Telepon masuk kembali. Namun, itu dari Tante Lira. Sebenarnya sudah malas ngeladeninnya tapi kalau tidak aku angkat dia nanti chat panjang lebar."Hallo, Tante.""Hallo, Raya. Kamu di mana?""Di rumah, ada apa?""Ini loh, barusan Tante ada yang hubungi. Si Murni punya pinjaman online, teleponnya nggak aktif jadi nelepon ke Tante.""Jangan diladeni, kan dulu aku pernah kejebak pinjaman online. Meskipun nggak banyak, Tante juga kena telepon, kan?" Aku mencoba mengingat kenangan suram masa lalu."Loh Tante nelepon kamu untuk ingatkan waktu itu kamu kena begini Murni bicarakan kamu ke mana saja. Itu karma buat dia, Raya." Aku jadi makin malas bahas apapun pada Tante Lira. Semua ia bicarakan dengan orang lain. Malah disampaikan lagi padaku, bikin sakit hati saja.Daripada ia bicara panjang lebar dan aku jadi kesal, lebih baik aku sudahi saja pembicaraan ini."Tante, udahan dulu ya. Aku mau masak," ucapku pamit."Yah, ya sudah. Kamu jangan bilang tahu dari Tante ya!" pesannya. Selalu ia tek
[Kak, yang sabar, ya. Bagaimana kondisi Mas Aldi saat ini, Kak?]Aku kirimkan pesan singkat padanya. Pasti kakakku sedang bersedih dengan cobaan yang ia hadapi.[Sudah diisolasi di rumah sakit.] [Semoga cepat sembuh, ya, Kak.] [Aamiin, makasih.] Usai sudah kami berbalas pesan. Aku ingin menanyakan perihal pinjaman online sudah dibayarkan atau belum, aku jadi agak sungkan. Semoga sudah ia bayarkan dan tak ada beban lagi padanya.***Seminggu kemudian.Aku belum bisa menemui Kak Murni saat ini. Itu semua dikarenakan ia pun sedang menjalani isolasi mandiri di rumah. Kami hanya bisa berbalas pesan dan menghubungi melalui sambungan telepon. Namun, selama ini setiap kali ditanya ia selalu bilang baik-baik saja.Selama seminggu sejak Mas Aldi terpapar virus corona, Kak Murni selalu menulis status sedih. Namun kami tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tak pernah mengeluhkan apa pun saat dihubungi.Mama yang selalu berlaku adil pada anaknya, ia menghubungiku dan Kak Murni secara be
Aku teringat Mas Aldi. Setidaknya jika Kak Murni tak pernah akrab dengan tetangga. Ada Mas Aldi yang tahu dan kenal RT sana."Mas, kamu kirim kontak RT di sana, ya! Tadi Kak Murni terdengar seperti sakit.""Iya Raya, emang ada apa dengan Murni? Besok aku juga sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sedari tadi hubungi Murni nggak bisa-bisa.""Sudah, Mas. Buruan!" Aku mendesak Mas Aldi untuk cepat mengirimkan kontaknya.Tidak lama kemudian, ia mengirimkan kontak RT setempat. Kemudian aku berikan nomernya pada mama. Biar mama yang bicara pada RT nya. ***Setelah mama menghubungi RT, Kak Murni pastinya akan dibawa oleh ambulance. Untuk diberikan tindakan dan diperiksa terpapar covid atau tidak."Ayo, Raya! Kita ke rumah Murni, mama khawatir sekali.""Mah, bukankah Kak Murni sudah dibawa ambulance sana? Lalu kita bisa apa? Nunggu hasilnya dulu." Mama kembali duduk, ia cemas sekali pada anak pertamanya. Matanya mulai mengeluarkan air mata."Kita tunggu dulu, ya. Nanti juga akan segera dikaba
Kak Murni tiba-tiba sulit menggerakkan kakinya dan tangan. Semua persendian tiba-tiba terasa nyeri dan sakit. Ya Tuhan, aku tak sanggup melihat kakakku seperti ini."Kak, sekarang Kakak tidur dulu, besok pagi ditanya ke dokter tentang gejala yang Kakak alami." Mama bersedih, ia hanya bisa meneteskan air mata.Aku duduk dan menatap wajah Kak Murni. Menciumi telapak tangannya. Aku lihat Kak Murni menangis terisak-isak melihat kondisinya saat ini."Kakak nggak bisa tidur," ucapnya dengan isak-tangis. Entahlah, Kak Murni sedang menyesali takdir atau menangisi penyakitnya."Kamu sudah berapa lama tidak ibadah salat, Nak?" tanya mama. Kak Murni menggelengkan kepalanya."Aku ambilkan mukena, ya Kak. Masih ada waktu untuk salat isya." Aku mengambilkan mukena yang berada di laci pasien. Kak Murni masih sesegukan. Sebentar-sebentar ia mengelap air mata yang tumpah."Apakah sakit ini karena dosaku yang teramat banyak, Mah?" tanya Kak Murni dengan nada sesegukan."Tidak ada yang tahu dosa dan ama
POV MurniSetelah selesai bicara pada ibu di kampung, Mas Aldi menanyakan apakah aku masih ada simpanan uang. Boro-boro simpanan. Kemarin saat ia sedang isolasi mandiri saja aku dikirim kebutuhan pokok oleh mama dan Raya."Dek, punya uang simpanan, nggak?" tanyanya."Boro-boro, Mas. Aku nggak punya apa-apa sekarang. Perhiasan juga nggak ada," sahutku."Bapak dirawat juga, Dek. Pusing aku," keluhnya.Aku tersentak kaget, begitu berat beban ini. Ada saja masalah yang menimpa kami berdua. "Aku bingung juga, Mas. Nggak enak dengan Raya juga yang sudah banyak membantu.""Dulu dia juga minta bantuan kita, Dek." Aku terdiam."Kalau kata Mama, jika kita membantu orang lain dengan mengharapkan pamrih, itu tidak akan berkah dan timbulnya nggak ikhlas."Mas Aldi terdiam, aku tak ada niat menyakiti hatinya. Namun, aku tersadar bahwa sifatnya Mas Aldi yang suka ungkit-ungkit membuatku kebawa dengan sifatnya."Apa ini balasan untuk kita, ya, Dek? Sering ungkit-ungkit apa yang kita berikan bahkan h
"Tenang ya, Bu. Kami hanya ingin meminta kesaksian Pak Fariz. Maaf jika membuat Ibu panik." Hampir saja jantungku ini berhenti berdetak. Rasanya tak bisa aku bayangkan jika Mas Fariz terlibat dalam kasus apapun."Baik, Pak. Mari silahkan masuk!" seruku sambil membuka pintu lebar-lebar. Mungkin petugas mencari keberadaan mandornya melalui Mas Fariz karena ia sudah beberapa bulan ini menjadi orang kepercayaannya.Kemudian mereka bicara empat mata. Aku tidak ingin mengganggu mereka. Memang ia tidak dilibatkan hanya ditanyakan saja mengenai mandor yang membawa kabur uang anak buahnya.Setidaknya lega sekali rasanya hati ini. Meskipun Mas Fariz harus mencari kerja lagi. Kemudian setelah polisi itu sudah mendapatkan informasi dari Mas Fariz, mereka pergi meninggalkan rumahku. Ada perasaan takut di hati ini. Wajar, tetangga saja ikut panik dan sering menoleh ke arah sini."Mas, aku pikir kamu terlibat dalam kasus ini?" tanyaku."Nggak, Dek. Aku cuma ceritain bahwa memang sering memberikan b
"Iya, Tante. Ada Raya di sini. Nanti aku beri kabar pada Raya." Kak Murni dan Tante Lira bicara apa sih? Kenapa dadaku jadi bergetar? Aku menghela napas panjang agar hilang rasa cemas dalam diri ini.Setelah Kak Murni berbicara di telepon dengan Tante Lira. Aku menanyakan apa yang mereka bicarakan. "Kak, Tante Lira ngomong apa? Kenapa Kak Murni terkejut mendengar ucapan Tante Lira?" tanyaku menyelidik. Kak Murni meletakkan kembali ponselnya."Tante Lira, Ray. Rumahnya kebakaran. Tadi nangis-nangis bicara di telepon." Kak Murni menjelaskan padaku. Ternyata Tante Lira rumahnya kebakaran. "Aku kok tidak dikabari olehnya?" tanyaku agak sedikit bingung."Tadi Tante bilang sekalian bilang ke kamu saja." "Ya Allah, ada-ada saja. Saat kita seperti ini, Tante Lira juga terkena musibah," ucapku mengeluh.Kak Murni yang sudah mulai menerima kenyataan, ia tersenyum tipis padaku. Kemudian memberikanku nasihat."Ini semua sudah takdir, Raya. Tidak ada yang bisa menyalahkan takdir." Aku terdiam m
"Siapa, Mas?" tanyaku menyelidik."Nggak tahu, nggak ada namanya. Siapa ya, Dek?" tanya Mas Fariz dengan tangan gemetar."Nggak usah diangkat, Mas. Aku takut!" pesanku. Kemudian Mas Fariz tidak mengangkat teleponnya. Iya menuruti kemauanku.Kami melanjutkan perjalanan lagi, tapi nomer yang tadi berkirim pesan pada Mas Fariz. Aku intip dari layar depan, ternyata teman lama Mas Fariz yang tadi menghubungi.[Riz, tolong angkat, gue mau bicara penting! Tria Juna.]"Balas, nggak Dek?" tanya Mas Fariz. Aku mengingat kembali nama yang mengirimkan pesan pada Mas Fariz. Namun, sudah berulangkali mengingatnya tak jua muncul di ingatanku."Siapa, sih? Tria Juna, kok aku lupa!" ucapku mengerenyitkan dahi. Tak kunjung ingat juga hingga langkah kaki sudah tiba di parkiran."Itu loh, Dek. Teman kerja dulu waktu sebelum ketemu kamu, yang Mas ceritain pernah ngekost bareng." Aku baru ingat setelah Mas Fariz menjelaskan siapa lelaki itu. "Balas saja, telepon setelah sampai ke rumah, kita ke rumah Mama