Aku dan Mas Fariz terkejut, mata kami saling bertatapan. Ada rasa takut dan cemas di dalam hatiku.Kemudian kami beranjak dari tempat tidur. Melihat ke arah sumber suara tersebut. Aku berada di belakang Mas Fariz yang mengendap-endap. Begitu terkejutnya kami, saat melihat ada tiga orang anak muda sedang menyongkel pintu tetangga.Tanpa berpikir panjang, kami berdua berteriak sekeras-kerasnya. Agar warga sekitar bangun dari tidur lelapnya."Maling ... maling ...." Ketiga orang tersebut terperanjat saat mendengar teriakkan kami berdua. Kemudian kami ke luar. Namun, belum sempat warga mengeroyok, mereka kabur mengendarai motor yang mereka bawa. Satu motor tiga orang, itu artinya belum ada yang kebobolan saat itu."Pak Fariz, terima kasih banyak," ucap tetangga yang hampir kebobolan. Mereka terbangun karena mendengar teriakkan kami berdua dan suara motor yang tiba-tiba ngebut."Sama-sama, Pak." Mas Fariz pun menjadi saksi untuk melaporkan ke RT setempat."Ada apa, Pak? Bagaimana kejadian
"Mah, kok malah diam. Jawab dong!" tanyaku memaksanya untuk menjawab.Kemudian Tante Lira menghampiriku. Ia mengajakku untuk bicara. Kenapa tiba-tiba tubuhku jadi bergetar seperti ini. Ada apa dengan mereka? Rahasia apa yang tidak aku ketahui?"Raya, memang kamu belum tahu?" tanya Tante Lira membuatku semakin bingung. Ini ada apa sih? Kenapa mereka aneh begini. Perasaan kemarin masih lihat status di Facebook Kak Murni normal-normal saja."Ada apa, Tante? Jangan bertele-tele deh!" ucapku dengan nada menekan. Rasanya sudah dongkol sekali, sedari tadi belum diberitahu kenapa Kak Murni tidak ada di rumah."Murni sudah dijemput oleh mertuanya, ia sekarang tinggal bersama mertua di rumahnya." Ucapan Tante Lira membuatku terkejut. Astaga, ini akan menjadi tekanan untuk Kak Murni, jika mertuanya membandingkan ia dengan adik iparnya bagaimana? Bukankah mereka selalu saja bersaing."Kenapa dikasih, Tante? Aku nggak rela jika Kak Murni kenapa-kenapa lagi," ujarku kesal."Mertuanya sudah melunasi
"Mah, Kak Murni sombong banget, aku hubungi dia malah matikan telepon!" ucapku kesal. Kemudian mama dan Tante Lira berusaha menenangkan aku.Aku terus mengelus dada, agar tidak timbul rasa kesal pada Kak Murni. Ia sudah lama berubah. Masa iya kembali ke sifatnya yang dulu lagi?"Jangan buruk sangka dulu, nanti kita ke rumahnya, bagaimana?" tanya mama menawarkan berkunjung ke rumah Kak Murni. Aku yakin sebenarnya Mama pun khawatir, tapi ia berusaha menutupi itu.Ada baiknya juga, jangan-jangan Kak Murni tersiksa lagi hidupnya di sana. Ada mertua yang menggembleng kerjaan rumahnya. Astaga, kenapa aku jadi buruk sangka begini!"Aku izin Mas Fariz dulu, Mah. Jangan sampai Mas Fariz cemas dengan keadaanku.""Ya sudah kirim pesan pada Fariz dulu sana! Mama juga ingin melanjutkan masak dulu." Mama kembali ke dapur. Aku masih bersama dengan Tante Lira di sini.Tante Lira sudah dua bulan lebih tinggal bersama mama di sini. Sepertinya uangnya belum cukup untuk renovasi rumahnya yang dilahap si
Pikiranku tak karuan, apalagi dengan mama, ia tak henti-hentinya menangis sambil berdoa di dalam mobil. Tante Lira yang berada di samping mama hanya bisa menenangkan dengan caranya."Kak, jangan terlalu panik kenapa. Kan Kakak sendiri yang sering memberi nasihati untuk pasrah!" ujar Tante Lira, aku hanya berharap Kak Murni baik-baik saja. "Iya, gue udah mulai tenang. Sampai ke rumah sakit, berapa lama lagi, Bang?" tanya mama pada supir."Kita sudah di depan rumah sakit, Bu. Itu rumah sakitnya," ucap supir sambil melipir. Ia tak bisa masuk, karena ingin melanjutkan tarikan lagi.Kami memberikan ongkos pada supir, lalu turun dan beranjak ke UGD rumah sakit. Setelah sampai ke depan UGD, mertuanya sudah masuk menemani Kak Murni. Aku dan yang lainnya dicegah oleh petugas."Maaf, Bu. Mau bertemu dengan siapa?" tanya satpam di depan."Saya mau menemui pasien yang bernama Murni, barusan dibawa ke sini." "Maaf Bu, sudah ada dua orang di dalam, kalau bisa bergantian." Pak satpam menghalangi k
Ekstra PartPOV MurniSyukur alhamdulilah, Tuhan berikan nikmat padaku dengan bertemunya orang-orang baik. Padahal, bisa dibilang tingkah laku yang dulu aku lakukan itu sangatlah tidak terpuji. Sering merendahkan orang lain, bahkan adik kandung sendiri.Begitu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Terutama mengenai semua yang telah aku perbuat di masa lalu. Itu semua kembali menimpaku. Kala itu, aku tak pernah berpikir bahwa semua perbuatan tak mungkin jadi boomerang untuk diriku sendiri. Namun, hukum alam memang begitu adanya. Siapa yang menabur, maka bersiaplah untuk menuai.Hari ini, aku dilarikan ke rumah sakit. Ini semua terjadi karena kelelahan. Beberapa hari ke belakang, aku memang sering begadang untuk menyelesaikan tulisan.Mertuaku yang kepanikan melarikan ke rumah sakit. Akibatnya seluruh warga jadi heboh karena kecemasan mertuaku. Wajar saja, karena saat aku pingsan, Mas Aldi tidak berada di rumah.Mama dan Raya pun panik, begitu juga dengan Tante Lira yang ikut datang
[Kak Mur, aku pinjam uang 200 ribu untuk makan ada nggak?]Dengan tangan yang gemetar, aku kirimkan pesan pada kakakku. Murni Cahyani namanya, suaminya bekerja di perusahaan ternama. Hidupnya terbilang enak dan tercukupi. Tidak seperti aku yang masih kekurangan setiap kali tanggal sudah mengarah ke angka dua puluh.Tidak lama kemudian, ia membalas pesan yang telah aku kirimkan tadi.[Perasaan Lo nggak punya duit mulu, kerjaan Lo pinjem duit mulu. Enak banget Lo ngandelin gue banget untuk pinjam!]Astaga, sakit .... Aku selalu ganti uangnya setiap kali pinjam dengannya. Ia seorang kakak, apa salahnya membantu adiknya yang hidupnya masih jauh dari kata cukup.[Kalau nggak mau minjemin, nggak usah bicara begitu, Kak. Aku sakit hati bacanya. Semoga kakakku yang paling cantik sehat dan banyak uang terus.]Aku membalas pesannya sambil menghela napas panjang. Agar tak menjulur ke hati yang paling dalam rasa sakit hati ini. Agar ia tak mengalami hal yang sama sepertiku nantinya.Namaku Raya A
Mana mungkin karma secepat itu? Hanya hitungan bulan Kak Murni mengalami goncangan keuangan. Rasanya mustahil sekali karena tidak pernah terlihat susah hidupnya."Kak Murni minjam uang padaku? Ini aku nggak salah dengar, kan?" Aku bertanya balik kepadanya karena bukankah ia banyak uang? Aku rasa telingaku salah dengar. "Raya, Kakak serius. Kakak butuh uang besok juga jam 10 pagi harus ada 2 juta." Kak Murni menegaskan sekali lagi jumlah uang yang ia butuhkan. Aku tidak berani bertanya kenapa bisa berhubungan dengan rentenir. "Aku nggak ada uang segitu banyak, Kak." Aku berkata benar, memang saat ini aku tidak memiliki uang simpanan sebanyak itu. Uang yang kupegang hanya untuk belanja sehari-hari. Kebutuhan lainnya, diurus oleh suamiku."Adanya berapa, Ray? Kakak butuh banget," ucapnya melas. Aku jadi tidak tega mendengarnya."Dua juta ada Kak, namun untuk aku masak nanti bagaimana? Kakak sudah pinjam dengan Mama?" tanyaku."Kakak nggak berani, khawatir Mama mikirin Kakak," ucapnya.
Flashback setahun lalu.Saat itu aku nggak tahu bahwa sebenarnya aku ini sedang hamil. Namun, saat pendarahan hebat, aku dan Mas Fariz tidak memiliki uang sama sekali.Kebetulan Kak Murni sedang bermalam di rumah mama. Aku menghubungi mama terlebih dahulu untuk mencari pinjaman uang. Memang aku tak pernah punya simpanan uang, jadi saat-saat urgent seperti ini membuat repot semua orang."Mas, ini kok aku keluar darah banyak? Mulesnya juga nggak tahan sakitnya." "Gimana, ya Dek. Mas juga nggak ada uang untuk bawa ke rumah sakit," ucapnya."Kalau pinjam Bos dulu gimana, Mas?" tanyaku."Bos kan orang lain, Dek. Apa tak sebaiknya pinjam saudara dulu?" "Ya sudah aku hubungi Mama," ucapku."Hallo, Mah. Mah perutku sakit terus keluar darah, aku takut sekali. Mau ke rumah sakit tapi nggak ada uang." Mama menyimak ucapanku melalui sambungan telepon."Ya Allah, bawa ke rumah sakit sekarang, nanti Mama suruh Murni transfer. Yang penting kamu selamat dulu," ucapnya menenangkan. Akhirnya aku berg