Telinga Dante berdengung panjang. Kepalanya berdenyut-denyut, lalu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Cu-cumu?”Dante mengalami kesulitan saat mengucapkan kata itu. Dia menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya.“Kenapa kau harus terkejut mendengarnya?”Perut Dante mendadak terasa mual. Dia sama sekali tidak memiliki bayangan tentang fakta yang baru saja dia dengar.“Claudia tidak pernah bilang masih memiliki ayah. Dia bercerita hidupnya sebatang kara sejak dia kanak-kanak.”“Dan kau percaya dengan semua bualannya itu?” Setelah itu Benigno Kembali menyantap makan malamnya dengan santai. Seolah tidak ada beban atas perkataan Dante.“Tentu saja aku mempercayainya karena selama hidupku, aku tidak pernah bertemu dengan satu pun anggota keluarga lain. Claudia adalah keluargaku satu-satunya.”Sejak dulu Dante telah terbiasa hidup berdua dengan ibunya tanpa pernah berandai-andai memiliki keluarga selain ibunya sendiri. Jangankan keluarga lain, dia saja tidak pernah mengetahui tentang keberadaan ayah kandungnya. Bila dia bertanya, ibunya akan menampar pipinya dengan kasar hingga bibirnya berdarah, lalu meminta agar tidak ada lagi pembahasan tentang laki-laki itu.Memiliki keluarga yang lengkap dengan kehidupan yang lebih mapan tanpa perlu bekerja dengan keras untuk bertahan hidup adalah sebuah mimpi yang sangat mustahil terjadi. Dante selalu mengingatkan dirinya akan kenyataan itu.“Kalau saja Claudia mengikuti perintahku, dia pasti tidak akan hidup menderita hingga akhir hayatnya. Selain itu, mungkin kau tidak akan pernah lahir ke dunia,” ucap Benigno, lalu memandang Dante lekat-lekat, dan mengakhirinya dengan seulas senyum sinis.“Lalu kenapa kau memancingku untuk datang ke sini? Seharusnya kau tidak perlu bercerita tentang omong kosong itu,” sahut Dante tidak kalah pedas. “Biarkan aku hidup seperti sedia kala tanpa campur tanganmu.”Benigno mendorong piringnya yang telah kosong. “Hidup tidak akan seru bila semua berjalan sesuai dengan rencana kita. Bukan begitu?”Merasa tidak ada gunanya lagi berbicara dengan Benigno, Dante mendorong kursinya. Dia akan meninggalkan rumah ini secepatnya, dan berharap tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sini lagi.“Kau tidak akan ke mana-mana. Tetap duduk di tempatmu,” sergah Benigno. Matanya tajam menatap Dante.“Aku datang ke sini bukan untuk mendengarkan semua ocehanmu,” sahut Dante tidak kalah kesalnya.“Apa kau tidak ingin mengetahui kisah Claudia sebenarnya?” tanya Benigno sengaja memancing rasa penasaran Dante. Dan itu berhasil, Dante kembali duduk.“Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain selain mendengarkan ceritamu.” Dante menjawab dengan acuh tak acuh. "Coba ceritakan tentang ibuku. Bagaimana dia bisa hidup miskin padahal dia memiliki seorang ayah yang kaya raya."“Bila kuperhatikan lebih seksama, kau tidak jauh berbeda dengan ibumu. Kalian berdua sama-sama keras kepala.” Suara Benigno mulai melembut.Dante memalingkan wajahnya. Meskipun ingin menyangkalnya, dia tahu apa yang dikatakan oleh kakeknya adalah benar. Sifat keras kepalanya menurun dari ibunya.“Kenapa kau tidak pernah menemui kami? Bukankah ibuku adalah putrimu?”Setelah menanyakan itu, bibir Dante langsung mengatup rapat. Kini dia menyesal pernah bertanya seperti itu. Dia tidak sungguh-sungguh peduli akan keberadaan kakeknya. Baginya, laki-laki tua yang duduk di depannya itu adalah orang asing yang kebetulan dia temui.“Kau bisa menyalahkan ibumu atas keadaan itu,” sergah Benigno. Dia meniup cerutunya lagi kuat-kuat. Lalu asap mengepul keluar dari bibirnya yang berwarna hitam.“Tentu saja aku tidak bisa melakukannya karena Claudia sudah tenang di alam baka,” jawab Dante ketus seraya tersenyum sinis. “Aku juga tidak mengetahui kesalahan apa yang dia perbuat sehingga kau sangat membenci kami,” pungkas Dante lalu dia meraih gelas berisi air, dan meminum isinya hingga habis.“Aku telah menjodohkan Claudia dengan salah satu anak sahabatku. Orang Sisilia yang sangat kaya raya yang memiliki perusahaan anggur terbesar di negara ini. Niat awalku adalah aku ingin mewariskan semua bisnisku pada anak dan menantuku.” Benigno berbicara dengan tatapan menerawang jauh. “Tapi, Claudia menggagalkan impianku.”Rasa sakit yang merongrong hati Benigno atas pengkhianatan Claudia masih dia rasakan hingga kini. Putri satu-satunya yang dia banggakan telah mengecewakannya. Claudia adalah harapan satu-satunya yang akan mewarisi seluruh kekayaannya.“Pada akhirnya Claudia memilih menikah dengan ayahku. Bila aku boleh memanggilnya begitu karena sampai sekarang aku bahkan tidak pernah mengetahui keberadaannya,” ucap Dante dingin.“Dia sama sekali tidak pantas untuk kau sebut sebagai ayah,” tukas Benigno dengan nada kesal yang terdengar sangat jelas. Benigno menarik napas panjang. “Laki-laki itu memang brengsek. Dan anakku sangat bodoh karena mudah tertipu oleh bujuk rayuannya hingga berani menentang ayahnya.” Suara Benigno terdengar sangat berat. Sorot matanya kelam dan redup.“Apa yang telah dia lakukan pada Claudia?” tanya Dante penasaran.Sejak dulu Dante tidak pernah mengetahui cerita tentang ayahnya. Ibunya enggan bercerita padanya. Setiap kali dia menanyakan tentang keberadaan sang ayah, ibunya langsung tersulut amarah dan memukul tubuh ringkih Dante dengan benda apa saja yang berada dekat dengannya. Mungkin sekarang Dante bisa mengetahui cerita utuh tentang sang ayah dari kakeknya. Mungkin kakeknya bersedia membicarakannya.“Alex Winchester adalah laki-laki tampan, pekerja keras, dan jujur. Begitulah kesan pertama yang dia tampilkan pada kami.” Benigno mengulas senyum sinis setelah mengatkan itu. “Aku benar-benar tertipu olehnya. Sayangnya itu tidak berlaku pada Claudia,” tambah Benigno.“Dari ceritamu ini, aku bisa menyimpulkan bahwa Claudia sangat tergila-gila pada Alex,” celetuk Dante.Wajah Benigno semakin bertambah suram. Sorot matanya sayu saat menatap Dante. “Saat itu Claudia benar-benar buta. Padahal Alex telah memiliki istri. Dia mengira Alex bisa membawanya pergi dari sini agar bisa terhindar dari perjodohan yang telah aku rencanakan,” ucap Benigno getir. “Claudia salah besar. Alex langsung pergi meninggalkan Claudia karena dia tidak mendapatkan apa-apa.”“Kau mencoret nama Claudia dari daftar anggota keluargamu sehingga dia kehilangan segalanya. Keluarga sekaligus kekayaan yang menopang hidupnya sebelumnya,” ucap Dante asal menebak.Benigno hanya diam. Ekspresi wajahnya tidak dapat terbaca dan sulit dijelaskan. Wajahnya terlihat semakin tua dibandingkan usianya yang sebenarnya.“Apakah ucapanku benar?”Dante mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja seraya mengulas senyum sinis. Ternyata tebakannya benar. Hidup Claudia dan dirinya sangat sengsara karena kesalahan yang telah dilakukan oleh sang ibu pada kakeknya itu.“Ya .... Seperti itulah ceritanya. Itu sebagai hukuman untuk Claudia karena dia tidak mengikuti perintahku.” Benigno menghisap cerutunya dalam-dalam.Benak Benigno melayang ke masa lalu. Pada awalnya dia merasa keputusannya benar dan tepat pada sasaran. Tapi pada akhirnya, dia menyesali semua yang telah terjadi. Benigno menyadari bahwa dirinyalah yang kalah dalam pertarungan yang dia ciptakan sendiri.Sementara itu, Dante merasa pikirannya kini telah terbuka. Dari cerita Benigno, dia bisa mengetahui seperti apa gambaran kehidupan ibunya dulu. Pantas saja ibunya menderita. Semua itu karena kakeknya. Sekarang sudah cukup baginya untuk mendengarkan cerita itu.“Kelihatannya sudah tidak ada lagi yang perlu aku dengarkan. Mengenai uang pemberianmu, aku akan segera mengembalikannya padamu,” ucap Dante setelah suasana hening yang panjang.Dante mendorong mundur kursinya. Matanya lurus memandang Benigno yang masih terdiam kaku. Pelan-pelan dia bangkit dari kursinya, dan hendak melangkah pergi.“Kau tidak akan pergi ke mana-mana,” sergah Benigno cepat. “Masih ada yang harus aku bicarakan padamu.”Dante menggelengkan kepalanya. Tanpa menghiraukan ucapan Benigno, dia bergegas berjalan meninggalkan kakeknya.“Dante!” Benigno berteriak. Suaranya menggelegar, hingga membuat langkah Dante terhenti seketika. “Malam ini kau tidak akan meninggalkan rumah ini,” sambung Benigno.“Aku rasa tidak bisa melakukannya. Seperti yang kau bilang tadi, aku sama sekali tidak berhak tinggal di sini. Aku bukan bagian dari keluargamu,” tukas Dante. Dia berdiri kaku dan membelakangi kakeknya.“Kau adalah cucuku. Kau memiliki hak untuk tinggal di sini.”Keesokan paginya. Benigno menerobos masuk ke dalam kamar Dante. Sorot matanya dingin saat menatap Dante yang masih tertidur pulas. Bibir Benigno langsung mengatup rapat. Niat awalnya dia ingin membangunkan Dante. Tapi dia mengurungkan niatnya usai melihat Dante terbangun, lalu terduduk sambil menatap kosong ke arah Benigno “Bersiaplah! Satu jam lagi kita akan terbang ke London.” Beberapa jam kemudian, pesawat jet yang membawa Benigno dan Dante mendarat di London. Sebuah limosin telah menunggu setelah mereka turun dari pesawat, lalu mengantar ke gedung salah satu cabang perusahaan fashion milik Benigno yang berada di kota tersebut. "Aku akan menyerahkan seluruh isi gedung ini padamu dan kau harus menjalankannya dengan baik. Kau menjadi pemilik perusahaan ini sepenuhnya mulai sekarang." Benigno berucap dengan santai setelah mengajak Dante berkeliling dan melihat-lihat.Dia sama sekali tidak memperhatikan perubahan di wajah sang cucu. Dante menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut
"Apa kau baik-baik saja?"Dante menghampiri Lizzy yang terduduk lemas di tanah. Gadis itu terlihat masih terguncang dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Lizzy seolah berada di dunia lain, dan tidak mendengar pertanyaan Dante.Kemudian di belakangnya, Dante merasakan pergerakan yang mendekat ke arahnya. Dengan sigap dia memutar tubuhnya, bersiap menghadang serangan dari lawannya. Matanya tajam menatap, dan wajahnya terlihat kaku menahan amarah.Ben berlari seperti orang kesetanan sambil mengepalkan tangannya. Hatinya terasa panas karena laki-laki asing di depan sana telah berani ikut campur dalam urusannya. Ben ingin memberi pelajaran pada dia. Tapi Ben melakukan kesalahan karena lawannya berhasil menghindar, dan membuatnya tersungkur ke tanah sekali lagi."Segera pergi dari sini kalau kau tidak ingin menyesal." Dante menggertak dengan suara pelan.Karena tidak ingin terluka kembali, Ben memilih mundur. Posisinya kurang menguntungkan. Tidak masalah malam ini dia kalah, lain kali
"Kau mungkin salah orang." Dante berucap pelan sambil menatap laki-laki asing itu dengan sorot waspada. Tidak mungkin Dante menerima tamu tidak diundang ini dengan tangan terbuka. Mereka tidak pernah bertemu, juga tidak saling mengenal. Benigno juga tidak pernah bercerita tentang keberadaan laki-laki bernama Luca Massimo ini. "Sama sekali tidak. Aku memang saudaram. Lebih tepatnya saudara tiri," balas Luca dengan sikap acuh tak acuh. Dia lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan itu dengan tatapan menyelidik. "Kau terlihat cocok berada di ruangan ini," lanjut Luca memberi komentar. Tangan Dante terkepal erat di atas meja. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Dia cukup bersabar dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak saat menghadapi sikap lancang dari tamunya. Bila tidak mempedulikan posisinya saat ini, Dante pasti sudah menerkam Luca, lalu melemparkan laki-laki itu keluar dari hadapannya sekarang. "Kalau memang benar kita memiliki hubungan
"Emily ...."Dante berhasil menyebut nama itu sekali lagi dengan lancar sambil menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya. Rasa benci dan dendam menyebar ke seluruh tubuhnya hingga naik ke atas tepat di ubun-ubun kepala. Kedua matanya memerah, lalu giginya bergeretakan hingga menimbulkan suara yang membuat orang bergidik linu."Apa kau mengenalnya?" Kathryn penasaran dengan reaksi Dante yang dia rasa sangat berlebihan."Aku tidak ingin melibatkan dia dalam proyek ini," ungkap Dante seolah tidak mendengar pertanyaan Kathryn."Tapi dia sudah terikat kontrak secara eksklusif dengan perusahaan kita. Aku tidak mungkin melakukannya," balas Kathryn berusaha bersikap tetap tenang meskipun sebenarnya hatinya tengah memendam rasa kesal. "Ada kompensasi yang harus kita bayar untuk dia," pungkasnya."Tidak masalah. Aku bisa memberikan kompensasi dua puluh lima persen dari nilai kontrak yang telah dia tandatangani," ujar Dante sambil tersenyum licik.Mata Kathryn melotot seketika. Dia
“Kau ….”Setelah terdiam selama beberapa saat, Emily akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Jarinya terangkat, menunjuk wajah Dante.“Kau bisa kembali ke ruanganmu, Kathryn,” ucap Dante pada asistennya. Kathryn mengangguk. Sebelum meninggalkan ruangan itu, dia sempat melirik sebal pada Emily. Bila tidak ingat dia tengah bekerja, model itu pasti sudah babak belur terkena pukulan tangannya.Suasana menjadi hening. Sekarang tinggal Dante dan Emily saja di ruangan ini. Dante mendadak merasa canggung, tapi cuma sebentar. Lalu dia memusatkan perhatiannya pada mantan kekasihnya itu.“Kenapa kau bisa berada di sini?” cerca Emily. Dia masih dilanda kebingungan atas situasi yang tidak pernah dia duga sebelumnya.“Ini kantorku, sekaligus perusahaanku. Apa salah bila aku berada di sini?” tukas Dante ketus disertai dengan tatapan penghinaan yang kentara. “Duduklah di sofa, aku tidak ingin kau pingsan saat berada di sini,” lanjut Dante saat melihat kedua kaki Emily bergoyang-goyang seolah
Dua hari berselang. Emily terduduk lemas di ruang pertemuan kantor agensinya, menatap Sarah dengan sorot mata sayu. Bibir bawahnya sedikit robek akibat gigitan giginya yang kuat. Perih, tapi dia tidak terlalu mempedulikannya. "Apa salahku?" tanya Emily lirih. Sarah menggeleng lemah. Jawaban yang dia berikan pasti tidak akan memuaskan Emily. Dia sendiri tidak tahu alasan sebenarnya Mr. Lawrence memutus kontrak Emily dengan agensi ini. "Aku tidak tahu." Sarah mengangkat bahunya, lalu menatap ke luar ruangan melalui dinding kaca transparan yang berhadapan dengan deretan meja para staf. "Mr. Lawrence enggan bercerita padahal aku sudah mendesaknya." Emily beranjak dari kursi, berada di sini membuat dia merasa sangat pengap. Dia ingin segera pergi dari sini. Tapi sebelum meninggalkan ruangan itu, dia menatap Sarah dan berbicara dengan suara lantang. "Aku akan bertemu dengan Mr. Lawrence sendiri. Jangan harap aku menyerah begitu saja!" Sarah hanya diam. Dia memperhatikan Emily yang be
Sementara itu, di tempat lain tidak jauh dari kediaman Dante. Luca Massimo tengah menikmati minumannya di sebuah bar kumuh di sudut kota London. Raut wajahnya terlihat suram dan kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Selama tiga puluh tahun hidupnya dia menyimpan dendam yang tidak kunjung terbalaskan. Sebagai cucu tidak sah dan tidak diakui dari salah satu mafia kaya raya di Italia, membuat hidupnya berantakan tanpa menentu arah tujuannya. Sejak usia empat tahun, ibunya telah mengabaikan keberadaannya, dan meninggalkannya di panti asuhan tanpa pernah mengunjungi dirinya walau hanya sekali. Dia pun baru mengetahui ibunya sudah meninggal saat usianya delapan belas tahun. Luca harus berjuang seorang diri setelah keluar dari tempat itu dengan mencoba berbagai jenis pekerjaan. Dalam hati dia bertekad untuk menemukan keluarganya yang sesunggunya. “Ibumu mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh nenekmu,” ucap seorang pria tua yang tanpa sengaja Luca temui di bar dekat d
"Sial ...." Luca mengumpat kesal sambil menendang kerikil di depannya. Dia benar-benar merasa terhina akan perlakuan laki-laki tadi. Orang itu memperlakukannya seperti sampah tidak berarti. "Tunggu saja. Aku tidak akan menyerah begitu saja." Luca berteriak sambil mengepalkan tangannya ke arah laki-laki itu dengan sorot mata penuh kebencian. Luca berjalan menjauh dari rumah itu. Dia tidak mungkin kembali ke Florence hari ini juga. Lagi pula urusannya di sini belum selesai. Dia harus bertemu dengan Benigno Corradeo, kalau memang benar orang itu adalah kakeknya. Setelah memastikan bahwa mereka memang memiliki ikatan darah, dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Mungkin kehidupannya akan berubah. Luca bisa menikmati kekayaan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan ada kemungkinan lain yang tengah menunggunya di sini. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali sekarang. Urusanku belum selesai," ucap Luca pada pemilik biro wisata. "Kau tidak boleh melakukannya. Ada banya turis yang