Share

Part (6)

JIMAT TALI MAYAT

Written by David Khanz

Bagian (6)

-------------------------- o0o --------------------------

Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut.

"Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "W*'alaikumussalaam, Nak."

Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?"

"Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?"

"Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."

"O, ya, sudah. Kètèl sama gelasnya ada di dapur," balas Emak Sari seraya menunjuk ruangan belakang. "Kalo mau bikin kopi, airnya ada di termos. Baru pagi tadi naheur, Nak."

"Iya, Ambu," timpal Lastri. "Bapak mau ngopi?" tanyanya kemudian pada Basri yang sudah duduk di atas hamparan tikar pandan di ruang tengah. Laki-laki itu mengangguk, lantas menjawab, "Bikin saja, Bu. Sekalian juga buat Abah … eh, Abah ke mana, Mak? Sisinarieun gak kelihatan?"

Wanita tua itu menjawab usai Lastri pamit ke dapur, "Bapakmu lagi pergi ke luar, Nak. Biasalah, mungkin ke kebon nyari buah pisang buat caneut."

"Oohhh," gumam Basri sambil manggut-manggut. Dia melirik-lirik sebentar, melihat ibunya sedari masuk tadi tidak lepas memandanginya. "Ada apa, Mak?" tanya laki-laki kerempeng itu tiba-tiba merasa kurang enak hati.  Sebelum menjawab, Emak Sari melongok dulu ke arah dapur. Lalu berucap, "Kamu ke mana saja selama seminggu ini, Nak? Gak ada kabar sama sekali, bikin istrimu itu bingung. Sampai-sampai anak-anakmu dititipin di sini."

Basri tidak berani menatap balik sorot mata ibunya. Dia menjawab sambil mengalihkan arah pandangan. "Abas nyari kerjaan, Mak, ke kota," katanya memberi alasan. "Tadinya, sih, paling sehari dua hari pergi, eh … tahunya malah seminggu baru balik lagi."

"Terus?" Mata tua itu seperti tengah menyelidik.

Jawab laki-laki kerempeng itu kembali, "Yaa … terus ... ketemu temen lama, diajak kerja selama seminggu itu. Begitu, Mak. Baru kemaren petang Abas pulang lagi."

Emak Sari menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian menimpali penuturan anaknya tadi, "Yaa … minimal ngasih kabar atuh ke rumah. Karunya si Elas sampe nyari-nyari kamu ke sini, lho, Nak. Kasihan dia."

"Iya, Mak," balas Basri sambil menunduk. "Abas sudah jelasin, kok, sama Lastri dan minta maaf. Makanya kami datang ke sini juga, mau sekalian ngejemput Iyan dan Iyam pulang."

Sosok wanita tersebut terdiam beberapa saat. Menarik napas, memandangi anak laki-laki semata wayangnya, kemudian berkata, "Lagian, kenapa, sih, kalian itu gak tinggal di sini saja sama Emak dan bapakmu. Eh, ini … malah milih ngontrak jauh-jauh di Cijèngkol sana. Kalo kalian tinggal di sini, 'kan, gak usah repot-repot kayak kemaren-kemaren itu, lho, Nak. Ditinggal kamu pergi lama juga, Elas dan cucu-cucu Emak, ada yang ikut ngejagain."

Basri hanya diam mendengarkan.

Imbuh Emak Sari, "Padahal kalo mau mah, tuh itu … ikut ngurus kebon sama sawah yang ada di girang itu bareng bapakmu, Nak."

Percakapan langsung terhenti begitu Lastri muncul dari dapur membawakan segelas kopi dan beberapa gelas teh manis, bersama Aryan dan Maryam. Kedua bocah itu berseru riang waktu melihat sosok bapaknya terduduk di ruang tengah tersebut.

"Bapaaakkk!" teriak keduanya lantas menghambur peluk penuh kerinduan. "Bapak ke mana waè, sih? Kamari Iyan nunggu-nunggu Bapak gak pulang-pulang," ungkap Aryan si Anak Sulung berebut dekap manja bersama adik perempuannya. Ditimpali Maryam di antara gelayut manja, "Iya, Bapak mah perginya lama pisan, ih."

Basri memeluk mereka serta menghujaninya dengan ciuman hangat, lalu menjawab lirih, "Iya, maafin Bapak, ya, Anak-anak. Bapak gak ngasih kabar sama kalian berdua."

Emak Sari dan Lastri terenyuh melihat mereka bertiga saling berpelukan. Teringat akan beberapa waktu berlalu, datang ke rumah itu bersama anak-anak dengan perasaan tidak menentu menanyakan keberadaan Basri. "Memangnya ke mana suamimu itu, Nak?" tanya sosok wanita tua tersebut miris seraya memperhatikan raut wajah menantunya, terlihat murung dan gelisah. 

"Entahlah, Ambu. Elas sendiri gak tahu," jawab Lastri. Sejujurnya dia merasa malu harus menitipkan Aryan dan Maryam di sana karena sudah tidak bisa memberi mereka makan. Uang tidak punya, setok beras sudah habis, ditambah lagi utang ke warung Bariah kian menumpuk.

"Tinggal saja di sini sampai Basri nanti pulang, Nak," pinta Emak Sari memahami bahwa kondisi perekonomian rumah tangga anak-menantunya ini sedang tidak baik. Namu Lastri menolak walaupun digelayuti perasaan malu terhadap mertuanya tersebut. "Terima kasih, Ambu. Elas sendiri pun gak tahu, bakal berapa lama bapaknya anak-anak itu pergi. Enggak biasanya, sih, begini. Tapi khawatir kalo nanti Bapak ngedadak pulang, rumah dalam keadaan kosong."

Tawaran Emak Sari untuk membawa perbekalan bahan makanan pun, juga terpaksa Lastri tolak. Perempuan itu paham bahwa kondisi hidup mertuanya itu pun tidak lebih baik dari mereka.

"Elas ngerti dan sebenarnya gak mau ngerepotin Abah dan Ambu dengan kehadiran anak-anak di sini, tapi …." Raut wajah Lastri kian muram. " … Elas bingung harus bagaimana lagi, Ambu."

Dengan berat hati, terpaksa Aryan dan Maryam ditinggal untuk sementara waktu di kediaman kakek-neneknya. Lastri kembali pulang ke rumah kontrakan, menaiki angkutan ojek dengan sisa terakhir uang yang ada, sendirian.

"Kalian belum pada ngawadang, 'kan?" tanya Emak Sari beberapa saat usai bercakap-cakap ringan dengan anak-menantunya tadi. Basri menjawab seraya melirik pada Lastri, "Kami sudah makan pagi tadi, kok, Mak."

Timpal wanita tua tersebut, "Itu, 'kan, tadi pagi, Nak. Mumuluk. Sekarang sudah hampir tengah hari. Kita makan bareng, ya? Kebetulan, kemarin si Abah meuncit manila3 kolot."

Demi menjaga hati orang tua tersebut tidak merasa kecewa, Basri dan Lastri mengiakan saja ajakannya. Kemudian bersama-sama, semuanya berkumpul menghadapi hidangan yang menggugah selera itu.

"Huueekkk!"

Semua mata menoleh ke arah Basri penuh keheranan. "Kenapa, Pak?" tanya Lastri lebih awal mempertanyakan. "Bapak masuk angin lagi?"

"Kamu sakit, Nak?" Emak Sari turut bertanya.

Basri menggeleng pelan dengan mata terpejam. "Enggak. Aku baik-baik saja, kok," jawabnya seraya meletakan potongan lauk yang tadi sudah siap dia santap ke dalam piringnya. "K-kayaknya … daging ini masih bau amis, Mak."

Wanita tua itu mengernyit heran.

"Kamu ini bagaimana, sih, Nak," ucap Emak Sari seraya membaui aroma olahannya. "Gak bau anyir, kok. Iya, 'kan, Nak Elas?" Dia meminta pendapat menantunya. Dijawab Lastri sembari melakukan hal serupa sebagaimana ibu mertuanya tadi, "Iya, Ambu. Biasa saja. Malah enak, kok. Anak-anak saja pada lahap, tuh."

Aryan dan Maryam terlihat asyik menikmati makan siang mereka.

"Maafin Abas, Mak, tapi … Abas gak suka baunya," ungkap Basri memberi alasan. Setengah menunduk, mata laki-laki ini liar melirik-lirik ke hampir setiap sudut ruangan rumah.

Emak Sari cemberut dan menggerutu, "Aneh kamu ini, Nak. Sejak kecil, kamu itu selalu suka masakan Emak. Daging manila ini lauk kegemaran kamu juga, lho."

Basri tidak berani mengangkat wajah. Masih dalam posisi setengah menunduk, dia berusaha menjawab ucapan ibunya. "Iya, Abas tahu, Mak. Tapi sekarang Abas gak tahan sama bau amisnya, Mak," ujar laki-laki kerempeng itu kemudian. Lantas dia bangkit dari duduk silanya.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Lastri cepat.

Jawab Basri di tengah langkahnya menuju dapur, "Ngambil garam, Bu."

"Garam? Buat apa, Pak?"

Laki-laki itu tidak menjawab. Namun samar-samar dari arah dapur, terdengar suara-suara Basri seperti sedang menggerutu.

"Sudah. Biarkan saja. Anak Ambu itu kalo ngambek makan, memang seperti itu, Nak," ungkap Emak Sari pada menantunya. "Paling-paling dia mau bikin tutug uyah4."

Lastri manggut-manggut, kemudian lanjut menikmati acara ngawadang5 dengan lahap.

Apa sebenarnya yang terjadi? Di balik ketidaktahuan Emak Sari, Lastri, dan kedua anak-anak tersebut, Basri merasakan adanya ketidakberesan tatkala hendak menikmati olahan ibunya tadi. Tiba-tiba saja, aroma busuk menyeruak masuk ke dalam ruangan tengah. Menyengat dan menyesakkan dada hingga dia mual dan hampir muntah.

'Jahanam!' umpat laki-laki itu mengutuk. 'Makhluk sialan itu datang kembali di saat aku mau melahap makanan lezat ini!' 

Untuk menghindari kecurigaan ibu dan keluarganya, Basri berusaha bersikap tenang. Berpura-pura duduk bersila menghadapi hidangan dengan kepala tertunduk. Sementara matanya mencuri-curi pandang ke samping kiri-kanan serta depan, hendak memastikan kehadiran sosok astral yang dimaksud tadi.

Benar saja. Tidak seberapa jauh di ambang pintu menuju luar sana, tampak berdiri kaku sesosok makhluk berkain putih kumal dan berikat lima simpul dari ujung kaki hingga atas kepala, menatap seram ke arah Basri. Bagian wajahnya itulah satu-satunya yang tidak turut terbungkus dan tertutupi, dengan kondisi rusak mengerikan tidak tentu bentuk. Laksana sisa daging membusuk dipenuhi kilapan cairan merah serta lelehan nanah menjijikkan, dengan kedua bola mata hampa terlihat hampir tanggal dari ceruk kelopaknya. Bau bangkai, begitulah aroma khas yang kerap dihadirkan setiap kali wujudnya tertampak.

Basri bergegas ke dapur untuk menghindari pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan ibu dan istrinya. Di sana makhluk terkutuk itu mengikuti langkah.

"Baiklah, Jahanam!" sentak laki-laki tersebut setengah menahan geram yang mengentak seisi dada. "Kamu memang tidak akan pernah membiarkan saya menikmati hidup saya ini, bukan? Gak masalah, Setan! Saya bisa terima konsekuensinya."

"Ggrrhhh!" Makhluk itu menggeram.

"Setan sialan!" umpat Basri kembali marah-marah. "Saya tahu, kamu akan selalu datang menghancurkan selera makan saya, 'kan? Itu artinya, kamu tidak menghendaki saya untuk bersenang-senang. Lihat sekarang …." Dia mencari-cari wadah bumbu garam, lantas menunjukkannya pada makhluk mengerikan tersebut begitu didapat. "Ini yang selalu kamu mau itu, ya? He-he. Cukup dengan ini saya menikmati selera makan dan hidup saya, 'kan? Baik. Gak masalah! Sekarang enyahlah dari sini, sebelum saya taburi muka busukmu itu dengan garam ini, Jahanam!"

"Hik-hik!" Makhluk itu tertawa-tawa. Kemudian perlahan-lahan menghilang dari hadapan Basri.

"Ya, Tuhan …." desah laki-laki itu seraya mengusap-usap kepala. Kesal, marah, muak, dan rasa sedih bercampur menjadi satu. "Di satu sisi, aku akan mendapatkan impianku. Namun di sisi lain, kenikmatanku pun mulai dikurangi. Apakah ini konsekuensi perjanjian kerja sama dengan setan itu, Tuhan?"

Di saat Basri tengah asyik merenung, sekonyong-konyong Lastri muncul mengejutkan. "Pak, lagi ngapain di dapur?" tanya perempuan itu dengan mimik keheranan.

Lekas-lekas lelaki itu mengulas senyumnya, lantas menjawab, "Eh, ini … nyari-nyari tempat garam, Bu." Dia memperlihatkan wadah bumbu asin itu dalam genggamannya.

"Kirain lagi apaan," ujar Lastri menarik napas lega. "Lama amat, sih, nyarinya?"

"Iya, Bu, soalnya aku, 'kan, udah lama gak tinggal di sini. Jadi agak lupa dimana biasanya Emak naruh tempat garam ini. He-he."

"Terus, tadi aku denger Bapak kayak lagi ngedumel begitu."

"Oohh, enggak. Mungkin tadi aku sambil nyanyi-nyanyi dikit, Bu. He-he," jawab Basri membual.

"Nyanyi? Sejak kapan Bapak suka nembang?"

'Ah, banyak tanya juga perempuan ini! Lama-lama, aku khawatir dia akan mencurigaiku ….' gumam Basri sambil memutar otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pancingan istrinya tersebut.

"Sudahlah," ujar Basri mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kita lanjut makan lagi, yuk, Bu."

"Dengan garam?"

"Iyalah. Dengan apalagi? Ibu lihat sendiri, 'kan, tadi? Aku gak suka sama bau anyir dagingnya, Bu."

"Hhmmm."

Terbukti manjur. Lastri tidak lagi bertanya-tanya.  Kemudian mereka melanjutkan kembali makan-makan bersama Emak Sari dan anak-anak, Aryan serta Maryam. Tidak ada obrolan lagi. Semua menikmati hidangan dengan lahap hingga suapan terakhir, terkecuali Basri sendiri.

"Bapak, kok, belum pulang juga, ya, Mak?" ucap laki-laki sewaktu bersiap-siap hendak pulang. 

Emak Sari mendengkus. "Entahlah, Nak. Akhir-akhir ini bapakmu selalu sibuk dengan warga."

"Lho, kata Emak tadi pergi ke kebon?"

"Ya, mungkin saja begitu, Nak," jawab sosok tua tersebut. " … atau bisa juga bersama-sama warga menyiangi kebun di girang6 sana."

"Ooohh."

"Makanya, daripada kamu nyari kerjaan di kota, mendingan ikut bapakmu bantu-bantu ngolah kebun dan sawah saja, Nak. Kasihan, istri dan anak-anakmu kalo sering ditinggalin lama." Emak Sari menoleh pada Lastri dan kedua cucunya.

Basri tersenyum kecut.

'Hhmmm, lebih enak yang sekarang, Mak. Tidak perlu capek-capek ngeluarin keringat segala. Cukup mengadu nasib, uang pun dengan mudah kudapatkan. He-he.'

"Iya, Mak. Nanti Abas pikirin, deh," ujar Basri sambil menggaruk-garuk kepala. "Sekarang Abas pamit mau pulang, ya, Mak. Titip salam buat Bapak kalo datang nanti."

"Apa gak sholat dulu di sini, Nak? Sudah masuk waktu Dzuhur, lho," kata Emak Sari mengingatkan. 

Mendadak wajah laki-laki itu terlihat dingin dan tergagap-gagap berucap, "S-sholat? Eh, i-iya. Nanti saja di rumah, Mak. Lagian gak segitu lama, kok, di perjalanan. Sesampai di sana, masih ada waktu buat s-sholat."

Sebelum pergi, Emak Sari sengaja membekali mereka sedikit bahan-bahan makanan. Dia khawatir, keluarga kecil itu tidak memiliki uang untuk berbelanja. Semula Basri hendak menolak, bahkan akan memberi ibunya uang, tapi benaknya segera bekerja. 'Untuk sementara, biarlah Emak masih menganggapku serba kekurangan. Itu lebih baik, agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan perihal aku yang sekarang ….'

"Sengaja Emak bekelin juga sisa masakan daging manila tadi buat temen makan kalian di rumah nanti, ya."

Daging itu lagi, pikir Basri mendadak merasa mual. Kemudian samar-samar gendang telinganya seperti mendengar suara kekehan khas.

"Hik-hik."

'Jahanam!' rutuk laki-laki tersebut geram.

BERSAMBUNG

----------------------

1. Sarapan

2. Menyembelih

3. Sejenis unggas

4. Nasi yang djcampur sedikit garam

5. Makan siang

6. Pelosok

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status