Share

Part (2)

JIMAT TALI MAYAT

Written by David Khanz 

Bagian (2)

------------------------ o0o ------------------------

Dua hari pada keesokan petangnya, Basri baru kembali pulang ke rumah, disambut Lastri istrinya sambil terisak-isak berkata, "Ke mana saja kamu selama seminggu ini, Pak? Aku mencari-carimu sampai ke rumah orang tuamu. Tapi Abah sama Ambu pun tidak tahu keberadaan kamu. Anak-anak juga, mereka terus-terusan pada nanyain kapan Bapak pulang."

Basri memeluk istrinya seraya tersenyum-senyum penuh makna. "Maafin aku, Bu. Aku—"

"Enak banget kamu pulang-pulang minta maaf sambil senyum-senyum begitu," tukas Lastri marah dan berusaha melepas dekapan suaminya. "Kamu gak tahu bagaimana aku repotnya ngurus anak-anak selama beberapa hari lalu tanpa ada kabar sedikit pun darimu. Apa, sih, yang kamu lakuin, Pak?"

"Iya, aku tahu aku salah, Bu," balas Basri tetap tenang. "Aku pergi juga buat kalian, kok. Habis nyari kerjaan."

"Tapi seenggaknya ngomong dulu atau apa, kek, Pak. Ini pergi maen pergi aja tanpa pamit segala. Aku juga jadi mikir yang enggak-enggak, 'kan?" Walaupun sempat dilanda amarah, tapi kepulangan suaminya tersebut, sedikit mampu membuat perempuan itu lebih tenang. Lastri hanya ingin melampiaskan sesaat kekesalannya belaka.

Kembali Basri memeluk istrinya lebih erat, lantas berucap, "Iya, Bu. Maafin aku, ya? Pokoknya mulai sekarang, kamu tenang saja. Aku sudah dapet kerjaan, kok. Sedikit demi sedikit, kehidupan kita nanti akan berubah. Aku janji."

Beberapa saat mereka saling berpelukan. Sekadar meluluhkan emosi yang tengah melanda perempuan tersebut. Sampai akhirnya usai melepaskan diri, Lastri menatap suaminya dalam-dalam. "Memangnya kamu dapet kerjaan apa, Pak?" tanyanya kemudian. Basri hanya tersenyum. Jawab laki-laki tersebut seraya mengalihkan pandangan, "Adalah, Bu. Bisnis kecil-kecilan sama seorang temen."

Lastri mengerutkan kening. "Siapa?"

Jawab kembali Basri tanpa melihat istrinya, "Temen jauh, Bu. Pasti kamu gak bakal kenal, kok."

"Iya, Pak. Tapi siapa temenmu itu?" Jiwa penasaran Lastri masih mengetuk-ngetuk hatinya. "Mungkin suatu saat aku akan bertemu atau mengenal dia. Apalagi temen bisnismu sendiri, 'kan? Siapa dia dan kerjaannya apa?"

Setelah berpikir beberapa saat, Basri menjawab, "Jarok. Namanya Jarok."

"Jarok?" Lastri berusaha mengingat-ingat. Sepanjang usia pernikahannya dengan Basri, tidak sekalipun dia pernah mendengar nama tersebut.

"Iya. Jarok. Kamu pasti gak kenal dia, 'kan?" Basri memutar tubuhnya dan tersenyum mengejek Lastri. "Kawan lama yang baru saja ketemu dua minggu lalu, terus ngobrol-ngobrol, akhirnya aku diajak kerja bareng sama dia. Begitu ceritanya, Bu." Laki-laki itu berbohong. "Aku gak bisa ngabarin kamu dan anak-anak, soalnya ngedadak diajak sama dia ke tempat bisnisnya itu. Tahu sendiri, 'kan, kalo kita gak punya hape sama sekali."

Alis Lastri semakin terangkat naik. Sebenarnya ingin bertanya lebih jauh tentang pekerjaan yang dimaksud suaminya, tapi untuk sementara dia memilih untuk diam terlebih dahulu. Apalagi memperhatikan raut wajah Basri tampak suntuk kelelahan.

Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang dari kantongnya, lantas diberikan pada Lastri. "Ini untukmu, Bu," kata Basri sebelum beranjak ke kamar tidur untuk beristirahat. "Hasil aku pergi seminggu kemarin."

Lastri memperhatikan lembaran merah yang ada di tangannya. Seakan masih belum percaya, karena selama ini belum pernah memegang uang sebanyak itu. "I-ini uang dari mana, Pak? B-banyak banget," ujar perempuan tersebut terbata-bata.

Basri tersenyum kecut.

"Sudahlah, Bu, gak usah banyak tanya," jawab suaminya. "Sudah kubilang, 'kan, itu hasil bisnisku sama Jarok. Dia ngasih aku pinjeman buat jaga-jaga di rumah."

"Jaga-jaga?"

"Maksudku, buat keperluan sehari-hari di rumah," jawab kembali Basri. "Nanti aku cicil tiap bulan kalo udah beneran kerja."

"Serius, Pak? Kerjamu bukan bisnis yang bukan-bukan, 'kan?" Lastri menyelidik. Laki-laki mendengkus, lantas membalas, "Ya, enggaklah, Bu. Sudah, ya, aku mau istirahat dulu. Capek, nih."

Demi menghindari pertanyaan demi pertanyaan istrinya, Basri bergegas masuk ke kamar. Rasa lelah setelah beberapa hari berada di luar rumah, sungguh membuatnya ingin segera beristirahat untuk beberapa jam ke depan. "Eh, anak-anak ke mana?" tanya suami Lastri itu di ambang pintu kamar.

"Mereka nginep di rumah nenek mereka, Pak?" jawab Lastri. 

"Nginep?"

Perempuan itu mengangguk pelan, lalu menjawab lirih, "Ya, Pak. Beberapa hari selama ditinggal kamu, di rumah gak ada yang bisa dimakan, Pak. Terpaksa anak-anak aku ungsikan ke rumah orang tuamu."

"Ya, Tuhan!" desah Basri sedih. "Ya, sudah. Besok siang kita jemput anak-anak di sana."

Lastri kembali mengangguk seraya melihat-lihat uang pemberian suaminya tadi. Ada sepuluh lembar berwarna merah dan beberapa sudah tampak kusam. Begitu Basri masuk kamar, dia mencoba menerawang lembar demi lembar untuk memastikan keasliannya. 'Semua tampak asli,' gumam perempuan tersebut masih diliputi tanda tanya. 'Sebenarnya suamiku itu bisnis apaan, sih? Masa kerja cuma seminggu dapetnya segede ini? Tadi dia bilang hasil pinjem. Mungkin gak, sih, kalo ….'

Lastri cepat-cepat membuang prasangkanya. 'Ah, semoga saja bener adanya, dia bener-bener dapet kerjaan, dan … uang ini pun halal.'

Satu hal yang ada dalam pikiran Lastri, dia ingin segera melunasi utang ke warung terdekat, bekas menutupi kebutuhan dapur keluarganya selama ditinggal Basri serta pinjaman-pinjaman lain.

"Maaf, Mbak Las, saya gak bisa ngasih utangan lagi sama Mbak," kata tukang warung beberapa waktu yang lalu, "soalnya utang-utang yang dulu aja belum dibayar. Sekarang mau ngambil lagi. Ya, kalo mau, Mbak Las bayar setengahnya dulu. Saya juga, 'kan, butuh modal buat usaha saya."

Sebenarnya Lastri sendiri merasa sangat malu harus memohon-mohon seperti itu. Namun mau bagaimana lagi, Basri belum kunjung pulang hampir seminggu ini. Ditambah di rumah sudah tidak punya perbekalan apa-apa lagi.

"Iya, saya paham, kok, Bu," ujar Lastri sedih dan menahan rasa malu. "Tapi saya janji, sepulang suami saya nanti, akan saya bayar, kok."

Pemilik warung yang ternyata seorang wanita tua itu, malah terbengong-bengong heran. "Lho, ke mana emangnya Mas Basri, Mbak?" tanyanya tiba-tiba ingin tahu. Lastri tertunduk sedih. Dengan suara terbata-bata, perempuan itu menjawab juga, "Entahlah, Bu Bariah. Saya sendiri gak tahu ke mana suami saya itu pergi."

"Lho, kenapa bisa begitu?" Bariah makin penasaran, sekaligus iba melihat tetangganya yang satu ini.

Jawab Lastri sembari menyeka linangan air mata, "Pokoknya saya gak tahu, Bu, bapaknya anak-anak pergi begitu saja tanpa pamit sama sekali. Saya jadi bingung."

Wanita tua itu terenyuh. Maka tanpa dipikir panjang lagi dia segera menawarkan dagangannya. "Ya, sudah, Mbak Las. Ambil saja seperlunya Mbak. Tapi inget, ya, kalo suamimu pulang, langsung lunasin."

"Iya, Bu. Saya janji." Lastri merasa semringah, akhirnya Bariah memenuhi juga permohonan kasbonnya. Perempuan tersebut hanya mengambil sedikit. Tidak seperti biasanya. "Ini saja, deh, Bu. Tolong dicatetin, ya."

"Lho, sedikit banget, Mbak. Apa cukup buat Mbak Las dan anak-anak Mbak nanti?" Bariah mengernyit heran. Jawab Lastri lirih, "Cukup, kok, Bu. Ini cuma buat saya sendiri. Anak-anak buat sementara saya ungsikan dulu ke rumah mertua."

"Ya, Allah," ujar wanita tua itu seraya mengusap dada. Dia merasa miris sekali dengan kehidupan keluarga Lastri tersebut. Bagaimana tidak, di antara warga Cijengkol yang miskin, mereka adalah salah satunya. "Mudah-mudahan saja Mas Basri cepetan pulang, ya, Mbak."

"Iya, Bu, semoga saja."

Sebelum Lastri pergi, Bariah kembali mengingatkan, "Tapi mohon maaf, nih, Mbak. Kalo suami Mbak itu sudah pulang, cepetan dilunasin, ya, utang-utangnya. Soalnya saya butuh buat modal dagang. He-he.."

"I-iya, Bu, tentu saja. Pasti akan saya bayarin semua, kok," ucap Lastri berjanji. Padahal sebenarnya dia sendiri masih ragu, apakah sepulang nanti Basri akan membawa uang atau tidak. Itu pun jika benar-benar pulang. Sebagai seorang buruh serabutan, tidak jarang suaminya itu memberikan sejumlah uang alakadarnya. Sisa makan dan pemenuhan semua kebutuhan dia sendiri selama ikut bekerja di luaran.

Namun petang ini terasa lain bagi seorang Lastri. Berbekal lembaran uang pemberian dari suaminya tadi, perempuan itu bergegas menuju warung Bariah.

"Suamimu sudah pulang, Mbak?" tanya wanita tua tersebut begitu menerima pelunasan utang-utang tetangganya itu. Jawab Lastri semringah, "Sudah, Bu. Barusan saja nyampe di rumah. Itu saya lunasin semua bon-bon saya, ya. Sekalian mau belanja buat keperluan makan malam nanti dan besok pagi."

Bariah melirik sejenak pada Lastri sebelum melayani pesanan tetangganya tersebut. Ujar wanita tua itu dengan nada penasaran, "Suami Mbak itu sudah punya kerjaan baru, ya?" Bukan hal wajar jika baru kali ini dia membawa uang sebanyak itu berbelanja di warungnya.

"Gak tahu, Bu," jawab Lastri agak merasa risi ditanya perihal itu. Bahkan sampai saat ini pun, dia sendiri belum mengetahuinya secara jelas. "Katanya, sih, ada temen lama yang ngajak bisnis-bisnis begitulah, Bu. Entahlah, saya sendiri gak paham."

"Bisnis apaan, Mbak?" Bariah mengernyit heran. Sebagai tipe tetangga yang sering kepo dan warungnya kerap dijadikan ajang gibah, tentu saja perihal barunya ini sangat mengusik jiwa keingintahuannya.

"Ya, saya sendiri gak tahu, Bu," jawab Lastri mulai terpancing membocorkan hal tentang keluarganya. "Pokoknya diajak kerja bareng temennya itulah. Saya belum tahu banyak, soalnya Bang Basri keburu mau tidur. Capek katanya."

"Oohhh," desis Bariah dengan bibir membulat keriput. "Maksudnya, kalo Mas Basri punya kerjaan enak, ajak-ajaklah itu si Supri anak saya. Sudah hampir dua bulan ini, kerjaannya cuma 'hardolin' doang. Kesel saya jadinya."

"Hardolin?"

Bariah mendelik kesal, lantas menjawab, "Iya, itu … dahar, modol, dan ulin, Mbak."

"Oohhh."

"Padahal anak laki-laki seusia dia, pantesnya sudah kawin, momong anak, punya kerjaan tetap tapi jangan jadi buruh serabutan …." Tiba-tiba Bariah menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Eh, maksud saya tadi itu seenggaknya punya kerjaan tetaplah. 'Kan, jadi sebel sayanya. Masa segede dia makan saja masih ngikut sama orang tua."

Lastri tidak mau menanggapi ucapan tetangganya yang satu itu. Dia pura-pura membantu mengemas belanjaan ke dalam kantong plastik besar. Bukan hal baru pula jika kondisi suaminya, Basri, selama ini kerap kali dijadikan bahan gunjingan. Maka demi menjaga kerukunan antar warga dan kelancaran utang piutang, perempuan itu memilih untuk diam serta bersabar.

"Totalnya jadi berapa, Bu?" tanya Lastri ingin segera menyudahi obrolan mereka tersebut.

Bariah mengambil kalkulator dan mulai menghitung satu per satu. "Tujuh puluh rebu, Mbak," jawabnya tampak kikuk seraya menyodorkan layar alat penghitung tersebut ke hadapan Lastri.

Tanpa menunggu lama, istri Basri ini segera menyerahkan selembar uang berwana merah sisa pelunasan utangnya tadi. Mata tua Bariah sempat terkesiap begitu Lastri memberikan uang sebesar itu.

'Banyak juga duit si Lastri ini,' membatin wanita tua tersebut. 'Emang kerjaan si Basri apaan, sih? Hhmmm, jadi penasaran. Jangan-jangan dia habis ngepet. Secara, 'kan, seminggu gak pulang, eh … tahu-tahunya bawa duit banyak. Wah, ini kudu diwaspadai. Jangan sampe modal dagang saya ikut hilang mendadak nanti.'

"Ini kembaliannya, Mbak Las," ujar Bariah sembari menyerahkan uang tiga puluh ribu.

"Terima kasih, Bu."

"Eh, tapi …."

"Ya, ada apa, Bu?" Langkah Lastri tertahan begitu hendak bergegas meninggalkan warung tersebut.

"Jangan lupa bilangin sama Mas Basri, ajak-ajak 'gitu anak saya si Supri kerja sama temen suamimu itu," kata Bariah sekaligus ingin memancing tahu pekerjaan apa sebenarnya suami Lastri itu.

Lastri tersenyum kecut. Timpalnya kemudian, "Iya, Bu, nanti saya sampein sama Bang Basri." Lantas cepat-cepat dia meninggalkan warung Bariah dan berharap tidak ada lagi pembicaraan lain mengenai suaminya.

Sepeninggal Lastri, buru-buru Bariah memeriksa laci tempat penyimpanan uang. Memeriksa lembaran duit pemberian tetangganya tadi. Dilihat, diraba, dan diterawang. 'Hhmmm, asli semua. Sama kayak duit pada umumnya. Amit-amit, deh, jangan sampe entar berubah jadi daun-daun kering kayak yang ada di film-film itu. Hiiiyyy!'

Sementara itu kondisi Basri di kamarnya, laki-laki tersebut tidak lantas memejamkan mata begitu merebahkan diri di atas tempat tidur. Dia sibuk mengingat-ingat kejadian saat dirinya baru tersadar di rumah Ki Jarok dua hari lalu. Terbangun dalam keadaan tidak mengenakan sehelai kain apapun, tergolek lemah dengan tubuh penuh taburan berbagai bebungaan.

'Apa yang terjadi padaku?' tanya Basri terheran-heran sambil melihat-lihat dirinya di antara keremangan cahaya lampu kecil di dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba saja dia merasa kedinginan dan menggigil hebat di bawah kepulan asap dari pedupaan. 'Ke mana dukun tua itu?'

Basri pun bangkit, bermaksud hendak turun dari dipan berbahan bambu yang cukup keras dan menyakitkan tersebut.

"Baguslah, akhirnya kaubangun juga, Anak Muda," ujar satu suara milik Ki Jarok dari ambang pintu lain dan cukup gelap. Basri segera menoleh dalam keterkejutan, dan serta merta menutup bagian kelelakiannya dengan kedua telapak tangan. "Lelap juga tidurmu itu, Basri. He-he."

Laki-laki itu menatap tajam sosok tua tersebut, lantas bertanya penuh kekhawatiran, "Apa yang Aki lakuin sama saya? Kenapa saya dalam kondisi telanjang seperti ini?" Diam-diam Basri memeriksa bagian bokongnya. Takut terjadi apa-apa selagi dia pingsan sejak janari tadi. Tidak ada yang aneh maupun rasa sakit di area tersebut.

Kini balas Ki Jarok yang membelalak galak. "Kaupikir apa yang sudah kulakukan padamu, Anak Setan?! Sialan!" rutuk sosok tua itu merasa tersinggung dengan sikap Basri baru saja. "Aku hanya membantu membersihkan tubuhmu dan juga menjauhkanmu dari pengaruh buruk mayat yang telah kauobrak-abrik kuburannya itu. Paham?!"

"I-iya, Ki. M-maafin saya," timpal Basri buru-buru menghaturkan sembah maafnya. Dia ragu untuk lanjut turun dari balai tersebut atau cukup berdiam saja menunggu titah Ki Jarok selanjutnya.

Tiba-tiba dukun tua itu melemparkan lembaran pakaian ke arah Basri. "Pakailah ini dan lekas kenakan sebelum aku muntah melihatmu seperti itu!" sentaknya dengan nada risi.

Cepat-cepat Basri menyambar pakaian tadi dan segera mengenakannya saat itu juga. Agak berbau apek dan cukup kasar bahannya begitu dipakai. Setelan berwarna hitam-hitam mirip model pangsi serta agak besar begitu dicoba.

"Terlalu longgar, Ki," ujar Basri usai membalut utuh tubuh kerempengnya dengan pakaian pemberian Ki Jarok tadi. Tentu saja ucapan laki-laki itu baru saja, membuat mata tua dukun tersebut membelalak galak. Sentaknya menggelegar, "Manusia tidak tahu diri! Sudah kubantu kau, malah sekarang bicara yang tidak-tidak!"

"M-maaf, Ki. B-bukan maksud saya—"

"Diam kau!" imbuh Ki Jarok kembali masih dengan nada marah. "Kautahu pakaian apa yang kuberikan padamu itu, hah?!"

Basri memperhatikan pakaian yang sedang dia kenakan. Hanya baju dan celana pangsi biasa. Tidak ada yang istimewa. Baunya juga seperti bekas disimpan lama dan bercampur aroma kemenyan.

"Tali mayat itu sudah aku satukan di dalam baju itu, Basri!" seru Ki Jarok dengan raut sebal melihat Basri. Spontan laki-laki itu meraba-raba baju di tubuhnya. "Tepat di dalam katok celanamu!"

"Apa?" 

Basri langsung memeriksa pangkal celananya. Di sana seperti ada yang mengganjal bulat tertanam di dalam jahitan. "Astaga!" Dia terkaget-kaget. 'Kenapa harus ditaruh di sini, sih? Gak adakah bagian lain yang lebih pantas untuk menyimpan benda sialan ini? Huh!'

"Ha-ha!" Tiba-tiba terdengar gelak Ki Jarok membahana di dalam ruangan pengap dan remang-remang itu. "Kaupasti bertanya-tanya, 'kan? Ha-ha! Sengaja aku taruh di situ, sebagai simbol akan pentingnya kaumenjaga dan merawat benda itu selama kaumiliki."

Basri mengernyit bingung. "Maksud Aki?" tanyanya seraya memperhatikan wajah dukun tua tersebut.

Ki Jarok baru menjawab usai tawanya mereda, "Sama pentingnya dengan organ kelelakianmu itu, Basri. Jika kaulalai memenuhi persyaratan yang kuberikan, maka hidupmu akan berubah sia-sia dan hancur perlahan-lahan. Hik-hik."

"Saya masih belum paham, Ki," ucap Basri makin bingung. "Bisa bicara yang lebih spesifik gak?"

"Lagak lu, Kampret!" umpat dukun tua itu merasa tersinggung. "Dengarkan apa yang kukatakan ini baik-baik …."

Lamunan Basri buyar begitu mendengar Lastri memanggilnya. "Pak, bangun dulu. Sudah mau Magrib, nih," seru perempuan itu sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.

'Sialan! Perempuan itu mengganggu saja!' gerutu Basri. 'Bisa gak, sih, aku tidur barang sekejap? Huh! Dari tadi aku gak bisa memejamkan mata sedikitpun.'

"Pak, mandi dulu. Sebentar lagi shalat Magrib, lho."

Salat?

Basri terkesiap. Baru teringat kini, itu salah satu hal yang harus dia hindari mulai dua hari lalu atau tepatnya ketika Ki Jarok memberi petuah. " … satu hal yang harus selalu kauingat-ingat, Anak Muda, mulai detik ini jauhi semua ritual yang berbau keagamaan dan keyakinanmu. Karena hal-hal tersebut yang paling dibenci leluhur kami, serta akan membuat kekuatan jimat tali mayat yang kaumiliki sekarang memudar."

Basri terkekeh dalam hati. Tanpa diperintah pun, selama ini dia memang jarang melaksanakan kewajiban sesuai agamanya. Salat? Buat apa? Selama ini tidak pernah mampu mengubah jalan hidup dari dera kemiskinan yang senantiasa menyelimuti keluarga, pikir laki-laki itu.

Lalu bagaimana cara menyiasati perintah Ki Jarok tentang itu dari Lastri? Selama ini, perempuan itu termasuk istri yang taat menjalankan perintah agama. Haruskah dengan cara lama? Berpura-pura ke luar, ke langgar, tapi sebenarnya hanya menumpang nongkrong di pos ronda atau warung kopi bersama kawan-kawan senasib.

"Pak?"

Lastri sudah berada di hadapan suaminya.

"Iya, aku sudah bangun, kok, Bu," ujar Basri berbohong. Padahal sejak tadi belum sekalipun memejamkan mata.

Sejenak perempuan itu memperhatikan baju yang dikenakan Basri. "Sekalian, sini bajunya, Pak. Mau aku rendem dan dicuci besok pagi."

"Jangan, Bu!" seru Basri terkejut. "Eh, maksudnya … biar aku buka di kamar mandi saja, Bu. Ya, Bu, ya?" pinta laki-laki itu memohon. Bukan tentang baju itu, melainkan setelan yang juga dia kenakan di lapisan dalamnya. Basri lupa menanggalkannya sebelum tiduran tadi.

"Kamu ini kenapa, sih, Pak?" Lastri mengernyit heran. "Biasanya juga gak pake malu-malu buka pakaian sendiri di depanku."

"Ehe-he." Basri terkekeh-kekeh sendiri. "Maksudnya bukan begitu, Bu, tapi biar aku taruh saja di belakang biar gak ngerepotin kamu. Begitu, lho. He-he."

"Ada-ada saja kamu ini, Pak," timpal Lastri. "Ya, sudah. Cepetan mandi sana. Habis shalat Magrib nanti, kita makan. Hari ini aku masak menu khusus buat kamu, lho, Pak."

"Masak khusus? Wow, syukurlah. Aku jadi ngedadak lapar, nih, Bu. He-he."

"Makanya, cepetan mandi sana."

"Iya, Bu, iya. Kamu duluan sana ke luar. Aku mau buka pakaian dulu," ujar Basri mencoba meminta Lastri untuk keluar kamar terlebih dahulu. Maksudnya tentu saja hendak menyembunyikan pakaian khusus pemberian Ki Jarok tersebut.

"Dasar Bapak ini," ucap Lastri diiringi ulas senyumnya kemudian. Dia pun segera keluar dan kesempatan ini dipergunakan Basri untuk segera menanggalkan semua pakaiannya. 'Aku taruh di mana, ya? Apakah di dalam lemari? O, tidak! Jangan!' Bertanya-tanya laki-laki tersebut seraya menggulung bulat pangsi khusus pemberian Ki Jarok tersebut. Lantas memutuskan untuk menyembunyikannya di dalam tas kumal yang biasa digunakan kala bepergian mencari penghidupan. Setelah itu bergegas ke kamar mandi, lantas bersiap-siap seperti hendak ke langgar untuk menunaikan ibadah salat Magrib.

Tiba waktu makan malam, mereka berdua duduk menghadapi sajian istimewa yang sebelumnya belum pernah disantap selama ini. Ayam goreng beserta menu lezat lainnya.

"Kamu yang masak semua ini, Bu?" tanya Basri penuh selera. Jawab Lastri, "Iyalah, Pak. 'Kan, khusus buat hari ini. Tapi sayang, ya, anak-anak masih di rumah Abah dan Ambu."

Timpal laki-laki itu kembali, "Sudahlah. Besok siang kita jemput mereka."

Basri mencomot potongan daging ayam di atas piring. Namun saat hendak menyuap ke dalam mulut, tiba-tiba tercium bau amis yang teramat hebat bersemilir di dalam ruangan itu. "Bau apa ini, Bu?" tanyanya mendadak mual dan segera menjauhkan daging dalam genggamannya.

"Ah, gak bau apa-apa, Pak," jawab Lastri seraya mengendus-endus aroma udara di ruangan tersebut. "Malah wangi ayam goreng, kok."

Mata laki-laki bertubuh kerempeng itu tiba-tiba terbelalak kaget saat menengok ke arah depan hadapannya. Sesosok makhluk kaku dengan balutan kain putih kumal berdiri di sana tengah memperhatikan Basri. Hanya terlihat bagian wajah dan itu pun sangat mengerikan. Rusak dan begitu menjijikkan. Sepintas saja, Basri jadi teringat pada sosok ….

'Sukaesih!'

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status