Share

Bab 2

Mana mungkin karma secepat itu? Hanya hitungan bulan Kak Murni mengalami goncangan keuangan. Rasanya mustahil sekali karena tidak pernah terlihat susah hidupnya.

"Kak Murni minjam uang padaku? Ini aku nggak salah dengar, kan?" Aku bertanya balik kepadanya karena bukankah ia banyak uang? Aku rasa telingaku salah dengar. 

"Raya, Kakak serius. Kakak butuh uang besok juga jam 10 pagi harus ada 2 juta." Kak Murni menegaskan sekali lagi jumlah uang yang ia butuhkan. Aku tidak berani bertanya kenapa bisa berhubungan dengan rentenir. 

"Aku nggak ada uang segitu banyak, Kak." Aku berkata benar, memang saat ini aku tidak memiliki uang simpanan sebanyak itu. Uang yang kupegang hanya untuk belanja sehari-hari. Kebutuhan lainnya, diurus oleh suamiku.

"Adanya berapa, Ray? Kakak butuh banget," ucapnya melas. Aku jadi tidak tega mendengarnya.

"Dua juta ada Kak, namun untuk aku masak nanti bagaimana? Kakak sudah pinjam dengan Mama?" tanyaku.

"Kakak nggak berani, khawatir Mama mikirin Kakak," ucapnya.

Kalau aku berikan uang belanjaku 2 juta, nanti Mas Fariz menanyakan uangnya dikemanakan. Lalu aku harus jawab apa nantinya?

"Kak, aku pinjemin sejuta aja ya, Kak. Bagaimana?" tanyaku. 

"Kamu dulu kalau susah Kakak bantu, Ray. Kenapa sekarang giliran Kakak susah nggak dibantu? Itukan ada uangnya, urusan makan mah ada rezeki lagi nanti." Kak Mur memaksa untuk menggunakan semua uang belanja yang aku pegang. Namun, aku masih berpikir panjang ke depannya. Kata-kata Kak Murni selalu menyayat hati. Ia ungkit semua kebaikan yang ia berikan. Jadi teringat masa-masa itu, tiap kali pinjam uang padanya harus ada caci maki terlebih dahulu, setelah ia puas memaki barulah memberikan pinjamannya.

"Kak, kalau aku kasih Kakak semua, nanti bagaimana dengan perutku?" tanyaku lagi.

Kak Murni mencari pinjaman untuk bayar rentenir, lalu dia makan sehari-hari bagaimana? Kenapa ia tidak mikir ke sana?

"Tolonglah, Ray. Aku akan kembalikan nanti. Seminggu kemudian, kalau sudah balikin ke rentenir, aku bisa pinjam kembali lebih dari itu." Sepertinya ia memang sedang terlilit hutang dengan rentenir. 

"Astaga, Kakak. Lalu Kak Murni makan bagaimana?" tanyaku lagi. 

"Kamu tuh sebenernya mau minjemin nggak sih? Buang-buang waktu Kakak tahu nggak!" Kak Murni terdengar kesal di telepon. Padahal ini sudah malam, namun ia masih saja bicara keras. Sepertinya tidak ada pilihan lain, aku akan pinjamkan padanya semua jatah masak yang Mas Fariz berikan. Aku tidak mau saudara kandungku tertimpa masalah besar dengan rentenir.

"Iya, besok aku pinjemin. Aku setor tunai dulu uangnya," sahutku agar cepat ia tutup teleponnya.

"Nah gitu kek dari tadi, kudu dimarahin dulu baru dikasih." Astaga ini kakak emang bikin darahku bergemuruh terus, jika bicara tak pernah disaring ucapannya.

"Ya sudah, ini sudah malam. Sebentar lagi Mas Fariz pulang, aku nggak mau Mas Fariz tahu. Kalau tahu juga nggak akan dikasih," ucapku padanya. Namun sambungan teleponnya sudah ia matikan. Aku menghela napas dalam-dalam, punya kakak kok langka begini sifat dan tingkahnya!

Tidak lama kemudian, aku lihat isi story W******p atas kontak Kak Murni.

[Semoga dimudahkan segala urusanku ya Allah.]

[Coba ah ... Dulu dia suka ngerepotin gue ... Sekarang pengen tahu bisa diajak gantian nggak!] Astaga, nggak mulutnya nggak jarinya selalu saja nyakitin hati.

[Untung dikasih, kalau nggak, liat aja nanti kalau dia susah. Gue bakal balas ....]

Aku mendesah kesal melihat story W******p Kak Murni, seharusnya tak usahlah buat story seperti itu. Aku juga paham karena dulu sering berada di posisi sulit.

Sebaiknya aku curhat sama mama saja. Biasanya mama satu-satunya orang yang bisa menenangkan kami berdua saat bertengkar dan salah paham.

"Hallo, Mah. Udah tidur, ya?" tanyaku melalui telepon.

"Baru mau tidur. Kenapa, Ray?" tanya mama.

"Status WhatsAppnya Kak Murni, Mama baca nggak?" tanyaku. 

"Iya, memang kenapa Murni? Dia nggak cerita ke Mama."

"Minjem uang ke Raya," sahutku. Namun aku tidak cerita untuk apa Kak Murni minjam uang padaku.

"Kalau kamu ada uang, kasih saja ya, Nak. Jangan ribut hanya gara-gara uang." Mama betul, mungkin saat ini aku sedang ada uang, dan ujian untukku adalah melalui Kak Murni. Ia tiba-tiba membutuhkan uang. Sepertinya ini memang rezekinya Kak Murni. Aku tidak boleh egois dan ungkit-ungkit ucapannya segala.

"Ada, Mah. Namun belum ngomong dengan Mas Fariz. Kira-kira aku ceritakan nggak, Mah?" tanyaku meminta pendapat mama.

"Cerita, Fariz yang cari uang harus tahu masalah utang." Mama memberikan saran padaku.

"Ya sudah, kalau gitu, Raya tutup teleponnya, Mah. Mama jangan banyak pikiran, ya!" pesanku saat ingin menutup telepon.

"Iya, kamu jangan ikut-ikutan nulis status, ya!" pesan mama juga. Akhirnya telepon pun terputus. 

Lega rasanya sudah cerita pada mama. Setelah ini, aku akan ceritakan pada Mas Fariz. Semoga ia mengizinkan aku meminjamkannya. Sebab kalau tidak, sudah terlanjur mengiyakan nanti Kak Murni bisa marah padaku. 

Kemudian orang yang aku tunggu sedari tadi datang. Mas Fariz baru pulang kerja. Ia sekarang jadi kaki tangan bos, jadi pulangnya agak malam. Biasanya jika pulang jam segini ia selalu berpesan padaku untuk tidak menyisakan lauk karena justru ia pulang kerja yang membawa lauk untukku.

Tak lupa aku siapkan baju ganti agar ia langsung mengenakan pakaian ganti untuk tidur.

"Kamu belum tidur?" tanya Mas Fariz.

"Belum, Mas. Kamu capek nggak? Aku mau bicarakan sesuatu," ucapku agak ragu. Khawatir Mas Fariz lelah dan jadi emosional jika mendengar ceritaku.

"Cerita saja, aku siap mendengarkannya," ucap Mas Fariz.

"Mas, Kak Murni mau minjam uang 2 juta." Mas Fariz menoleh ke arahku. Kemudian menghela napas panjang.

"Terus kamu kasih?" tanya Mas Fariz.

"Aku sudah bilang iya, namun uangnya belum aku setorkan," ucapku sambil menatapnya.

"Bilang saja mau dipakai olehku," ucapnya menyarankan untuk tidak memberikan pinjamannya. Otakku kini berputar keras, ternyata suamiku tak mengizinkan memberikan pinjaman ini pada Kak Murni. 

"Mas, dulu aku sering ditolong oleh Kak Murni," ucapku padanya.

"Iya, tapi nolongnya menghina dulu." Mas Fariz kesal mengingat masa-masa itu. Memang tidak sekali saja Kak Murni berkata kasar saat kami hendak meminjam uang. Tiga bulan lalu terakhir kalinya. Sebelum itu, sering melontarkan kata-kata kasar pada kami. Hingga kami sempat berpikir bahwa kami memang orang hina, hina sekali di mata orang yang banyak uang. Namun, kini roda itu sedang berputar dan posisi itu sedang berbalik 180°. 

Aku berpikir ulang, apakah harus mengikuti jejak Kak Murni saat berada di atas? Aku tidak ingin juga merasakan berada di posisi Kak Murni saat seperti ini. Apakah Sebaiknya aku bicarakan lagi dengan Mas Fariz pelan-pelan?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status