Share

BAB 3 : API KEHIDUPAN PHOENIX

"Kita bertemu lagi Ezio alias Agra Diaz. Kau telah memenuhi syarat pertama untuk mendapatkan bimbinganku. Syarat itu adalah tekad." Bayangan Phoenix itu mengeluarkan suara. 

"Aku sudah melewati banyak hal dalam hidup. Tapi semua keanehan ini adalah hal baru bagiku"

"Kau bisa bertanya padaku, beberapa hal akan kujawab"

Ezio melihat seluruh badannya, lalu menunjukkan kedua belah tangannya yang menyala, terbakar api. 

"Kenapa aku ada di tubuh anak ini, api apa yang sebenarnya muncul dari tanganku?"

"Karena itu adalah takdirmu, menggantikan anak ini yang kenyataannya sudah meninggal, karena koma yang begitu lama. Sedangkan yang menyebabkan tanganmu terbakar adalah api kehidupan Phoenix. Karunia yang juga memberikanmu kehidupan kedua"

"Mengapa ini diberikan untukku?"

Phoenix menjelaskan bahwa Ezio yang pada kehidupan sebelumnya dikenal sebagai Agra Diaz merupakan sosok yang banyak memberikan kehidupan. Sehingga dirinya menjadi orang yang terpilih untuk menjalani kesempatan kedua. 

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa api itu berasal dari kekuatan spiritual dan bisa berevolusi menjadi beberapa tingkatan. Dari api merah, jingga, kuning, biru dan putih. Semakin tinggi tingkat apinya maka kekuatannya akan semakin kuat. 

Menurut Phoenix evolusi api akan terjadi melalui pengalaman dan pemahaman serta latihan yang berkelanjutan pada kekuatan spiritualnya. 

"TIDAK MUNGKIN! aku sudah menjalani hidup sekali dan beragam upaya kulakukan agar dapat kekuatan spiritual. Tapi, semuanya tidak menghasilkan apa-apa," teriak Ezio dengan keras. 

"Tidak ada yang tidak mungkin. Kau sudah mendapatkan anugerah dari api Phoenix. Selain itu, ini bukan tubuh aslimu. Percayalah, kau akan memiliki kekuatan itu"

Hatinya kemudian berkecamuk dengan beragam perasaan, karena mendengar bahwa dia akan bisa memiliki kekuatan spiritual. 

Pada kehidupan sebelumnya, ia ditakdirkan tidak memiliki kekuatan itu. Segala pencapaiannya dilalui dengan jalan penuh dengan hinaan, keringat, serta air mata. 

Pada akhirnya dia berhasil membuktikan pada orang-orang yang merendahkannya, bahwa dirinya bisa mencapai puncak tanpa kekuatan spiritual. 

Tapi, jauh di lubuk hatinya yang terdalam dia tetap berkeinginan memiliki kekuatan spiritual. Dia bermimpi, seandainya dirinya memiliki hal tersebut, mungkin pencapaiannya akan jauh lebih besar. 

"Lalu apa yang harus kulakukan selanjutnya !?"

ucap Ezio dengan bersemangat, begitu mengetahui bahwa pada kehidupan ini dia bakal memiliki kekuatan yang baru. 

"Kau harus menguatkan wadahmu, sebelum bisa diisi dengan energi spiritual"

"Bagaimana cara untuk menguatkan wadah itu?"

Ezio sudah siap dengan apapun yang bakal ia hadapi. Dendam pada kaisar membuatnya yakin menempuh jalan sulit, bahkan yang paling terjal sekalipun. 

"Pertama, kau harus belajar melakukan visualisasi. Berkonsentrasi membayangkan energi spiritual dari alam semesta masuk ke dalam tubuhmu."

Mendengar hal itu, takut diganggu oleh orang lain, anak itu berjalan menjauh dari rumah. Menuju ke arah semak belukar, yang agak terlindung dari pandangan. Kemudian, Ezio duduk bersila, mencoba melakukan visualisasi seperti yang diarahkan oleh Phoenix. 

Berjam-jam dirinya berada dalam posisi seperti itu, tapi tidak membuahkan hasil apapun. Dia tidak bisa fokus, karena tangannya terasa perih dan terbakar. Akibat kulitnya yang mengelupas, efek dari latihan sebelumnya. 

Sedangkan Phoenix sudah sejak awal pergi menghilang. Makhluk itu lenyap masuk ke dalam tubuh Ezio yang sedang mencoba melakukan visualisasi. 

                                  ......

Hari menjelang gelap, Ezio yang sudah penat berada dalam posisi bersila, kemudian berdiri. 

Dengan langkah kaki yang berat dia memutuskan untuk kembali ke rumah. Bagian yang terlihat mengelupas karena terbakar, di tutupi dengan sarung tangan. Alasannya karena takut membuat kedua orang tuanya khawatir. 

Ezio masuk ke rumah dengan perlahan dan agak sedikit membungkuk, agar kepala tidak tersangkut langit-langit rumahnya. Berjalan menuju ke tempat tidur berbentuk seperti ranjang, terbuat dari kapuk dilapisi kain yang warnanya sudah berubah karena dimakan waktu. 

Efek kelelahan yang amat sangat, Ezio yang berbadan kurus itu melompat ke ranjang. Hal ini menyebabkan dinding bambu bergetar dan rumahnya agak sedikit berguncang. 

Dengan posisi menghadap ke arah dinding, ia tertidur dengan pulas. Orang tuanya mencoba berkali-kali membangunkan, tapi ia tetap tidak bangun hingga pagi hari. 

                                  ......

Rasa gatal pada hidung akibat helai jerami yang jatuh dari atap membangunkannya. Perih di tangannya tidak kunjung reda, malah terasa lebih sakit dibandingkan kemarin. 

Begitu ia beranjak dari tempat tidur, ditemukannya bahwa ayah dan ibu sudah pergi bekerja, meninggalkannya sendiri di rumah. 

Mereka bekerja di sebuah kebun apel. Kebun itu berada di hamparan lahan yang luasnya berhektar-hektar. Milik seorang saudagar kaya penguasa daerah setempat. 

Upah yang tidak seberapa dengan waktu kerja seharian, tetap harus dijalani demi menghidupi keluarganya. Selain keluarga osborn, hampir seluruh keluarga yang berada di wilayah itu menggantungkan kehidupannya pada kebun apel tersebut. 

Pagi itu, begitu selesai makan Ezio memutuskan untuk berjalan-jalan melihat sekitar, dia masih belum begitu mengenal wilayah itu. Dalam kehidupan sebelumnya, begitu kerajaan itu ditaklukkan, ia langsung pergi dari sana untuk melanjutkan peperangan dengan Kerajaan lainnya. Sehingga tidak sempat melihat daerah itu secara keseluruhan. 

Rata-rata rumah penduduk yang ada di desa Ezio tinggal, masuk kategori sangat miskin. Mereka hidup dengan kesusahan. Banyak bayi yang meninggal karena terserang penyakit akibat kelaparan. 

"Tempat ini benar-benar miskin," pikir Arthur. 

Dalam perjalanan ia bertemu sekelompok anak-anak seusianya sedang berjalan. Anak tersebut terlihat memandang Ezio dengan kaget. 

"Eziooo, kau masih hidup ternyata!" si anak berteriak dari jauh. Kemudian pada akhirnya Ezio tahu bahwa dia adalah anak dari pemilik kebun apel. 

Tuan Jerome Gordon adalah nama dari pemilik kebun apel yang sangat luas itu. Dia merupakan seorang penguasa di daerah itu. Dirinya terkenal kejam dengan anak buah yang jumlahnya sangat banyak. Seluruh warga di sana tidak ada yang berani dengannya. 

Tuan Jerome memiliki empat orang anak, tiga diantaranya sudah menikah dan memiliki usaha sendiri. Yang tersisa di rumah hanya Heaton Gordon anak bungsunya, berusia 14 tahun. 

Meski angkuh dan suka menyombongkan kekayaannya, anak itu memiliki banyak teman. Meski sebenarnya mereka mau menemani Heaton karena suka mendapat traktiran dan dijanjikan gaji yang lebih besar untuk para orang tuanya. 

Heaton serta teman-teman suka membully Ezio, karena dia anak yang pendiam dan tidak berani melawan. Ternyata inilah yang menyebabkan ia jarang keluar rumah.

Begitu melihat Heaton, entah mengapa badannya terus bergetar dan instingnya tiba-tiba ingin membunuh mereka. 

"Tiga tahun aku tidak melihatmu setelah kejadian itu. Kau nampak sehat sekali."

heaton meraba-raba badannya, seolah sedang memeriksa kesehatannya. Ezio mundur, untuk menjauhi Heaton. 

"Kejadian apa?" Ezio bertanya pelan pada Heaton. 

"Rupanya kepalamu sudah sakit, sampai lupa dengan hal itu hahaha," Anak itu dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. 

"Sekali lagi aku tanya, kejadian apa?!" Ezio bertanya dengan sedikit keras. 

"Wah sudah berani membentak. Rupanya setelah jatuh karena didorong, otakmu sedikit bergeser." Kelompok anak-anak itu berjalan maju ke arahnya. 

Akhirnya Ezio paham, ternyata kecelakaan yang terjadi padanya bukan hal yang biasa. Mereka adalah pelaku yang mendorongnya ke sumur tua. 

Dalam kehidupan sebelumnya dia memang sering diremehkan karena tidak memiliki kekuatan spiritual, tapi tetap tidak pernah mengalami hal yang seperti ini. 

Di masa lalu, tidak ada anak seusianya yang berani dengannya. Badan Agra yang besar dan tinggi, menyebabkan anak-anak akan lari ketika melihatnya marah. 

"Plakk"

Tiba-tiba satu anak menamparnya. Raut wajah Ezio berubah, tapi ia tetap diam tak bergerak. 

"Bukkk"

Satu lagi anak menendangnya. Itu menyebabkan badannya yang kurus terlempar. Tapi ia tetap berdiri, kali ini rasa jengkel karena dipukul mulai memuncak. 

"Kalian bocah-bocah sialan, bersiaplah akan kemarahanku," Ezio menyeringai sambil mengucapkan kata-kata itu. 

Kawanlama

Terima kasih sudah membaca novel ini. Mohon dukungannya agar Ezio masih tetap bisa berjuang.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status