Share

Jimat Tali Mayat
Jimat Tali Mayat
Penulis: David Khanz

Part (1)

JIMAT TALI MAYAT

Written by David Khanz

Bagian (1)

------------------------ o0o ------------------------

Rintik hujan masih mewarnai pekatnya alam disertai embusan dingin udara malam itu. Sunyi tanpa menyisakan pekikan kecil jangkrik-jangkrik yang biasa menembang lirih bersahutan di antara rimbunan rerumputan hijau segar. Nyaris tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan di Kampung Sirnagalih pada saat yang sama, sebagaimana keadaan serupa di area pemakaman umum arah timur dari pemukiman warga setempat.

Malam Jumat Kliwon di ambang pertengahan malam tepatnya, di saat hampir semua orang terlelap dalam buaian alam tidur, sayup-sayup terdengar langkah seseorang menjejak tanah yang becek dan licin. Percikan air seketika menciprat begitu kaki-kaki kekar itu mengenjak terburu-buru menuju suatu tempat. Beberapa kali berhenti, lantas melanjutkan perjalanan dengan langkah terseok-seok.

Sosok tersebut adalah seorang laki-laki bertubuh kerempeng. Gelap hampir tidak terlihat wujudnya dalam kepekatan, senada dengan warna kulit yang dia miliki. Menenteng sebuah lentera tak menyala, terayun-ayun goyah mengait di jemari tangan kanan. Sesekali menoleh ke belakang, beralih ke samping kiri dan kanan, kemudian memperhatikan arah depan disertai sorot mata tajam dan lenguh napas tersendat-sendat. Bukan karena lelah, akan tetapi seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu.

"Akhirnya, susah payah aku berjalan di tengah malam buta begini, sekarang sudah tiba di tempat tujuan," gumam sosok laki-laki itu diiringi seringainya yang dingin. "Mudah-mudahan saja rencanaku ini berhasil sampai tuntas nanti, dan tak menemukan gangguan apapun."

Langkahnya mulai memasuki sebuah hamparan area datar dan luas. Nyaris tidak ada pepohonan apapun di tengah-tengahnya, terkecuali tumbuh-tumbuhan pendek penghias longgok tanah berbentuk persegi empat memanjang, berderet rapi dilengkapi dengan ragam nisan sebagai tanda pengenal. Jelas sudah, itu adalah sebuah kompleks pemakaman umum. 

Tanpa ragu-ragu, sosok itu terus mengayun langkah melewati jajaran makam-makam sambil menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatan ke depan atau tepatnya pada sasaran yang akan dia tuju.

"Itu dia kuburannya," desis laki-laki tersebut disertai kekehannya begitu mengenali salah satu kuburan di kejauhan sana. Masih tampak baru berhadap-hadapan dengan sebuah saung kecil seadanya dan gundukan tanah menyembul. Belum bertembok apalagi dilapisi marmer. "Baguslah," imbuhnya kembali dengan nada semringah, "setelah kuintai beberapa malam lalu, sekarang tak ada seorang pun yang menunggui dan mengaji di sana. He-he."

Sosok kerempeng itu mempercepat langkahnya agar lekas mendekat. Lantas menaruh lentera di pinggir makam yang dimaksud dan berjongkok. "Maafkan aku, Kesih. Malam ini tidur panjangmu akan sedikit terganggu," ujarnya sambil meraba-raba permukaan kuburan yang terasa basah. "Ini malah lebih baik. Dengan begitu, tak akan terlalu lama buatku untuk segera menuntaskan pekerjaan ini secepatnya. He-he. Terima kasih, Hujan."

Sejenak laki-laki kurus itu terdiam membeku pada posisi duduk bersila; merapatkan kedua telapak tangan di dada, memejamkan mata rapat-rapat, kemudian mulai merapal kalimat-kalimat tertentu dengan bahasa yang aneh dan tidak dipahami. Setelah itu, dengan tubuh gemetar terselip rasa takut, dia mulai menggaruk-garukan cakarnya pada permukaan tanah kuburan dengan sekuat tenaga. Begitu seterusnya tiada henti dan tanpa bantuan alat apapun.

"Harus kaukerjakan dengan kedua tanganmu sendiri, Basri," ucap seorang tetua yang dia kenali dan membantunya mengurus prosesi ritual tersebut, beberapa waktu lalu sebelum malam itu. "Jangan menggunakan alat apapun, termasuk saat kau mengambil tali mayatnya. Ingat itu!"

"Bahkan untuk hal terakhir tadi, harus dengan tanganku juga, Ki?" tanya laki-laki kerempeng bernama Basri tadi terkejut.

"Ya."

"Lalu?" tanya Basri was-was.

Sosok di depannya itu tidak serta-merta menjawab, malah asyik mengekeh sendiri sembari mengusap-usap janggut putih panjangnya.

"Hik-hik!"

Basri merutuk sendiri sambil terengah-engah kelelahan, lantas menghentikan sesaat penggaliannya untuk mengambil napas panjang, "Dukun jahanam! Apa harus sesulit ini Ki Jarok menyuruhku menggali kuburan Kesih? Belum pula nanti! Sialan!"

Laki-laki itu kembali menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut. Begitu dia lakukan hingga beberapa kali untuk mengurangi rasa letih. Setelah itu lanjut menggali kuburan tadi dengan cakar jemari. Kali ini lebih kuat dan cepat bagai kesetanan.

'Aku harus cepat-cepat menyelesaikan kerjaan ini sebelum mendekati waktu janari nanti,' membatin Basri dengan bias rasa takut, diam-diam mulai menjalari kisi-kisi hatinya. Sementara ceruk makam sudah mulai terbentuk. Hampir setengahnya digali. Meninggalkan timbunan baru di sekeliling samping kuburan. 

Bukan hal mudah, memang, menggali kembali gundukan makam yang sudah berusia hampir sepekan. Tanah padat disertai kerikil dan batu-batu besar, itu yang acap kali menyulitkan Basri lekas mencapai dasar kuburan. Rasa perih tidak lagi dipedulikan, menghunjam ujung kuku dan ruas jemari yang terluka. Entah tergores atau terkoyak. Laki-laki itu sendiri tidak dapat memastikannya di bawah bayang-bayang kegelapan. Namun yang tertentu, resapan deras air hujan sebelumnya benar-benar membantu menggemburkan.

Beberapa waktu kemudian ….

Trak!

Ujung kuku Basri seperti menyentuh sesuatu. Cepat-cepat dia kembali mencakari tanah, hingga benda yang tadi perlahan-lahan menampakkan bentuknya. Seperti batang-batang bambu yang berderet miring, memanjang tertancap ke bawah. 

Tubuh laki-laki tersebut mendadak gemetar hebat disertai wajah memucat pasi. Basri tahu bahwa dia kini telah sampai di dasar kuburan. Tinggal beberapa langkah lagi. Sosok kaku di balik dinding bambu di dalam sana tersebut, pasti saat ini tengah menunggu. 

Basri tersurut ke belakang. Bukan malah menjauh, tapi kini tertahan dinding tanah kuburan. Seketika darahnya seperti berhenti memenuhi batok kepala. Dingin disertai keringat deras membanjiri sekujur badan.

"Kesih …." desis sosok kerempeng itu terpatah-patah, lantas jatuh terduduk tepat di depan jajaran bambu-bambu penghalang tadi. Sejujurnya dia ingin berlari sejauh mungkin, mengurungkan niat semula untuk memenuhi permintaan Ki Jarok sebagai salah satu syarat impian Basri sendiri. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana kondisi tubuh kaku itu tergolek kini. Lima hari sudah tertanam dalam-dalam di sana. Tentu sudah tidak lagi secantik Sukaesih pada saat masih hidup.

Kecamuk pun riuh melanda segenap lorong hati dan pikiran Basri. Sudah sejauh ini melangkah, cukupkah perjalanan gilanya itu diakhiri sebelum tuntas? "Tidak! Aku harus berani melakukannya!" ucapnya menguatkan tekad. "Harus dituntaskan! Hidupku harus berubah!"

Perlahan-lahan dia memejamkan mata diiiringi napas memburu menyesakkan. Lalu menjejakkan tungkai kaki ke dasar kuburan untuk membantunya berdiri, menggeser punggung ke atas sambil bersandar kuat-kuat. Basri bermaksud mengambil lampu lentera kecilnya di atas. Di saat itulah, keheningan mendadak berubah kian mencekam.

"Aauuummm …."

Suara lirih lolongan anjing tiba-tiba bergema memecah kesunyian malam. Mengalun panjang dari kejauhan, seperti hendak meruntuhkan nyali seketika. Basri sempat tersurut dilanda kejut dan memaki, "Bedebah laknat! Hampir saja jantungku rontok!" Dia mengusap-usap dada sejenak. 'Tak bisakah makhluk jahanam itu diam dulu sampai aku beres dan pergi dari sini? Keparat! Bisa-bisa warga sekitar sana terbangun dan memergokiku! Anjing!'

Basri mulai berjongkok lagi. Mengambil pemantik api dari saku celananya yang kotor berlumpur. Lalu menyalakan lampu lentera itu untuk membantu menerangi kondisi gelap di dasar liang makam. Lumayan sedikit terang walaupun remang-remang. Setidaknya kini sudah mampu melihat jajaran dinding bambu tadi. Tinggal menggali lagi, lantas menarik satu persatu bekas penahan timbunan atas tanah tersebut.

Beberapa kali Basri menghentikan penggalian. Samar-samar dia mendengar suara-suara aneh. Sekilas seperti sebuah rintihan kecil meremangkan bulu tengkuk. 'Ah, mungkin suara lolongan anjing keparat itu,' katanya membatin. Berusaha untuk tetap tenang walaupun rasa takut itu masih tersisa besar.

' … atau mungkin juga suara tadi itu rintihan dari sosok di balik ….' Laki-laki itu melirik pelan-pelan pada jajaran bambu di sampingnya. Otak manusia ini mulai membayangkan hal-hal aneh. Tangan menjulur ke luar, mata mayat terbuka, atau bisa saja malah sudah berwujud utuh berdiri di belakang. "Ah, setan! Tidak ada siapa-siapa di sini," gumam Basri begitu usai memutar kepala. "Hhmmm, bagaimana mungkin orang mati bisa hidup lagi. Mustahil. Uuhhh!" Dia menepuk tengkuk spontan. Tiba-tiba saja merasa seperti ada hawa dingin mengusap lembut bagian belakang lehernya tersebut. "S-siapa?" Kosong. Basri mengangkat lentera sedikit ke atas permukaan liang makam. Tetap tidak ada siapapun. 

Laki-laki itu segera melanjutkan pekerjaannya. Sampai kemudian berdiri meluruskan pinggang, lantas menatap deretan bambu-bambu penahan tersebut dengan saksama. Tinggal mengangkatnya satu per satu.

Jantung Basri berdetak kencang kembali. Rasa takut yang sejak tadi ditahan kini mulai menggila. 'Sial! Mengapa harus dengan cara seperti ini, sih? Aku ….' Tidak ada pilihan lain. Waktu semakin menyempit. Mau tidak mau laki-laki itu harus mengenyampingkan bayangan seram akan sosok di dalam sana. Kalau tidak, sia-sialah apa yang dia lakukan sejak tadi.

Sambil menenteng lampu lentera, perlahan-lahan Basri menarik gemetar satu persatu batang bambu-bambu tersebut. Begitu terkuak, aroma busuk pun mulai menyengat.

"Huueekkk!"

Seketika Basri mundur menjauh seraya menutup hidung. Rasa mual pun langsung mengentak-entak seisi lambung, disertai kepala pusing dan sesak napas.

"Huueekkk!"

Kali ini laki-laki tersebut benar-benar memuntahkan makanan yang dia santap tadi petang. Telinga pun ikut berdenging hebat menusuk-nusuk seisi kepala.

"Sial! Cuih! Busuk sekali mayat perawan ini!" gerutu Basri usai menumpahkan muntahan terakhirnya. Dia sampai meludah beberapa kali, seraya membuang sisa-sisa isi lambung yang menyelip di antara gigi.

Kali ini, sebelum melanjutkan ritual terakhirnya, Basri menengadah dan menarik napas banyak-banyak. Kemudian tanpa menunggu lama segera mencabuti semua batang bambu-bambu itu hingga habis. Rehat sejenak untuk membuang napas, menghirup panjang, menahan, lalu kembali berjongkok memeriksa kondisi mayat Kesih dibantu cahaya lentera.

Sosok mati itu tergolek kaku dalam posisi menyamping ke arah dinding tanah. Diganjal bulatan besar tanah sebagai pengganjal untuk menahan jasadnya agar tidak terbalik telentang.  Tidak jelas bagaimana kondisi wajah mayat perawan itu. Basri tidak terlalu ingin melihatnya lebih lama. Namun saat dicoba disentuh, terasa seperti meraba onggokan daging bengkak dan gampang sekali ditarik lepas.

"Astagaaa!" seru Basri kaget dan langsung menarik kembali tangannya menjauh. Dia segera bangkit untuk membuang napas, menghirup kembali, lantas berjongkok lebih dekat. 'Tali pengikat di bagian leher itu yang dipinta Ki Jarok,' gumamnya dengan perasaan takut luar biasa. Ada rasa ragu untuk mengambilnya. Mengerikan sekali jika tiba-tiba saja mayat itu berbalik badan, menatapnya geram, kemudian bangkit untuk ….

"Tarik dan ambil tali mayat itu di bagian lehernya dengan gigimu," titah Ki Jarok memberi perintah. Basri terkejut bukan kepalang. Tanya laki-laki kerempeng itu kemudian, "D-dengan gigi saya, Ki?"

"Ya, dengan gigimu!" jawab tetua itu tegas. "Kenapa? Kaukeberatan, Anak Muda?"

Balas Basri ketakutan, "B-bukan i-itu m-maksud saya, Ki, tapi … apakah tak ada cara lain? Misalnya dengan kedua tang—"

"Tidak!" tukas Ki Jarok keras menggetarkan. " … dan jangan coba-coba menipuku, Basri! Aku pasti tahu!"

"I-iya, Ki. Maaf," ujar laki-laki itu tertunduk layu. Mata tua dukun tersebut seperti menyala-nyala setiap kali menyentak. Mengerikan. "Saya akan lakukan sesuai dengan apa yang telah Aki perintahkan."

"Hik-hik! Bagus … bagus sekali, Anak Muda."

Manusia gila, pikir Basri, sebentar marah-marah, sebentar kemudian terkekeh-kekeh.

Tutur Ki Jarok kembali menjelaskan tentang sosok  Kesih, " … saya dengar, Kesih itu masih perawan. He-he. Lebih bagusnya lagi, dia mati dengan cara tidak wajar. Bunuh diri, kalau tak salah saya dapatkan kabarnya."

Sukaesih nama lengkap gadis tersebut. Seorang kembang Kampung Sirnagalih yang terkenal akan kecantikannya hingga ke beberapa kedusunan di seberang. Anak semata wayang seorang juragan tanah kaya raya di daerah tersebut, bernama Juanda Wiratadiredja. Kesih yang memiliki paras jelita warisan dari Sumirah ibunya, tersiar kabar hendak dijodohkan dengan seorang pemuda hartawan, anak dari kepala desa sebelah. Gadis itu menolak karena perangai calon suaminya seorang yang hobi mabuk-mabukan dan suka main perempuan.

"Sukaesih memilih mati, sehari jelang pernikahan mereka," imbuh Ki Jarok sembari memejamkan mata, seperti tengah menerawang saat-saat kejadian nahas tersebut. "Dia menggantung diri di kamarnya," kata tetua itu menutup cerita.

Basri mengingat betul pesan-pesan yang disampaikan oleh dukun tua itu. " … kebetulan kaudatang di waktu yang tepat, Anak Muda. Memintaku untuk mewujudkan impian hidupmu yang fakir. Ada gunanya juga kematian tragis perawan yang malang itu. Hik-hik hik-hik."

Berguna? Tentu saja. Basri lelah terkurung dalam kehidupannya yang morat-marit. Sementara nasib Sukaesih justru tidak seberuntung kecantikan paras yang dia miliki.

'Mengenaskan sekali jalan hidupmu, Kesih,' gumam Basri sembari menatap jasad perawan tersebut. Kemudian sebelum laki-laki itu menuntaskan tugas, terlebih dahulu merapal kembali beberapa bait kalimat khusus. Semacam mantra pemberian dari Ki Jarok. Setelahnya, perlahan-lahan sambil menahan napas, Basri membungkuk ke dalam ceruk makam Kesih. Mendekatkan kepala ke arah leher mayat dengan debar dada kian menggemuruh. Ragu tapi berkeras hati sudah kepalang basah. Kalaupun bakal menghadapi kejadian tidak terduga, biarlah. Mungkin resiko fatal terakhir adalah nyawanya sendiri. 

Krek!

Gigi Basri berhasil menggigit utas tali pengikat kain kafan di bagian leher. Tinggal menarik sekali dengan cepat, ritual pun usai. Naik kembali ke atas, lalu pergi menemui Ki Jarok sebelum ada yang memergokinya nanti. Namun gerakan mundur kepala laki-laki itu tertahan. Gigitannya hampir saja terlepas, akan tetapi tali pengikat mayat itu malah makin sulit ditarik. Ada apa gerangan? 

"Eemmpphhh!" Basri masih berusaha menahan napas sambil menarik-narik tali tersebut. Tetap saja bergeming. Sementara dadanya kian menyesak sakit. 

"Hah! Astagaaa!" seru laki-laki itu terkejut luar biasa. Tarikan giginya malah turut membalikkan badan Sukaesih hingga jatuh telentang. Spontan dia melepas utas mayat tersebut seraya beringsut menjauh. 

"Aaahhh!" Tidak sadar Basri berteriak dengan raut wajah memucat pasi.

Di terangi cahaya remang lentera, terlihat samar wajah Kesih yang tertutupi kapas putih. Sebagian sudah terlepas hingga tampak sekali bagaimana kondisi mayat tersebut kini. Membengkak putih pasi, dengan bola mata menonjol seperti hendak mencelat jauh dari dalam rongganya. Tidak lagi berwarna hitam atau coklat sebagaimana umumnya mata manusia hidup, melainkan memudar senada dengan corak keseluruhan bulatan tersebut. Sementara di bagian seputar pipi tampak menggelembung besar seperti bersiap-siap pecah masai. Mengerikan sekali. Jauh berbeda dengan kejelitaan yang tersiar semasa hidupnya.

"Hooeekkk!"

Kembali Basri mengalami mual-mual hebat saat terlupa mengambil sisa napas akibat dera sesak tiada terkira. Disusul seisi kepalanya terasa seakan-akan hendak meledak dahsyat.

'Busuk sekali dia!' rutuk laki-laki tersebut seraya memegangi perut dan lehernya. 

Sekarang bagaimana? Mayat itu sudah terlanjur berubah posisi. Menghadap ke atas. Ingin rasanya Basri menyelesaikan pekerjaan dia itu dengan menarik sisa tali pengikat kain kafan di leher mayat tersebut dengan tangan. Namun dia ingat pesan Ki Jarok yang mengatakan harus mengambilnya dengan gigi dan dia akan tahu jika berlaku curang. 'Bisa saja kubohongi dukun sialan itu, tapi percuma kalau pekerjaanku malam ini malah akan berakhir sia-sia. Huh, jahanam!' Laki-laki kerempeng itu tidak berhenti menggerutu.

Masih dengan gemetar hebat akibat menahan rasa takut, perlahan-lahan Basri kembali maju dibantu penerangan lentera mendekati leher jasad Kesih yang mulai membusuk. Dia pejamkan mata serta menahan napas sekuat tenaga, mencari-cari ujung tali mayat yang lembab bercampur aroma bangkai dengan mulut. Benar-benar itu sebuah siksaan yang tiada tara. Melawan ketakutan dan bayangan mengerikan perihal jasad tersebut, dengan keinginannya untuk segera menuntaskan ritual ini malam itu juga.

"Jangan, Kang …."

"Astaga!" seru Basri terkejut seraya mencelat kembali ke belakang. Napasnya kian memburu, bersimbah keringat dingin, dan wajah kian memucat laksana tak berdarah. Lentera di tangan pun tidak sadar dia lempar ke sudut kuburan. Pecah berantakan menyulut sisa sumbu yang masih panjang dan basah oleh minyak tanah, lantas menyulut api lebih besar menerangi ceruk kuburan. Kobaran api segera membubung tinggi hingga permukaan makam. "M-mayat i-tu b-berbicara," desis Basri tergagap-gagap sambil menatap golek jasad tersebut beberapa saat. Namun kemudian tersadar, posisi jenazah Kesih masih seperti tadi. Diam tak bergerak sedikit pun. ' … atau itu cuma halusinasiku saja? Ya, Tuhan!' Dia menelan ludah beberapa kali. Mendadak kering hingga tiada setetes pun mengaliri tenggorokannya yang turut kerontang.

'Gawat! Nyala api ini bisa menimbulkan kecurigaan warga setempat,' membatin Basri begitu melirik kobaran sumbu lentera di sudut kuburan. 'Aku harus cepat-cepat menarik lepas tali mayat sialan itu sesegera mungkin. Apapun yang terjadi, ini memang harus dituntaskan.'

"Aahhh, peduli setan dengan semua itu!"

Laki-laki itu kembali mendekati titik sasaran secara membabi buta. Dia nekat mengakhiri ritual tersebut dengan membuang jauh-jauh rasa takut yang menghantui tadi. Sekuat tenaga menggigit ujung tali kain kafan dan menarik kuat-kuat hingga posisi kepala mayat Kesih ikut bergeser. 

"Jangan, Kang. Aku mohon …."

Suara itu kembali terdengar. Membisiki gendang telinga Basri yang tengah kesetanan.

"Enyah kau mayat jahanam! Biarkan aku mengambil sedikit saja milikmu yang tidak berguna bagimu ini!" ujar Basri menggeram marah. "Biarkan aku mewujudkan impian hidupku menjadi orang kaya raya! Lepaskan!"

"Jangan, Kang."

"Lepaskan!" teriak laki-laki tersebut murka di antara gigitannya, lantas segera melayangkan tinju keras-keras menghantam batok kepala mayat Kesih.

Krak!

Terdengar patahan tulang berderak begitu kepalan tangan Basri mengenai sasaran. Seketika kepala mayat itu pun berubah miring dengan sisa kapas terlepas memperlihatkan sosok aslinya kini.

"Haram jadah!" teriak Basri terengah-engah usai berhasil menarik lepas tali mayat tersebut, lantas berdiri angkuh serta menambah hantamannya dengan ayunan kaki ke bagian yang sama seperti tadi.

Krek!

Kali ini kepala mayat Kesih benar-benar dibuat tidak menentu. Wajahnya nyaris menelungkup, mencium dasar ceruk kuburan, sementara bagian dada ke bawah tetap menghadap ke atas.

"Rasakan! Itu akibatnya kalau melawanku, Mayat sialan! He-he," ujar Basri diiringi kekehannya yang memuakkan. Seakan merasa senang kini, karena sudah berhasil memiliki benda persyaratan yang dipinta Ki Jarok.

Tanpa membuang lebih waktu lama, laki-laki kerempeng itu pun segera menaiki permukaan makam. Berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kuburan Kesih yang porak-peranda. Sementara nyala api masih mengalun dari bawah disertai kepulan asap hitam membubung tinggi.

Basri tahu, sangat riskan sekali jika menggunakan jalanan umum seperti biasa. Khawatir bertemu warga setempat yang tengah meronda. Maka dia pun mengambil jalan pintas. Menyusuri area kebun dan pematang sawah dalam kondisi gelap gulita. Tidak sekali, laki-laki ini terjerembap meniduri tanah licin dan becek hingga pakaian yang dikenakan pun nyaris tidak berupa. Satu hal baginya adalah menjaga agar tali kain kafan itu jangan sampai terlepas dari gigitan. Sebisa mungkin harus diberikan kepada Ki Jarok langsung melalui mulutnya.

"Hhooaaakkk!" Basri menahan entakkan mual yang kembali menghantam dada, akibat bau busuk dari tali tersebut. Syukurlah kali ini tidak lagi disertai muntahan hebat seperti sebelumnya. Mungkin karena isi lambung laki-laki itu sudah terkuras kosong melompong. Maka secepat itu pula, langkah kakinya diayun laksana putaran angin puting beliung.

Entahlah, disepanjang langkah, bayangan-bayangan aneh hampir selalu dia lihat seperti mengikuti. Berwujud aneh dan aromanya pun mirip dengan bau utas yang tengah digigit. Berusaha menghalangi menakut-nakuti. Bahkan di antaranya sengaja menutup jalan yang akan dilalui. 

Basri tidak mau memedulikannya. Dia terpaksa memutar haluan. Menghindar dan memilih arah lain, walaupun dirasa pelarian dia kali ini bertambah jauh dari tujuan.

Tok! Tok! Tok!

"Ki, buka pintu! Ini aku, Basri, datang!" teriak Basri terhuyung-huyung begitu tiba di depan pintu sebuah gubuk tua dan nyaris gelap di sepenjuru tempat.

Tidak berapa lama pintu terkuak. Sesosok tua berjanggut putih panjang muncul dari dalam. Mengenakan ikat kepala berwarna hitam untuk menahan gerai rambutnya yang awut-awutan. Dia menatap Basri beberapa saat, kemudian terkekeh-kekeh sendiri di balik keremangan cahaya kecil di belakang, serta kepulan asap putih berbau khas pedupaan.

"Hooeeekkk!"

"Akhirnya kaukembali juga, Anak Muda. Hik-hik," kata sosok yang tidak lain adalah dukun terkenal setempat bernama Ki Jarok. "Aku sudah menunggumu dari … eh, apa yang terjadi padamu?" Dia segera menahan gerak tubuh Basri yang hendak terjatuh. Lantas secepat kilat menyambar tali yang tergigit sebelum laki-laki itu benar-benar terhempas ke tanah. 'Sialan! Dia jatuh pingsan di sini! Aarrghh, menambah kerjaanku saja kau, Anak Muda!' gerutu Ki Jarok sambil menarik masuk ke dalam.

Perlahan-lahan dia menempatkan tubuh Basri di atas sebuah dipan bambu beralaskan tikar daun pandan. Meneliti sejenak pakaian kotor yang dikenakan laki-laki tersebut, lantas dengan senyum tersungging menakutkan, Ki Jarok bergumam, 'Baguslah, ada baiknya dia tidak mengetahui apa yang akan kulakukan selanjutnya pada dia. Hik-hik.'

Kemudian perlahan-lahan sosok tua itu mulai menanggalkan seluruh pakaian Basri.

"Hik-hik."

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status