Share

Bab 3

Flashback setahun lalu.

Saat itu aku nggak tahu bahwa sebenarnya aku ini sedang hamil. Namun, saat pendarahan hebat, aku dan Mas Fariz tidak memiliki uang sama sekali.

Kebetulan Kak Murni sedang bermalam di rumah mama. Aku menghubungi mama terlebih dahulu untuk mencari pinjaman uang. Memang aku tak pernah punya simpanan uang, jadi saat-saat urgent seperti ini membuat repot semua orang.

"Mas, ini kok aku keluar darah banyak? Mulesnya juga nggak tahan sakitnya." 

"Gimana, ya Dek. Mas juga nggak ada uang untuk bawa ke rumah sakit," ucapnya.

"Kalau pinjam Bos dulu gimana, Mas?" tanyaku.

"Bos kan orang lain, Dek. Apa tak sebaiknya pinjam saudara dulu?" 

"Ya sudah aku hubungi Mama," ucapku.

"Hallo, Mah. Mah perutku sakit terus keluar darah, aku takut sekali. Mau ke rumah sakit tapi nggak ada uang." Mama menyimak ucapanku melalui sambungan telepon.

"Ya Allah, bawa ke rumah sakit sekarang, nanti Mama suruh Murni transfer. Yang penting kamu selamat dulu," ucapnya menenangkan. Akhirnya aku bergegas ke rumah sakit. 

Setelah sampai di rumah sakit, dokter pun menyarankan untuk kuret. Memang aku sedang hamil dan ternyata sudah mati janinnya. Ini harus dilakukan pembersihan janin. 

Ucapan dokter membuatku bingung, pinjam ke siapa lagi? Tadi pinjam dengan Kak Murni sudah di transfer 1 juta untuk periksa ke rumah sakit. Kalau aku harus kuret itu artinya keluar uang banyak. Uang satu juta pasti kurang.

"Mas, kita nggak mungkin pinjam lagi."

"Iya, Mas coba hubungi atasan, Mas."

Namun, belum beranjak pergi, mama menghubungiku kembali. Pasti ia khawatir dengan keadaanku saat ini.

"Bagaimana, Raya? Kenapa kata Dokter?" tanya mama.

"Harus dikuret, Mah," jawabku lemas.

"Ya Allah, kamu pasti bingung kuret nggak ada uang ya?" tanya mama. Namun tidak lama kemudian Kak Murni mengambil teleponnya.

"Raya, kan Kakak berkali-kali bilang pada kamu, jangan ngandelin orang lain termasuk Kakak. Kamu itu harus bisa nabung, jangan sedikit-sedikit pinjam uang!" ketusnya dalam telepon. Rasa bingung campur sedih saat ini, saudara sendiri mencaci maki saat aku sedang terpuruk seperti ini.

"Iya, Kak. Gaji Mas Fariz hanya cukup untuk makan saat ini, itupun kadang kurang, sering pinjam ke Kakak. Bagaimana mau nabung, Kak?" tanyaku agar Kak Murni tak bicarakan tentang nabung lagi.

"Gaji segitu cukup sebenarnya, bisa untuk nabung. Hanya saja kamu boros kalau ada duit, foya-foya terus kerjaannya." Astaga, Kak Murni sedang hilang ingatan atau apa? Aku lagi mendapatkan musibah keguguran, namun ia malah menceramahiku seperti hari-hari biasanya.

"Sudahlah, jangan diteruskan," ucap Mas Fariz bisik-bisik di telingaku.

Aku matikan kembali teleponnya, agar rasa sakit hati ini tak berkepanjangan.

"Mas cari uang dulu, sambil tanda tangan untuk segera tindakan."

"Mas, hati-hati, ya. Maafkan kata-kata Kak Murni, Mas." Lalu Mas Fariz berpamitan dan mencari uang untuk biaya kuret.

Setelah beberapa lama kemudian, mama menghubungiku kembali. Aku tidak ingin mengangkat telepon. Namun mama terus menerus menghubungiku.

"Iya, Mah."

"Bagaimana, sudah dapat uang untuk kuret?" tanya mama.

"Mas Fariz sedang ke luar cari pinjaman."

"Ini mama minjem ke Murni 3 juta, suruh Fariz ke sini ambil, adanya cash."

Kalau Mas Fariz ambil ke sana, ketemu Kak Murni, pasti ia mendapat ocehan dulu.

"Nanti Kak Murni ngoceh dulu, Mah."

"Nggak apa-apa, kamu jangan mudah sakit hati, begitulah resiko nggak punya uang, dihina terus. Makanya, Mama ingin bilang sekalian dengan kamu, jangan menyerah untuk jadi orang sukses. Sekarang kamu sedang berada di bawah, kamu sabar saja. Suatu saat kamu akan petik kesabaran kamu," ucap mama menasehati. 

"Kenapa Mama nggak nasehatin Kak Murni untuk tidak berkata kasar padaku?"

"Susah, Raya. Mama sudah menasehatinya, namun ia merasa masih banyak uang jadi tak butuh nasehat. Nanti kalau ia sudah ngalamin kesulitan keuangan seperti kamu, barulah ia sadar bahwa ucapannya itu telah banyak menyakiti hati orang." Mama benar, memang watak Kak Murni keras kepala, sikap sombong masih ia pelihara.

"Ya sudah, Mah. Nanti Raya coba hubungi Mas Fariz untuk segera ambil uang ke sana.

"Ya sudah, kamu sehat-sehat, ya. Jangan pikirin ucapannya Murni. Dia memang begitu sifat dan wataknya, suatu saat akan berubah. Mama yakin itu," ucap mama mengakhiri pembicaraan, membuat hatiku merasa tidak lagi dendam terhadap kakakku.

Aku coba hubungi Mas Fariz untuk segera ke rumah mama, agar tenang jika sudah pegang uang di tangan. Jadi total hutang kami pada Kak Murni 4 juta rupiah. 

"Mas, tadi Mama telepon, ada uang Kak Murni 3 juta. Kamu ke rumah Mama, ya." 

"Ya sudah, aku tidak jadi ke tempat kerja, tapi nanti aku ganti setelah semuanya selesai. Tadi sudah hubungi Bos, dikasih pinjam 7 juta untuk biaya rumah sakit, gantinya potong gaji tiap gajian Sabtu 150 ribu sampai lunas." 

"Ya sudah, Mas. Pakai uang Kak Murni dulu. Namun kamu musti ingat jangan sakit hati ya jika dia ngoceh di sana. Toh nanti uangnya kamu ganti setelah masuk kerja."

Akhirnya saat itu kami pakai uang Kak Murni terlebih dahulu, karena minjam di perusahaan itu harus datang ke sana dan menandatangani surat perjanjian pinjam meminjam. Tambah lagi kantor tempat suami kerja lumayan jauh, jadi cari yang terdekat dulu.

Tiba-tiba chat datang dari Kak Murni. Seperti biasa, ia memberikan pinjaman. Namun diiringi perkataan kasar dulu.

[Ini kesekian kalinya gue bilangin, nabung ... Jangan sampai nggak nabung, kalau seperti ini repot, kan?]

[Kak, uangnya aku pinjam sehari ini aja, besok Mas Fariz ke tempat kerja dapet pinjaman dari Bosnya. Maaf ngerepotin, meskipun sehari.]

[Bukan gitu, kamu nggak kasihan dengan Mama? Tiap kali minjam uang, Mama yang kepikiran.]

Kak Murni menjadikan mama sebagai alasan. Padahal mama sendiri menyuruhku untuk sabar menghadapi Kak Murni. Aku tak membalas pesannya lagi.

***

Mas Fariz teringat kejadian-kejadian yang telah lalu. Makanya ia agak keberatan. Namun, aku harus berhasil merayunya. Aku juga tidak menginginkan berada di posisi Kak Murni.

"Mas, saat ini kita diberikan nikmat harta. Namun aku pernah dengar ceramah, bahwa harta itu sebenarnya ujian. Kita bisa melewati ujian ini atau tidak. Kalau kita berlaku sama seperti Kak Murni, suatu saat ketika kita berada di bawah lagi, tidak ada pula yang nolong kita. Ingat, Mas. Roda kehidupan akan berputar terus menerus. Semua tergantung kitanya. Lagi pula Kak Murni tiap kali kita pinjam dikasih, kok. Meskipun harus dengar ocehannya." Aku menasehatinya, agak takut sebenarnya. Namun ini harus aku lakukan agar ia tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Kak Murni.

Mas Fariz terdiam, masih memikirkan jawabannya, memberikan pinjaman kepada Kak Murni atau tidak. Apa ia akan melakukan hal yang sama, memaki-maki dulu baru memberikannya?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status