Share

Varises.

Siang itu menjadi siang yang tidak biasa bagi Andina. Menjadi siang yang tak terlupakan saat Daniel menolongnya dari ocehan panjang supervisor yang bernama Putu Wijaya Kusuma. Orang asli Bali yang terkenal dengan panggilan Bli Wijaya. Dedengkot yang di takuti semua karyawannya ataupun orang yang mengenalnya. Tak heran, meskipun Bli Wijaya terlihat berwibawa, ampun-ampunan untuk melunakkan hatinya jika sudah marah.

Andina berhutang budi padanya. Paling tidak ia tidak perlu repot-repot mencari pekerjaan baru dan bersaing dengan para pencari kerja lainnya. Terlebih di Bali, rekrutmen pegawai baru sangat ketat, apalagi bisa bekerja di restoran hotel berbintang harus melewati seleksi ketat. Mati-matian Andina berlatih bahasa Inggris. Usahanya tak mau ia kubur sia-sia hanya karena rasa kantuk yang membebaninya.

Malam ini Andina mendapat shift malam, yang berarti ia bekerja dari jam sembilan malam sampai jam enam pagi.

Dirinya sudah standby, menunggu tamu yang ingin memesan menu makanan atau minuman. Bila tengah malam restoran tidak hanya menyajikan makanan ringan atau camilan sehat tapi juga menyediakan minuman beralkohol.

Dua hari berturut-turut, Andina kerap melihat wajah menawan itu terlihat murung. Bukankah hal aneh jika di telisik lebih jauh, seorang laki-laki mapan, tampan, atletis dan memiliki tunangan seorang model papan atas Indonesia menyendiri dan melamun.

Seperti warga negara +62 saja yang memiliki banyak tanggungan hidup. Daniel, si konglomerat justru terlihat seperti membawa beban hidup yang ia tanggung sendiri, dan tak mau ia bagi-bagi.

Namun lagi-lagi, Andina mendapati Daniel duduk sendiri di kursi yang terletak di ujung ruangan di area free smoking.

Andina memiliki tebakan tentang apa yang sedang Daniel alami. Ia mendekati rekan kerjanya, meskipun tetap menjalankan formalitas dalam bekerja. Bercanda saat menjalani tugas malam adalah hal menyenangkan sekaligus hiburan untuk mengusir rasa kantuk.

Andina bergumam, "Laki-laki menawan dan berusia matang hanya ada dua jenis. Sudah memiliki pasangan atau gay!"

Dean yang menjadi partner kerja Andina malam ini hanya mengangguk setuju.

"Untuk apa ke Bali jika tidak bersenang-senang. Rasanya percuma, galau di surganya dunia hiburan." Andina menunjukkan Daniel dengan dagunya.

"Tunangannya sibuk. Selama satu Minggu ini ada fashion show di pantai Kuta. Ada event yang menjadikannya brand ambassador untuk memperagakan busana pantai." ujar Dean, teman Andina yang berasal dari kota yang sama. Bedanya Dean memang memiliki saudara di Bali.

"Beginilah hidup. Orang kaya sejak lahir memang enak. Tidak harus bersusah-payah dulu untuk menikmati hidup. Beda dengan aku, giat bekerja tapi tetap tidak bergelimang harta." Andina tertawa terbahak-bahak, suaranya yang memecah suasana mengambil atensi Daniel untuk menoleh ke arah Andina. Dalam sekejap, Andina menunduk. Saat Daniel berjalan ke arahnya.

Andina menyumpahi dirinya sendiri selama beberapa detik di dalam hati sampai laki-laki itu tepat berada di depannya.

"Maaf, ada yang lucu?" tanya Daniel.

"Hah." Andina pura-pura linglung. Ia menoleh ke arah Dean untuk memastikan bahwa Daniel, laki-laki yang baru saja ia bicarakan berdiri di depannya.

"Saya tanya, ada yang lucu karena saya mendengar anda tadi tertawa dengan gembira."

Buru-buru Andina menggeleng, "Mohon maaf jika tawa saya mengganggu lamunan Bapak." Andina membungkukkan badannya sopan, menghormati Daniel sebagai atasan dari semua atasan di tempatnya bekerja.

Daniel mengernyit, "Saya tidak melamun. Saya hanya tidak memiliki teman bicara."

Lagi-lagi Andina hanya meresponnya dengan kalimat gamang. Ia gugup saat Daniel masih menatapnya lekat-lekat.

"Bapak mau makan malam? Atau camilan, atau minuman?" tanya Andina sembari mengambil buku daftar menu masakan.

Daniel tersenyum tipis, terbesit dalam benaknya untuk mencari hiburan di malam yang dingin ini. 

"Saya tidak mau apa-apa. Tapi..."

Andina mendongak, menatap wajah Daniel sejenak. Menerka-nerka keinginan tamu kehormatan di depannya. Bagi pelayan restoran, melayani pemilik dan tamu restoran adalah prioritas utama. Kecuali dengan pengunjung restoran yang kurang ajar.

"Tapi saya mau mendengar anda tertawa." lanjut daniel sepersekian detik kemudian.

"Serius?" komentar Andina.

Tegas Daniel mengangguk.

Dari sekian banyak penawaran yang pernah tamu-tamu restoran berikan, baru kali ini ada orang yang memintanya untuk tertawa di jam yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Bukankah Andina nanti terdengar seperti Kuntilanak yang nyasar ke restoran.

Andina tersenyum kaku, ia gugup mau melakukannya atau tidak. Terlebih Daniel masih menunggunya dengan santai.

"Maaf daftar tertawa tidak ada dalam menu restoran. Bapak bisa meminta yang lain? Saya bukan pelawak soalnya." ujar Andina, menarik salah satu kursi untuk Daniel duduki, "Silahkan duduk, Pak. Nanti kakinya bisa varises jika berdiri terlalu lama."

"Apa kaki anda juga varises karena pekerjaan yang mengharuskan anda berdiri dengan durasi yang cukup lama?" tanya Daniel. Matanya menatap kaki Andina yang berkulit kuning langsat. Apalagi seragam kerja yang di gunakan Andina adalah rok span di atas lutut dengan belahan di bagian depan.

Andina salah tingkah, ia ingin menutupi kakinya. Tapi di dekatnya hanya ada taplak meja, tidak mungkin Andina menarik taplak mejanya untuk menutupi bagian itu. Bisa-bisa ia kena surat peringatan untuk kedua kalinya dari Bli Wijaya.

"Ayo, tunggu apalagi. Saya mau mendengar anda tertawa."

"Siapa yang sinting sebenarnya? Aku yang kurang duit, atau dia yang kebanyakan duit." batin Andina. 

Andina menoleh ke arah Dean. Melambai sekilas. Dean tersenyum kikuk, lalu menggeleng cepat. Kebetulan sekali ada tamu restoran yang baru saja datang.

Dean menghela nafas lega, "...untung saja."

Rahang Andina bergerak-gerak, baru kali ini ia merasakan jika tertawa adalah hal yang sulit sekali ia lakukan.

Daniel mengetuk-ngetuk meja, menunggu Andina tertawa.

"Ada permintaan lain selain saya harus tertawa? Saya rasa tertawa jam segini adalah perbuatan yang nista." ujar Andina, kepalanya menunduk. Takut-takut bos besar di depannya malah semakin sinting memintanya untuk melakukan hal yang lebih konyol dari sebuah tawa tanpa guyonan, rasanya pasti garing.

"Jadi anda menawarkan permintaan lain? Padahal saya hanya meminta anda tertawa. Itu hal yang mudah." kata Daniel, enteng.

"Mudah kalau ada yang lucu, kalau enggak. Aku seperti orang gila. Tertawa sendiri di malam hari." Andina berdehem, menelan gerutunya. Semakin ia mengelak, semakin ia tak bisa menjauh dari orang sinting di depannya.

Satu persatu Andina mengeluarkan ocehannya. Entah Daniel terhibur atau tidak, Andina sudah berusaha sebisanya. Toh dia bukan oelawak, dia hanya pegawai restoran yang ketiban sial. 

Daniel bertepuk tangan, "Saya terhibur. Saya meminta lagi."

Andina menghirup udara dengan susah payah. Rasanya oksigen menghilang dari sekitarnya. Andina sesak nafas.

"Maaf, Pak. Tapi saya ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan." Andina berkelit. 

"Kalau begitu, saya akan menyewa anda besok."

"Apa!"

Happy reading 😂💚

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Siti Julian
wkwkwk yg sinting yg kelebihn duit apa yg kurang duit ...
goodnovel comment avatar
Rangga Dewi
awalnya nyewa lama" jadi cinta
goodnovel comment avatar
Cut Nyak Dien
cuma andina yg mikir kalau daniel itu sinting
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status