Share

Bab 2. Balutan Mimpi Buruk

Mata sendu yang basah itu, dengan suara serak lirih mampu menghunus hati dingin Jovan.

"Ikut denganku!" Jo berbalik dan melepas maskernya.

Ayana bernafas lega. Dia hendak bangkit. "Aaaaahh!" teriaknya. Tubuh lemah itu lunglai ke lantai. Dia terlalu lama meringkuk.

Jovan langsung sigap. Dia menangkap Ayana. Paham dengan keadaannya, Jovan langsung mengangkat ala bridal style.

"Aaahh!" Ayana mengaduh saat punggungnya tersentuh.

Jovan membawanya menuruni tangga, dengan langkah tegas dan tanpa menoleh wajah Ayana.

Ayana hanya termangu. Dia menatap lekat wajah tampan dengan mata elang itu.

Di bawah. Jovan melihat musuhnya telah tersungkur tergeletak dan terikat di pojok sana.

"Sepertinya kalian sangat menikmati malam ini," seru Jovan pada temannya.

"Mereka terlalu lemah." Brox terkekeh. "Wow, siapa yang kamu bawa?"

"Jo, apa dia ...?" Vincent membolakan mata, dia tidak pernah melihat Jovan peduli dengan urusan wanita.

"Klien membayar harga tinggi hanya untuk para pecundang ini. Apa itu bonus, Jo?" Mata Leo binar.

"Kita untung banyak kalau begitu. Ha ha ha." Robin tertawa.

Ayana menaruh wajahnya di dada bidang Jovan, dia ketakutan pada kata-kata mereka.

"Bawa tikus itu di atas!" seru Jovan, lalu melangkah pergi dulu. "Brox, ikut denganku!"

Satu temannya mengekor, dia paham maksud Jovan. Langsung menyalakan mobil.

Jovan memasukkan Ayana ke kursi belakang mobil itu. Jovan duduk di sampingnya.

Mobil itu melaju membelah keramaian. Tidak ada percakapan. Hening, mereka menikmati pikirannya sendiri-sendiri.

Di dalam mobil, Ayana mencengkeram kuat lengan Jovan, dia sembunyikan wajahnya di bahu Jovan. Jovan membiarkan hal itu.

Lama melaju. Hingga sampai pada sebuah rumah, di tengah pepohonan. Tidak jauh dari pinggir Kota.

Rumah gaya manly. Dengan warna hitam dan abu-abu. Semua pintu dan jendela dari besi. Bahkan pintu garasi warna hijau yang menjulang tinggi itu tampak menyeramkan bagi Ayana.

"Kamu bisa berjalan?" tanya Jovan.

Ayana mengangguk.

Jovan mengulurkan tangan. Ayana langsung mencengkeram lengan Jovan, gemetar.

"Masuklah! Ini tempat kami. Basecamp, tempat kami tinggal."

Jovan menuntun Ayana. Mereka masuk, Brox mengekor.

Dalam rumah tampak seperti arena olahraga. Glek, Ayana menelan ludah.

Ayana baru kali ini masuk rumah model berbeda, menurutnya.

Samsak bergelantungan. Barbel, treadmill, rowing machine, dan lat pulldown. Menghiasi sisi ruang lantai bawah.

Di sisi lain ada sebuah Ring boxing. Baru di tengah, ada sebuah meja panjang mungkin untuk mereka duduk. Ada juga, beberapa tempat duduk dari ban truk yang mereka modif. Ayana kembali menelan saliva.

"Kamu takut?" tanya Jovan, melihat Ayana terpaku melihat isi rumah.

"Kami orang baik, jangan berpikir terlalu jauh!" sahut Brox, dia telah melepas maskernya. "Lihat! Mana ada penjahat tampan." Lalu dia berlalu menuju dapur, tanpa menunggu sahutan.

Ayana bersembunyi di belakang tubuh Jovan, saat Brox muncul.

"Duduklah! Aku akan menyiapkan kamarmu." Jovan hendak meninggalkan Ayana naik ke lantai atas, tapi Ayana menahannya, dia takut dan menggeleng.

Jovan paham. "Aku antar ke kamarmu. Sementara kamu bisa tinggal di sini. Sampai kondisimu membaik."

Ayana mengangguk pelan. Dia berjalan memegang lengan Jovan.

Berada di kamar pojok, di sebelahnya ada sebuah kamar milik Jovan.

Masuk. Kamar ukuran sedang, dengan satu tempat tidur, ada lemari cukup besar bagi Ayana. Satu kamar mandi ukuran sedang, tanpa bathtup.

"Aku tidak punya tempat lain." Jovan melepas pelan pegangan tangan Ayana.

Ayana mengangguk.

"Aku akan ambilkan baju ganti untukmu." Jovan pergi, dia menuju kamarnya di sebelah kamar itu. Mengambil sebuah celana training dan kaos putih lengan pendeknya.

Kembali masuk ke kamar Ayana. Jovan meletakkan pakaian juga obat luka itu pada tempat tidur. Jovan tahu jika Ayana terluka.

"Bersihkan dirimu. Pakailah bajuku dulu!"

Ayana mengangguk.

"Obati juga lukamu, jika kesulitan kamu bisa bilang padaku." Jovan berlalu pergi.

Kembali mengangguk, dan menatap punggung Jovan.

"Huff." Ayana menghembus nafasnya.

'Tempat ini lebih baik dari tempat itu. Aku tidak tau siapa mereka, yang penting sekarang aku bisa lepas. Aku tidak harus mencari cara lepas dari pria hidung belang lagi. Aku juga bisa bersembunyi dari Febby,' batin Ayana.

Ayana lantas pergi ke kamar mandi, dia akan membersihkan diri."

"Aaahh!!" Suara di kamar mandi, akibat siksaan yang Ayana dapat karna selalu berulah, dan membangkang.

Di lantai bawah.

Semua sudah kembali. 5 Pria itu sedang duduk dengan minuman kaleng serta makanan ringan di meja.

"Aku tidak menyangka kamu membawanya ke rumah kita!" Leo menatap Jovan sembari memasukkan keripik kentang di mulutnya.

"Kamu tidak curiga? Mungkin saja dia pihak musuh." Robin membulatkan mata tajam.

"Wanita itu belum jelas, kenapa kamu tenang membawanya?" Vincent heran dengan pikiran Jovan.

"Juga belum jelas cantik apa tidak. Ha ha ha," sahut Brox.

Jovan masih diam dari ocehan mereka.

"Jo, wanita itu akan jadi urusanmu. Jangan sampai dia mengganggu pekerjaan kita." Vincent menegaskan.

"Jika kamu mau memeliharanya. Jangan lupa, beri kasih sayang. Baby sweet girl. Ha ha ha." Brox terkekeh.

Jovan menatap teman-temannya. "Apa kalian ragu pada keputusanku? Dia tidak ada hubungannya dengan tikus itu. Firasatku sangat yakin!"

"Kalau kamu yakin, aku tidak punya komentar." Vincent mengangkat dua tangannya.

Waktu hampir pagi, tapi mereka baru ingin beranjak tidur.

-

"Ma ... Pa. Mama ... Papa." Mimpi itu selalu muncul hampir setiap hari.

Di ruang gelap tanpa sekat. Seperti ada sebuah rantai asap hitam yang membelenggu Jovan, dia tidak bisa berlari menyelamatkan Orang tuanya. Dia terus meronta berusaha melepas, tapi tetap saja tak mampu, hingga air matanya mengalir di peluk mata.

Nafasnya tersengal, Jovan terus memanggil Mama Papanya yang tergeletak penuh darah. Tak ada yang bisa membantunya.

"Mama ... Papa ...." Jovan menangis meronta. "Ma ... Pa ...." Jovan semakin histeris, saat kedua Orang tuanya seakan semakin jauh. "Ma ... Pa!!!"

"Aaaaaahhhh!!" Jovan terbangun duduk. Keringatnya mengucur.

"Huh huh huh." Jovan mengatur nafasnya. Dia merangkup wajahnya dengan dua telapak tangan. Disapunya, sedikit butiran bening yang jatuh dari pelupuk mata.

'Mimpi ini datang lagi,' batin Jovan. Lalu dia mengambil foto Orang tuanya, dan dirinya saat kecil di nakas. Foto itu sempat dia bawa saat kecil.

* Sekuel peristiwa masa lalu.*

Jovan usia 8 tahun. Tiba-tiba saja, rumahnya didatangi banyak pria bertopeng. Mereka langsung saja menyergap dan membunuh semua isi rumah. Jovan kecil, hanya bisa bersembunyi di sebuah bilik mainan kecil yang dia dan Papanya buat.

Jovan mendengar jelas, suara jeritan dan tangisan Mamanya. Namun, Jovan tidak berani keluar dari bilik kecil itu. Dia hanya menangis dan bergetar ketakutan.

Setelah keadaan hening, Jovan mencoba keluar. Dia mengendap keluar, dan bersembunyi dibalik tembok. Dia membekap mulutnya, saat menyaksikan orang tuanya sudah terkapar penuh darah.

Jovan melihat jelas, sangat jelas. Siapa pria yang berjongkok di samping orang tuanya. Dia teman Papanya, yang sempat Jovan bertemu sekali. Kanigara.

Tangan Jovan mengepal, dia tidak akan pernah melupakan wajah itu. Tidak akan pernah, sampai dia bisa membalas dendam kematian orang tuanya.

"Cari! cepat cari anaknya! Dia pasti masih hidup," teriak Kanigara.

Jovan lekas mengendap kembali pada bilik kecil.

Jovan merasa sangat beruntung, dia tidak ditemukan pria itu. Saat Jovan keluar, jenazah orang tua dan yang lain sudah tidak ada lagi. Jovan kecil hanya bisa menangis. Tangannya mengepal kuat, dengan bayangan Kanigara.

Jovan lantas pergi entah kemana, dia hanya menyusuri jalan. Membawa isi celengan yang dia pecah, beberapa baju, serta fotonya saat bersama kedua orang tua. Membawa tas punggung kecil, Jovan berharap bertemu malaikat penolong.

Jovan ditemukan oleh seorang pria. Narapati (60 tahun) sebatang kara.

Pria itu mempunyai seni bela diri yang mumpuni. Dia hidup di sebuah rumah bilik bambu. Namun, Jovan beruntung dia bisa kembali bersekolah. Yang pasti dia bisa membangun kekuatan diri, untuk misi dendamnya.

Jovan juga sangat bersyukur dia dapat hidup bersama beliau selama 10 tahun. Pria renta itu meninggal. Setelah itu Jovan hidup mandiri.

* Kembali ke masa kini. Kini Jovan sudah 28 tahun.*

Jovan bangkit, dia mengibaskan tirai abu-abu. Dirasakannya hangat mentari yang telah menembus jendela kaca.

Jovan merentangkan tangan. 'Ma ... Pa. Jovan sudah besar. Kek, cucumu selalu menang di medan laga.' batin Jovan.

Matahari hampir tinggi, tapi baru Jovan yang membuka mata. Jovan keluar kamar, dia menuju pantry lantai atas.

Samar Jovan mendengar suara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status