ucap laki-laki itu sambil menyeringai lebar.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Luca Massimo. Saudara tirimu."
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Sial ...." Luca mengumpat kesal sambil menendang kerikil di depannya. Dia benar-benar merasa terhina akan perlakuan laki-laki tadi. Orang itu memperlakukannya seperti sampah tidak berarti. "Tunggu saja. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Luca berteriak sambil mengepalkan tangannya ke arah laki-laki itu dengan sorot mata penuh kebencian. Luca berjalan menjauh dari rumah itu. Dia tidak mungkin kembali ke Florence hari ini juga. Lagi pula urusannya di sini belum selesai. Dia harus bertemu dengan Benigno Corradeo, kalau memang benar orang itu adalah kakeknya. Setelah memastikan bahwa mereka memang memiliki ikatan darah, dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Mungkin kehidupannya akan berubah. Luca bisa menikmati kekayaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan ada kemungkinan lain yang tengah menunggunya di sini. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali sekarang. Urusanku belum selesai," ucap Luca pada pemilik biro wisata. "Kau tidak boleh melakukannya. Ada banya turis yang
"Kathryn .... Ke ruanganku segera." Dante menutup teleponnya, Suasana hatinya pagi ini sedikit tidak menyenangkan. Sejak semalam dia menerima banyak surel yang dikirim oleh beberapa dewan direksi perusahaannya. Mereka mengirimkan protes atas tindakan gegabahnya yang telah memecat model pilihan mereka. Selain itu ada satu lagi masalah yang tengah menanti. Kepalanya terasa berdenyut-denyut saat memikirkan semua itu. "Apakah ada yang kau butuhkan?" tanya Kathryn polos setelah berdiri di depan Dante. Kathryn berhasil menguasai emosinya, dan terlihat sangat tenang saat berhadapan dengan Dante. Atasannya itu terlihat sangat gusar, tapi Kathryn tidak membiarkan dirinya terpengaruh. "Kau pasti sudah tahu alasanku memanggilmu ke sini," balas Dante ketus. Kathryn menggosok hidungnya yang tidak gatal. "Tentu saja aku tahu kenapa kau memanggilku ke sini. Apa lagi kalau bukan terkait dengan semua surel yang kau terima." Dante tersenyum lebar. Dengan Kathryn dia merasa tidak perlu berbasa-basi.
Dante melihat wajah Lizzy yang pucat dan bibirnya bergetar. Tangannya terulur, lalu menyentuh pipi Lizzy yang memerah. Dia melihat ada jejak telapak tangan di sana. Pasti salah satu dari preman tadi menampar pipi Lizzy dengan keras. Bisa dibayangkan, Lizzy pasti kesakitan setelahnya. "Kau tahu siapa mereka?" Lizzy mengernyit kesakitan, lalu menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin orang suruhan Ben. Atau mereka dikirim atas perintah salah satu musuh ayahku." Kemudian perhatian mereka terganggu setelah terdengar suara sirine mobil polisi yang semakin mendekat. Dante menarik Lizzy agar berdiri di sampingnya. Wanita itu tampak masih terguncang, dan pastinya tidak siap menerima pertanyaan dari polisi. Mobil polisi berhenti di depan mereka. Salah satu petugasnya turun dari sana, lalu menghampiri mereka. Petugas terlihat masih muda dan berkarisma. "Selamat malam. Kami menerima panggilan untuk datang ke sini. Bisa kalian ceritakan apa yang terjadi?" Dante memutuskan untuk menjawab pertanyaan