Share

Bab 4. Menyerang Kanigara

Di sebuah tempat pemakaman umum bagi kalangan elit. Seorang paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, juga berkaca mata hitam. Ada seorang ajudan yang membawakan payung hitam untuk memberinya keteduhan.

Dia berjongkok di antara dua nisan. Satu nisan bertuliskan Addy dan satu lagi Jelita.

Dia menaburkan bunga pada keduanya.

"Sudah 20 tahun. Kamu tidak bisa memberi tahuku di mana anakmu sekarang. Seharusnya kamu datang padaku, dan memberiku penerangan," lirih paruh baya itu.

Dia menarik nafas dalam.

"Seandainya saja kamu mendengarkan apa kataku. Kita masih bisa tetap bersama."

Pria itu sebentar mengusap nisan Addy. Lalu berdiri meninggalkan tempat itu.

Berjalan dengan iringan beberapa pria tegap dan kekar. Kanigara nama itu. Nama dan wajah yang selalu Jovan ingat.

Satu ajudan membukakan pintu mobil mewah. Kanigara duduk tegap penuh wibawa di dalam sana.

"Jalan!" tegasnya.

Mobil melaju. Di dalam mobil, sang Asisten yang duduk di kursi depan sebelah kemudi, mulai membacakan jadwal sang ketua.

Mereka memanggilnya Ketua.

---

Jovan sedang mencari tahu aktivitas Kanigara. Dia melihat berita tentang keberadaan Kanigara saat ini.

Tangan Jovan mengepal, dia harus menahan gejolak gemuruh saat melihat wajah Kanigara.

Siaran berita live. Mengabarkan bahwa Kanigara telah berada dalam acara pernikahan megah salah satu pemilik perusahaan besar.

Jovan memutar beberapa kali berita itu, otaknya merencanakan sesuatu. Dia akan kembali mencari celah untuk tuntutan gemuruhnya.

Jovan turun ke bawah. Dia masih ingin diam, dan bergerak sendiri untuk urusan satu hal ini.

"Jo, mau kemana?" Vincent melihat Jovan memakai pakaian serba gelap, meski bukan indentik Black Skull.

"Aku ada urusan, nanti aku akan kembali." Hanya itu, Jovan langsung pergi.

Yang lain hanya saling tatap. Mereka sudah paham.

"Dia melewatkan kita lagi." Brox kecewa.

"Semoga dia tidak bertindak jauh." Leo Khawatir.

"Apa kita mengikuti diam-diam?" usul Robin.

Vincent menatap tajam. "Jangan untuk kali ini!"

Jovan melajukan mobilnya ke Ibu kota. Melaju sangat kencang, tidak lama Jovan tiba di depan hotel tempat acara itu. Dia akan menunggu Kanigara keluar dari tempat itu.

Sekian jam menunggu, Jovan membuahkan hasil. Dia melihat Kanigara masuk ke mobilnya.

Segera dia mengikuti lajuan mobil itu. Hingga mereka memasuki jalur menuju rumah utama Kanigara. Jalan itu tampak sepi. Jovan tidak peduli dengan iringan pengawalan Kanigara. Gemuruh di dadanya kian meletup hanya dengan memikirkannya.

Jovan melaju sangat cepat dan lincah, hingga dia berada tepat di sisi mobil Kanigara. Jovan menghentakkan kuat mobilnya. BRAK. SRAKK. BRAKK.

Mobil Kanigara tersingkir, tapi jelas Jovan mengundang kemarahan semua pengawal Kanigara.

Para pengawal segera mengepung mobil Jovan. Mereka sebagian turun, dan langsung siap menyerang.

Nafas Jovan berat, dia menatap posisinya saat ini. Satu sudut bibirnya terangkat di balik masker itu.

Jovan bersiap melajukan mobil, hendak menerobos pertahanan mereka. Dia ingin sekali menunjukkan jika Kanigara sangat lemah.

Menginjak gas, Jovan melesat dan menerjang pada salah satu mobil pengawal. Hampir berhasil, tapi mobil lain langsung menabrak Jovan dari sisi lain.

BRAK. SREETT. Jovan tersingkir.

Di dalam mobil, Kanigara menatap adegan itu, dengan rasa penasaran tinggi. "Siapa dia, aku ingin tau orang yang berani mencuri perhatian padaku?!"

"Saya akan mencari tahu secepatnya, Ketua." Sang Asisten menjawab.

BRAK. BRAK. BRAK. Pintu mobil Jovan dibuka paksa oleh mereka.

"Keluar!"

Jovan mengambil nafas panjang, dia tidak gentar sedikit pun. Jovan membuka pintu kuat, hingga beberapa mereka terhuyung jauh.

Jovan turun. Dia siap bertarung.

Mereka langsung menyerang. Baku hantam telah riuh. Pengawal Kanigara sudah diketahui sangat terlatih.

Bugh. Bugh. Bugh. Duk.

Set. Duk. Bugh. Duk. Duk.

Namun, mereka telah tersungkur oleh Jovan seorang.

Di dalam mobil, Kanigara hanya terkekeh.

Beberapa dari mereka ada yang mengeluarkan pistol, dan pisau lipat.

"Heh, pengecut!" gumam Jovan dibalik masker.

Mereka lekas menyerang kembali. Sebagian bersiap menodongkan pistol ke arah Jovan.

"Yaaakkk!!"

Bugh. Duk. Jovan kembali membuat mereka tersungkur.

Set. Bugh. Bugh.

Duk. Duk. Duk. Tendangan Jovan beruntun.

Mata Jovan tetap waspada ke arah pistol.

Bugh. Bugh. Bugh. Jovan masih unggul.

DOR. DOR. DOR.

Jovan melompat menghindari tembakan, dan berjongkok. Matanya menatap arah pistol.

Sebagian mereka yang tersungkur juga kembali bangkit meski tertatih.

"Serahkan dirimu, atau nyawamu sekarang?!" seru salah satu dari mereka.

Jovan berdecih.

Ada tiga orang yang memegang pistol, Jovan menatap lekat mereka. Jovan, bersiap mengambil pijakan. Dia melompat dan melempar mata pisau ke arah tiga orang itu.

Set. Set. Set. Sasaran tepat. Pistol mereka semua terlempar.

Seketika yang lain langsung kembali menyerang.

Jovan masih bertahan mendominasi.

Mereka kini maju dengan pisau lipat di tangan. Jovan melihat mereka semakin maju.

Mereka menyerang. Jovan tak banyak melakukan serangan balik, dia hanya fokus menghindar.

Sedikit celah, Jovan merobohkan beberapa dari mereka.

Mereka menyerang membabi buta. Jovan agak kuwalahan.

Sret. Darah mengalir dari perut Jovan.

Duk. Bugh. Bugh. Duk. Duk. Duk. Jovan semakin membabi buta.

Serangan mereka semakin kuat, tapi Jovan sudah terluka. Jovan segera berlari ke mobilnya. Dia bergegas melajukan Mobilnya, melesat cepat.

Kini, baju Jovan sudah basah dengan darahnya, dia harus bertahan sampai basecamp.

Tiba di basecamp hampir pagi. Hanya ada Vincent yang menunggu di depan.

"Jo!" seru Vincent saat mendapati Jovan datang dengan lumuran darah.

"Diam, jangan sampai yang lain tahu!" Jovan melangkah cepat ke kamarnya, diikuti Vincent.

Vincent sigap mengambil kotak obat. Jovan langsung melepas baju atasnya.

"Sudah kubilang jangan bertindak sendiri!" kesal Vincent sambil membersihkan luka sobekan perut.

"Aku hanya ingin memberitahu iblis itu, jika dia tak sehebat itu. Masih ada yang bisa melumpuhkannya."

"Ini yang terakhir. Aku tak akan membiarkanmu pergi sendiri lagi!" Vincent mendongak dengan tatapan tajam.

Jovan tak menyahut.

---

Suasana masih biasa. Jovan tak menunjukkan jika dia terluka, Vincent juga menyembunyikan hal itu.

Beberapa hari tinggal disana. Ayana sudah tidak sering menjerit dan berteriak ketakutan lagi, saat mendengar sesuatu, ataupun yang lain.

"Aku sedikit tenang, wanita itu sudah tidak lagi menjerit saat aku terlelap," ujar Brox.

"Aku sampai berpikir akan membuangnya ke tengah hutan, jika dia tidak bisa diam," kesal Leo. Dia mendapat tatapan tajam Jovan.

"Kapan dia akan berperilaku wajar?" sahut Robin.

"Apa kita bawa dia ke psikolog. Dia mungkin punya kelainan jiwa." Brox memunculkan ide.

"Ide bagus, sepertinya dia memang gila." Leo mengangkat jempolnya.

"Diam, biarkan saja dia!" kesal Jovan.

Mendadak hening.

"Aku sudah bilang, cari tahu soal wanita itu dari tawanan kita!" kesal Jovan.

"Dia bungkam," sesal Vincent.

Leo kini menatap layar laptopnya. "Misi baru," seru Leo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status