JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (7)
-------------------------- o0o --------------------------
Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu.
"Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."
Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Hanya jeda 3 tahun dari kakaknya.
Kesulitan ekonomi bagi pasangan ini sudah menjadi hal lumrah. Basri yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan, nyatanya mampu bertahan menopang kebutuhan selama perjalanan rumah tangganya. Pun begitu, asal usul lelaki bertubuh ceking ini juga bukanlah berasal dari keluarga biasa. Dia merupakan anak tunggal salah seorang tokoh berpengaruh di tempat kelahirannya. Namun pengaruh keras dari pihak ayah sejak belia, menyebabkan suami Lastri ini menjadi pribadi pemberontak. Kerap bersitegang di dalam rumah dan enggan memenuhi harapan orang tua.
Basri muda memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya, Lastri, di usia 24 tahun. Seorang yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga terdekat. Berharap bisa jauh lebih baik dan menurut pada keinginan orang tua setelah berumah tangga, nyatanya laki-laki ini malah memilih menjauh. Tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kampung Cijèngkol.
"Berilah Abas sedikit modal buat usaha, Pak," ujar Emak Sari waktu itu. "Mungkin dia ingin membuka usaha lain, bukan bertani seperti Bapak."
"Duit dari mana, Bu?" tanya suaminya ketus dengan nada suara menggelegar seperti biasa. "Gampang sekali kamu bicara."
Emak Sari menarik napas panjang, berusaha keras untuk tetap bersabar. Jawab wanita itu kemudian, "Misalnya menjual tanah kebun kita yang di girang itu, Pak. Uangnya nanti kita kasihin buat Abas. Suruh dia berdagang atau apalah pokoknya. Jangan kerja serabutan kayak sekarang. Kasihan."
"Enggak! Sepeser pun aku gak akan memberi dia modal!" sentak laki-laki itu bersikeras. "Biarkan saja dia berpikir sendiri. Mencari jalan hidupnya sendiri. Enak saja, tanpa usaha keras, dengan gampang dia mendapatkan harta keluarga!"
Emak Sari hanya bisa mengelus dada. Namun sebagai seorang istri sekaligus ibu dari Basri, doanya tidak pernah lepas terucap. Dia yakin, suatu saat kelak kondisi keluarga tersebut akan berubah jauh lebih baik. Wanita itu percaya, sekeras apapun sikap mereka berdua, tidak ada kebencian yang terpendam di dalam hati. Ini hanya masalah mempertahankan prinsip. Disamping itu juga, anak adalah cerminan dari orang tuanya.
Nahas, di tengah himpitan ekonomi yang kian menjadi-jadi, langkah Basri justru terayun ke jalur salah. Pergaulan di tempat kerjanya, menuntun laki-laki tersebut masuk ke dalam dunia perjudian. Terpengaruh iming-iming keuntungan besar, awalnya dia hanya sekadar mencoba peruntungan. Menggantungkan nasib pada angka demi angka. Bukannya menang, justru kerugianlah yang selalu didapatkan. Roda rumah tangganya pun mulai goyah. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup anak-istri sering terabaikan. Dari sinilah, entah bisikan setan dari mana, Basri mendapatkan kabar menyesatkan.
"Setahu gue, ada seorang dukun yang bisa ngebantu seseorang jadi kaya raya, Bas," ungkap salah seorang teman Basri suatu ketika. "Cuman ritualnya itu yang bikin orang-orang ogah buat ngejalaninnya."
"Emang ritualnya 'gimana, sih, Jun?" Basri penasaran. Sosok yang bernama Junaedi alias Juned itu menjawab, "Gali kuburan, Bas."
"Astaga! Ngeri banget!" seru laki-laki cungkring itu bergidik sendiri. "Hiiiyyy!"
Juned kembali berkata, "Itulah sebabnya, jarang ada yang mau ngelakoninnya. Ujiannya berat, Bas, disamping bisa bikin pelakunya gila, taruhannya juga nyawa."
"Widih! Serem beneerrr!"
Sebuah percakapan kecil dan bersifat iseng, tapi membekas kuat dalam ingatan Basri. Keluhan istri dan rengekan anak-anak kerap menggoyahkan iman lelaki yang masih jarang menjalankan kewajiban beragamanya sendiri.
"Namanya Ki Jarok," tutur Juned waktu ditanyai keberadaan dukun yang dimaksud. "Tinggalnya di sebuah perbukitan, di kaki kawasan Gunung Halimun. Itu, sih, yang pernah gue denger."
"Oohhh." Mulut Basri membulat disertai anggukan kecil.
"Kenapa? Elu tertarik?" tanya Juned bermaksud mencandainya. Jawab Basri sambil terkekeh, "Gila lu! Ya, enggaklah. Boro-boro ngegali kuburan, tibang kencing malem-malen aja, gue sering minta anter elu, Jun. Ha-ha."
Keduanya pun tertawa-tawa. Namun gelak salah satu di antara mereka bukan karena merasa ada yang lucu, melainkan untuk menutupi niat hati yang sengaja dipendam. Dirahasiakan.
Beberapa bulan setelah itu, Basri mencari-cari kabar sendiri mengenai tempat kediaman dukun yang bernama Ki Jarok tersebut. Kebetulan Gunung Halimun hanya berjarak beberapa ratus kilo meter dari tempat kelahirannya dulu. Tidak mudah memang mencarinya, tapi tekad kuat sudah membaja di sanubari laki-laki ini. 'Aku harus mengubah nasib, sekaligus membuktikan diri pada Bapak bahwa aku pun bisa sukses tanpa berharap bantuan darinya!' membatin dia sehari sebelum keberangkatannya menuju kawasan gunung yang dimaksud. Itulah sebabnya, Basri tidak meninggalkan pesan apapun pada Lastri. Tiba-tiba saja dia menghilang begitu saja dari rumah. Bukan hanya sehari hingga tiga hari seperti biasa, akan tetapi sepekan lebih laki-laki ini berguru pada Ki Jarok.
"Hhmmm, jadi kausanggup buat menjalani ujiannya, Anak Muda?" tanya dukun tua tersebut usai berhasil ditemui dan mendengar penuturan Basri perihal maksud kedatangannya. Laki-laki bertubuh kurus kering itu menyanggupi. Ki Jarok pun tertawa terbahak-bahak, lantas lanjut berucap, "Ha-ha! Bagus … bagus sekali, Anak Muda. Aku suka sekali dengan orang sepertimu … hhmmm … Bas … Bas … siapa tadi namamu? Bas … rèng?"
"Basri, Ki," jawab suami Lastri tersebut merasa senang sekali, karena maksud kedatangannya disambut baik oleh Ki Jarok.
"O, iya … Basri. Akan kuingat namamu itu, Anak Muda. He-he," ujar dukun tua itu seraya memperhatikan raut wajah Basri dengan saksama. "Hhmmm, ternyata manis juga kaupunya rupa, Basri."
"He-he, makasih, Mbah," balas Basri agak risi diperhatikan sedemikian rupa oleh tetua pemilik kawasan hutan menyeramkan itu. " … tapi saya sudah menikah dan punya istri, Ki."
Ki Jarok mendelik. "Apa peduliku tentang itu, Basri! Huh!"
"Eh, maaf, Ki," balas laki-laki itu seraya menghaturkan sembah maaf. "Saya cuman memperkenalkan diri saja. Mohon maaf."
"Huh!" seru Ki Jarok dengan muka masam, tapi masih menatap Basri seperti tadi. "Dari rupamu itu … sepertinya mengingatkan aku pada seseorang, tapi siapa, ya? Aku sendiri lupa."
"Anak Aki maksudnya?" Basri mencoba menerka.
"Bukan," jawab dukun tua itu seraya menggeleng-geleng pelan. "Aku tidak punya anak, karena belum pernah menikah."
"Mantan mungkin, Ki?"
Tebakan kedua Basri masih salah. Kali ini malah mendapat sentakan luar biasa galak. "Apa maksudmu, Basrèng? Kaupikir aku pernah berkasih-kasihan dengan seorang le—"
"Maksud saya, seorang perempuan yang wajahnya mirip saya, Ki. Maaf, bukan bermaksud menuduh Aki yang bukan-bukan."
"Sialan!" umpat Ki Jarok seraya kembali mendelik. "Sudahlah, lupakan saja tentang itu. Sekarang, kaufokus pada niatmu tadi. Pelajari, pikirkan, persiapkan, dan hafalkan mantra-mantra yang kuajarkan padamu tadi, Anak Muda. Karena ini penting buatmu nanti di saat sedang menjalani ritual dan melaksanakan prosesi ujiannya."
"Iya, Ki. Saya paham."
"Baguslah," ujar Ki Jarok, lantas menaburkan bubuk getah bening ke dalam pedupaan. Seketika ruangan sempit, pengap, dan temaram itu pun dipenuhi asap putih menyendatkan. "Kupikir kautidak bodoh-bodoh amat, Basrèng. Otakmu pasti encer waktu sekolah dulu."
'Terserah elu, deh, Aki-aki!' membatin Basri keki.
"Makasih, Ki."
"Hik-hik."
'Sialan, malah ngetawain dia. Dasar, Bujang Lapuk! Huh!' gerutu laki-laki cungkring itu tambah kesal.
Seharian penuh, Basri dibimbing Ki Jarok menjalani ritual demi ritual disertai ujian pelafalan mantra-mantra. Tidak butuh waktu lama, hampir separuh perjalanan prosesi mereka telah dilewati dengan lancar. Hingga akhirnya, sosok dukun tua itu memberikan kabar penting sekaligus puncak dari semua ujian yang akan dijalankan Basri.
"Kudengar di sebuah kampung di bawah sana, ada seseorang yang baru saja dikuburkan, Anak Muda," kata Ki Jarok terlihat serius. "Namanya Kampung Sirnagalih," ungkapnya menambahkan.
"Kampung Sirnagalih?" Seketika alis Basri merangkak naik beberapa inci. "Itu—"
"Ya, di Kampung Sirnagalih," tukas Ki Jarok disertai anggukan beberapa kali. "Seorang perempuan bernama Sukaesih atau Kesih, masih perawan, dan mati karena bunuh diri."
Tidak sadar, laki-laki ceking itu berseru kaget, "Astaghfirullahal'adziim!" Dukun tua itu tersurut ke belakang dengan mata membulat galak memelototinya. "Eh, maaf, Ki. Saya gak sengaja ngucap begitu."
Dia baru mau melanjutkan penuturan usai menambahkan bubuk getah bening ke atas bara pedupaan. "Uhuk! Uhuk!" Terdengar batuk berat disertai mata merah berair begitu kepulan asap memerihkan itu menyerbu wajah tuanya. "Kautahu apa itu artinya, Anak Muda?" tanya Ki Jarok setelah sibuk mengucek-ngucek perih matanya.
"Arwahnya gak bakal diterima, Ki, karena mati dengan cara bunuh diri dan kondisi keimanannya termasuk kaf—"
"Bukan itu maksudku, bodoh!" sentak dukun itu marah.
"Eh … salah, ya, Ki? Duh, maaf. Soalnya setahu saya, sih, begitu."
"Diam!"
Eh, iya. Maaf, Ki."
"Dengarkan!" titah Ki Jarok dengan suara menggelegar. "Yang kumaksud itu adalah … kematian perempuan itu sangat memenuhi syarat-syarat atas keinginanmu itu, Basri! Paham kau?" Basri mengangguk. "Bagus! Gali dan ambil tali mayat perempuan itu padaku!"
"Haahhh?!" Basri melongo terkaget-kaget.
"Ya! Gali kuburannya tepat pada tengah malam dan bawa talinya padaku sesegera mungkin malam itu juga," ungkap Ki Jarok menegaskan. "Ingat, harus kauambil dengan gigimu sendiri, Basri!"
"Haahhh?!"
"Jangan pernah kaulepas sejak kauambil dari leher mayat itu! Jika tidak, kautidak akan mendapatkan pengaruh apapun dari tali mayat itu!"
"Ya, Allah!"
"Heh!" Mata tua dukun itu berkilat merah.
"Eh, maafin saya, Ki. Kelepasan ngomong," ujar Basri seraya menghaturkan sembah maaf untuk kesekian kali pada Ki Jarok. Kemudian termenung selama beberapa waktu. Berpikir keras. Mungkin bagian ujian inilah yang menyebabkan kaum pemuja duniawi itu mundur, mengurungkan niat semula dan mencoba menggunakan jalan lain ; yang lebih mudah serta tidak menyiksa diri.
Rencana Basri hendak membongkar kuburan Sukaesih terkendala. Beberapa malam dia mengendap-endap mengawasi titik tujuan, makam itu selalu ramai dijaga oleh warga yang mengaji di sana. 'Sial! Kalo begini terus, kapan aku bisa mengeksekusi mayat si Kesih itu?' rutuk laki-laki tersebut kesal.
"Bagaimana ini, Ki?" tanya Basri pada Ki Jarok usai menuturkan hasil pantauannya. "Di kuburan perempuan itu selalu ada orang yang ngaji sampe Subuh."
Dukun tua itu hanya tersenyum. "Tenang saja, Anak Muda," katanya kalem. "Malam ini, lakukanlah sampai tuntas. Kebetulan nanti malam Jumat Kliwon. Malam kesempurnaan untuk sebuah tujuan dunia hitam. Ambang gerbang keemasan bagi penghuni alam kegelapan. Sungguh suatu kesempatan teramat berharga untukmu, Basri."
"Maksud Aki?"
Ki Jarok mengibaskan rambut putih panjangnya sebelum menjawab, lantas berucap penuh keyakinan, "Ini rezekimu. Lakukanlah malam nanti. Akan kubantu kau dari sini. Hik-hik."
Basri menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Apa yang akan Aki lakuin?" tanyanya penasaran.
"Hik-hik."
'Sialan! Malah nyengir dia!'
Menjelang petang, tiba-tiba Kampung Sirnagalih diguyur hujan lebat disertai embusan angin kencang. Petir mengentak bersahutan seakan hendak memecah angkasa kelam. Terus begitu terjadi hingga waktu perlahan merangkak ke seperempat malam. Amukan alam tersebut seketika menciutkan nyali warga untuk berkeliaran di ambang penutupan hari. Ditambah semilir dingin kian membuat pori-pori serasa tertusuk-tusuk serangan ribuan jarum. Mereka mendadak memilih tempat peraduan sebagai satu-satunya cara untuk meredakan siksaan penuh buaian melenakan tersebut. Bersembunyi di bawah dekapan selimut hangat dan tebal atau mengisinya dengan peregangan syaraf-syarat penuh hasrat. Di saat-saat itulah kemudian Basri menuntaskan sepertiga dari serangkaian ritualnya. Berhasil. Dia menggondol syarat utama yang dipinta Ki Jarok itu. Tali mayat.
Namun kejadian pembongkaran mayat Sukaesih pun akhirnya merebak luas hingga ke luar pelosok kampung. Tidak terkecuali ke tempat dimana markas gibah Kampung Cijèngkol berada. Warung milik seorang janda renta bernama Bariah. Entah dari mulut siapa kabar itu mulai bocor tersiar, walaupun Juragan Juanda sudah mewanti-wanti dan berusaha menutup-nutupinya.
"Apa mungkin tali mayat yang dicuri itu buat pesugihan, ya, Mbak Welas?" tanya Leha seraya bergidik takut. "Nyari kekayaan, misalnya."
Jawab Welas, "Yo, iso iku, Mpok Leha. Salah satunya dipakai buat penglaris usaha. Koyok dagang saiki."
Serentak keempat ibu-ibu itu melirik ke seseorang. Bariah. Pemilik warung pun spontan menyangkal. "Mbak Welas nuduh saya? Dih, amit-amit banget pake begituan. Musrik, tahu!"
"Yo, ndak toh, Bue. Wong aku hanya kasih contoh. Sopo sing nuduh Bue Bariah? Ora ono," balas Mbak Welas.
Lastri yang semenjak awal percakapan dimulai, cuma menjadi pihak pendengar. Namun mendadak merasa risi mendengar kelimanya lantas saling berbisik-bisik.
Tidak ingin menjadi bahan tuduhan, lekas-lekas istri Basri tersebut menyudahi aktivitas belanjanya. Pulang tergesa-gesa ke rumah dengan kecamuk perasaan tidak menentu.
"Ada apa, Bu?" tanya Basri tiba-tiba muncul di hadapan Lastri. Masih mengenakan balutan handuk sebatas perut hingga lutut dengan rambut basah acak-acakan. Baru keluar dari kamar mandi rupanya lelaki itu.
"Eh, Bapak …." ujar Lastri kaget. Dia segera membetulkan posisi duduknya di atas kursi. "Jadi berangkat lagi hari ini, Pak?" tanyanya seakan ingin menyembunyikan rasa kejutnya tadi.
Jawab Basri seraya tersenyum manis, "Jadilah, Bu. Aku udah terlanjur janji sama temen bisnisku itu sebelumnya." Laki-laki itu melangkah mendekat. "Tenang saja, Bu. Gak akan lama-lama kayak kemaren, kok. Kalopun sampe gak pulang, besok atau lusa juga bakal balik lagi."
"Oohhh, syukurlah kalo begitu, Pak," timpal Lastri gelagapan. Basri semakin mendekat, lalu berucap kembali, "Jangan sedih, ya. Aku pergi juga buat kerja, kok. Nanti setelah aku pulang, kita lakuin lagi kayak yang semalaman itu, lho, Bu. He-he."
"Ah, Bapaakk …." desah Lastri tersipu, tapi bias raut di wajah sebelumnya belum kunjung hilang juga.
"Ada apa, sih? Kok, muka Ibu muram begitu?" Laki-laki itu memperhatikan bungkusan yang berisi bahan-bahan makanan. "Kamu diomongin lagi sama Bu Bariah? 'Kan, utang kita udah dilunasin, Bu."
Lastri menggeleng.
"Bukan itu, Pak."
"Terus?"
Perempuan itu lantas bangkit, berdiri, berhadap-hadapan dengan suaminya. "Aku takut, Pak," katanya lirih seperti akan menangis.
"Takut apa, sih, Bu? Aku cuma pergi sebentar, kok. Lagian di rumah juga ada anak-anak." Basri mencoba menenangkan.
"Bukan tentang itu juga, Pak."
"Lalu?"
Tubuh Lastri sampai bergetar sebelum menjawab. Dia segera mendekap erat suaminya. "Tadi aku denger dari obrolan Bu Bariah dengan tetangga lain, katanya ada kuburan dibongkar, Pak."
Basri tersentak, tapi tetap berusaha tenang. Pikirannya tidak serta merta merujuk pada makam Sukaesih, si mantan Kembang Kampung Sirnagalih.
"Ah, mungkin itu buat keperluan visum, pemindahan makam, atau bisa juga—"
"Tali mayatnya dicuri orang buat pesugihan, Pak," ujar Lastri, kali ini jelas-jelas mengejutkan laki-laki tersebut.
"A-apa?!"
"A-aku t-takut banget, Paakkk!"
Seketika jantung Basri berdetak kencang. Hal tersebut membuat Lastri melepaskan pelukan. Lantas menatap heran suaminya. "Dada Bapak berdebar-debar kenceng banget. Ada apa? Kenapa? Apa Bapak ini …."
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (11) --------------------- o0o --------------------- Alunan musik dangdut menggema hingar memenuhi ruangan temaram dengan cahaya warna-warni. Basri hanya duduk-duduk menatap layar televisi berukuran besar, ikut berdendang pelan sambil membaca rangkaian lirik lagu yang tersuguh. Sementara dua temannya asyik bernyanyi mengikuti ketukan irama, ditemani dua perempuan pemandu karaoke berpakaian minim dan ketat. Sesekali tangan-tangan mereka bergerilya menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif masing-masing, lantas disambut cekikik nakal dari keempatnya. Belasan lagu sudah mereka lewati, tapi hanya beberapa yang benar-benar diikuti dengan saksama. Sisanya bercampur aktivitas lain sambil menikmati sajian minuman khas beraroma menyengat. Sesaat Basri menatap empat sosok di sampingnya sembari memijit-mijit kening. Sedikit te
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (12) --------------------- o0o --------------------- Menjelang senja hari di sebuah warung makan di pinggiran kota, Basri dan kedua temannya, Juned dan Cemong, duduk-duduk santai usai menikmati santapan makan malam. Ketiga laki-laki tersebut asyik kemasuk memainkan kepulan asap rokok dari mulut sambil berbincang-bincang ringan. “Jadi elu yakin bakal pindah operasi dari kota ini, Bas? Mulai kapan?” tanya Juned di antara bubung asap nikotin terembus dari kedua lubang hidungnya. Yang ditanya celingukan sesaat memperhatikan ruangan sekitar tempat makan, terutama pada beberapa sosok pengunjung lain di dalam sana. Jawab Basri kemudian dengan suara pelan, ”Mungkin secepatnya, Ned.” Dia mengambil kembali sebatang rokok baru begitu yang awal tadi sudah nyaris memendek panas terjepit di jemari. “Keberadaan gua di kota ini
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (13) --------------------- o0o --------------------- Hitam .... Sekeliling memandang semuanya berwarna sama. Pekat membutakan hingga tidak satu pun mampu terlihat, kecuali rasa dingin di sepanjang jejak langkah. Terus bergerak menyusuri bisikan hati, walau tidak tahu ke mana kelak akan berlabuh. Sosok itu tampak kian bingung di antara kehati-hatiannya. Merasa tersesat, tapi yakin bahwa hanya ada satu pilihan untuk memecah kebuntuan, yakni mengayun kaki ke depan secara terus menerus. Samar-samar suara isak pilu terdengar lirih menuntun benak. Di sana, entah di mana letak tepatnya. Masih jauh, tapi terasa kian mendekat. Lantas perlahan-lahan sosok itu pun meraba-raba melalui keyakinan diri, sumber itulah langkah tersebut akan berakhir. “Ayah ....” Sosok tersebut tercekat. Memutar badan
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (14)--------------------- o0o ---------------------Tiga sosok lelaki berjalan perlahan-lahan seraya melihat-lihat keadaan sekeliling perumahan yang dilalui. Sebentar-sebentar mereka berbisik satu dengan lainnya ketika melewati rumah demi rumah, sampai kemudian berhenti persis di depan sebuah warung di Kampung Cijengkol.“Cari siapa, Pak?” tanya seorang wanita tua sekonyong-konyong keluar dari dalam warung. Sosok ini tidak lain adalah Bariah.Salah seorang di antara lelaki tadi menoleh ke samping. “Bagaimana,
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (15)--------------------- o0o ---------------------Sosok perempuan itu berlari-lari dari ruangan karaoke menuju pelataran parkir. Sebelum memutuskan keluar, dia berhenti sejenak di dekat jendela kaca gedung. Mengintip sebentar, memperhatikan tiga sosok lelaki berbadan besar sedang beradu mulut di sana. ’Itu, ‘kan, anak buahnya Bos Brutus,’ gumamnya ragu hendak mendekat dan melihat secara langsung, terutama untuk menemui tiga orang lainnya. Mereka adalah pengunjung tempat hiburan tersebut barusan. &