Share

Bab 5

Tante Lira belum juga menjawab pertanyaan ada apa ke rumah Kak Murni. Ia dan Om Dio masih belum membuka rahasia yang mereka sembunyikan. Namun, mama terus memaksa adiknya.

Mungkin karena penasaran, awalnya juga tadi Mama tidak ingin mencari tahu apa yang mereka rahasiakan. Namun, gelagatnya Tante Lira membuat kami jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

"Kalau elu nggak mau cerita, gue telepon Murni sekarang." Mama mengancamnya. Sehingga membuat Tante Lira menyergap ponsel yang mama pegang.

"Iya Kak. Lira cerita," sahutnya. Bahasa mama ke Tante memang memakai bahasa teman. Namun Tante Lira tetap menghargai seorang kakak ia tidak berani bicara seperti teman.

"Bukan apa-apa, Lira. Gue takut anak pada kelilit utang, kasihan nantinya kalau nggak diingetin dari sekarang," ucap mama menjelaskan rasa penasarannya. Bukan ingin ikut campur urusan orang, namun khawatir dengan Kak Murni dan keluarganya.

"Iya, Kak. Semalam Murni minjam uang 3 juta. Lira adanya cash, emang sekalian mau main ke rumahnya juga. Udah lama nggak main ke sana." 

Aku, mama, dan Mas Fariz menoleh bersamaan. Kami berpandangan mengingat semalam Kak Murni juga menghubungiku. Namun, tiba-tiba mama mengejutkan aku dan Mas Fariz. 

"Oh, itu paling untuk usaha kali, Lir. Nanti juga diganti!" ucap mama membuatku mengerenyitkan dahi. Kenapa mama tidak bilang sejujurnya bahwa aku juga telah meminjamkan Kak Murni uang 2 juta rupiah?

"Iya, Kak. Memang semalam Murni bilang begitu, dia mau dagang di rumahnya. Buat tambahan penghasilan," ucap Tante Lira membuatku terpaksa diam. Colekan jari mama yang membuatku terdiam. Kode untuk tidak membuka aib Kak Murni.

"Ya, untung elu ada duit, Lira. Tadinya Murni mau minjem gue, cuma gue juga nggak punya duit." 

"Iya, Kak. Murni kan ponakan Lira. Jadi dibantu kalau ada," ucapnya. Kemudian kami membicarakan hal lain, hingga akhirnya Tante Lira dan Om Dio pamit pulang.

"Kami pamit dulu, Kak. Jangan bilang Murni ya aku sudah bicara soal uang yang ia pinjam!" Tante Lira memerintahkan agar merahasiakan ini dari Kak Murni.

"Iya, tenang aja, makasih ya udah bantuin anak gue." 

"Dulu waktu Lira susah juga kan Murni sering bantuin," sahut Tante Lira. Ternyata kakakku baik orangnya. Sering minjemin orang lain juga dulunya. Namun, kenapa tiap kali aku pinjam ia selalu bicara kasar padaku?

"Iya, emang kudu begitu sama saudara," ujar mama sambil nganter Tante Lira ke depan. Ia sudah bersiap untuk pulang.

"Tante pulang, ya."

"Hati-hati Tante, Om!" pesanku dan Mas Fariz.

Sekarang tinggalah aku dan Mas Fariz di rumah mama. Ingin rasanya aku menanyakan pada mama tentang hal tadi. Kenapa ia menyembunyikan tentang Kak Murni pada Tante Lira.

"Mah, kenapa mama tadi merahasiakan soal Kak Murni pinjam uang juga pada Raya?" tanyaku penasaran.

Mama duduk dan mengajakku bicara berhadapan. Ia pastikan dulu bahwa Tante Lira sudah pulang. 

"Kamu ingat dulu waktu kamu keguguran?" tanya mama.

"Iya, Mah. Aku pinjam uang pada Kak Murni 3 juta. Namun, aku diocehin dulu olehnya, Mah." 

"Ya, Kakakmu memang seperti itu. Namun, kamu tahu tidak sebenarnya apa yang terjadi pada saat itu?" tanya mama.

***

Setahun lalu saat Raya keguguran POV Mama Alika.

Namaku Alika, aku memiliki dua orang putri yang sudah menikah. Keduanya memiliki karakter sifat yang amat berbeda. Namun, aku selalu menjaga hubungan mereka untuk tetap baik.

Saat itu, Raya sedang kesulitan uang untuk kuret. Ia kebingungan mencari uang. Hanya Murni yang bisa diandalkan. Namun pada saat itu, Murni sedang tidak ada uang. Ia sudah meminjamkan satu juta. Namun Raya butuh 3 juta lagi untuk biaya kuret.

"Murni, pinjami Raya uang 3 juta lagi."

"Mah, aku tidak punya uang sebanyak itu."

"Murni, kasihan adikmu itu."

"Mah, aku bicara benar. Tidak ada uang, tadi terakhir kalinya sejuta dipinjam oleh Raya."

"Bagaimana, ya?" Tidak lama kemudian, ponsel Murni pun berdering. Lalu ia angkat teleponnya.

"Hallo, Tante Lira, sudah di mana?" tanya Murni. Ternyata yang menghubunginya adalah adikku Lira. Setelah itu tidak tahu Lira bicara apa. Namun Murni tiba-tiba mengeluarkan uang dari tasnya.

"Sebentar Tante, ini ada 3.500.000." Entahlah apa yang mereka bicarakan, namun aku kesal melihat Murni ternyata ada uang sebanyak itu. Kemudian telepon terputus. Aku segera menanyakan urusan mereka berdua itu apa.

"Itu ada uang, untuk apa dan ada urusan apa dengan Lira?" tanyaku menyelidik.

"Tante Lira ingin kredit handphone, ini aku udah bawa uangnya niatnya mau suruh Tante Lira beli sendiri. Namun ia tidak bisa datang, katanya ada tamu, jadi besok ia ke sini."

"Astaga, kamu benar-benar keterlaluan, adikmu benar-benar butuh tidak kamu hiraukan," ucapku. Akhirnya Murni pun memberikan pinjaman kepada Raya dari uang yang tadinya untuk Tante Lira. Toh besok langsung diganti oleh Fariz.

"Ini, Mah. Pakai dulu saja. Nanti aku bilang pada Tante Lira besok uangnya."

"Nanti Mama bilang pada Lira. Nggak usah kredit ke kamu, karena adiknya lebih membutuhkan uang itu dibandingkan Tantenya. Dia hanya untuk beli ponsel sedangkan Raya itu sakit." 

"Bukan gitu, Mah. Raya sudah keseringan ngerepotin."

"Nanti juga ada masanya Raya tak lagi merepotkan kamu, Murni. Sekarang kamu telepon Lira, bilang tidak jadi kreditin handphone!" perintahku.

Lalu Murni membatalkan Lira untuk kredit handphone atas laranganku. Namun, aku minta Murni merahasiakan ini dari Lira. Meskipun Lira adalah adikku. Namun, ada anakku, Raya, yang lebih membutuhkan uang ketimbang Lira.

***

"Begitu ceritanya, makanya tadi Mama merasa tidak enak dengan Lira. Dulu Mama sempat melarang Murni untuk kreditin Lira handphone. Eh sekarang malah Lira berikan Murni pinjaman."

Cerita mama tadi membuatku terenyuh sekaligus berpikir, bahwa sebenarnya dulu Kak Murni itu sudah sangat baik kepadaku sehingga ia bosan membantuku. 

"Ya mungkin Tante Lira sekarang bantuin Kak Murni karena dulu sering ditolong juga oleh Kak Murni, sama seperti aku dulu, ya Mah?"

"Ya, hanya ketika ia hendak kredit handphone memang Mama tidak izinkan." 

"Satu lagi perbedaannya. Kak Murni tidak mencaci-maki Tante Lira. Kalau aku yang pinjam, pasti dicaci-maki."

"Sabar ...." Mama hanya menasehati itu. Mas Fariz yang sejak tadi mendengarkan percakapan kami hanya mengangguk tanda mengerti apa yang telah mama ceritakan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status